Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERSIAPAN PERNIKAHAN ULANG 2
Maira juga sudah sibuk kali ini Wanda membantunya setelah Nana pergi. Wanita berusia lima puluh tahun itu sudah berkenalan dengan Manya dan tujuh anak kembar yang begitu mirip dengan tuan mudanya.
"Apa lagi yang mesti kusiapkan Wanda?" tanyanya setelah menulis poin-poin penting.
"Apa Nyonya Manya tidak fitting baju pengantinnya nyonya?" tanya Wanda.
"Menantuku itu sederhana sekali, kau tau. Dia menolak pesta besar-besaran, bahkan semua gaun dari rancangan ternama ia tolak," Maira setengah mengeluh.
"Kenapa, bukankah semua gadis atau wanita memiliki impian pernikahannya sendiri," sahut Wanda mengingatkan.
"Apa nyonya bertanya perihal pernikahan impiannya?" lanjutnya bertanya.
"Ya itu, dia tak mau mewah. Ia mau serba putih dengan dekorasi bunga lili, bahkan ia juga menginginkan kebaya putih. Ia ingin menikah seperti di awan," ujar wanita itu.
"Ah ... sederhana sekali," ujar Wanda sudah membayangkan pesta yang diinginkan nyonya mudanya itu.
"Beliau juga pasti menginginkan semua anak-anak memakai sayap laksana malaikat bukan?" terkanya.
"Ah, iya dia juga berkata itu," jawab Maira.
"Ketika semua gadis menginginkan menjadi putri atau ratu semalam, nyonya muda malah menginginkan menjadi malaikat yang menyebar cinta," ujar Wanda mengkhayalkan keinginan Manya, sang nyonya muda.
"Kita wujudkan saja nyonya. Aula tengah paviliun sangat bagus untuk pesta yang diinginkan nyonya muda!" sahut Wanda memberi saran.
"Ah ... baiklah, segera panggil tukang dekorasi terbaik. Kita ujudkan pernikahan impian menantuku!" titah wanita itu antusias.
Wanda membungkuk hormat. Ia akan melaksanakan perintah majikannya. Semua maid baru tengah bermain bersama seven A. Sudah dua jam bayi-bayi menggemaskan itu tak bertanya mana ibu mereka.
"Mi, mereka harus kubawa kerja, jika tidak mereka akan bertanya," ujar Manya memberi penjelasan ketika hendak pergi kerja tadi pagi.
"Sayang, di rumah sakit itu banyak kuman dan sangat tidak baik, walau kau menempatkan mereka di ruang isolasi seperti katamu!" terang Maira menolak keinginan sang menantu membawa cucu-cucunya.
"Tapi mi," rengek wanita itu juga berat jika tak sering melihat tujuh anak kembarnya.
"Jangan biasakan hal yang tak baik sayang!' ujar Maira.
Akhirnya Manya pasrah dan pergi tanpa anak-anaknya. Para suster juga ditinggal, mereka mengurusi keperluan Bhizar, Abi, Agil, Syah, Laina, Lika dan Abraham.
"Moma!" panggil Lika dengan berjalan tertatih.
"Baby sayang!'
Wanita itu mengangkat tinggi-tinggi bayi cantik itu hingga memekik kegirangan.
"Lita beulban!"
"Moma bawu ... moma!" teriak enam saudara Lika.
Manya harus mengangkat tinggi-tinggi mereka satu persatu hingga pinggang wanita itu mau patah.
"Moma ladhi!" pinta Abimanyu.
"Sudah sayang, moma pinggangnya sakit!" pinta wanita itu sambil memegang pinggangnya.
"Moma atit?" tanya semua bayi cemas.
"Bustel!" panggil Abraham.
Leni datang tergopoh-gopoh.
"Ya baby," sahutnya.
"Syuntit moma ladhi atit!" titah bayi itu.
"Tidak, moma nggak mau disuntik!" tolak Maira pura-pura takut.
"Moma ... janan talah syama nanat teusyil ... pita ja eundat patut tuntit!" sahut Laina menepuk lengan neneknya.
Maira gemas dengan tingkah para bayi yang memang begitu lucu itu. Ia menciumi ketujuhnya hingga tergelak. Lalu semua berlarian karena sang nenek mengejarnya.
Sedang di rumah sakit Manya tengah memeriksa beberapa pasien, Saskia berada di sisinya.
"Sus, aku dengar kau kembali menempuh pendidikan menjadi kepala suster rumah sakit?" tanya Manya usai memeriksa para pasien.
"Iya, dok. Saya akan kembali sekolah selama setahun," jawab gadis itu.
"Apa masih bisa sambil ikut menjadi asistenku?" tanya Manya lagi.
"Saya usahakan dok. Tapi, jika tak bisa saya minta maaf ya," ujarnya menyesal.
"Ya ... sudah nanti aku minta pada pihak rumah sakit untuk menggantikanmu," ujar Manya lagi.
Keduanya saling berpelukan. Selama dua tahun Saskia bekerja bersama wanita itu, bahkan gadis itu yang menemani segala kesakitan Manya ketika hamil besar.
"Aku akan merindukanmu, Kia," ujarnya sendu.
"Saya juga bakalan kangen. Mana nggak ketemu sama seven A lagi," ujarnya sambil mencebik.
Manya terkekeh, ia selalu mendoakan gadis yang nasibnya nyaris sama dengannya, seorang yatim piatu. Hanya saja Saskia tinggal bersama neneknya yang telah renta.
"Apa ada jadwal lagi sus?" tanya Manya sambil menghela napas panjang untuk mengusir kesedihannya.
"Ada beberapa pemeriksaan rutin dari beberapa pasien, dok. Sepertinya pengobatan dokter sangat manjur dan jadi buah bibir para pasien hingga merekomendasikan saudara-saudaranya," kekeh Saskia.
Manya tersenyum menanggapi hal itu. Memang semua pasien yang mengeluh sakit, sebisa mungkin ia memberikan resep dan treatment agar sang pasien sembuh dan tak lagi sakit. Hal itu bukan membuat pasiennya tambah sedikit, malah semakin banyak.
"Ada berapa pasien sekarang sus?"
"Ada sekitar dua puluh pasien dok dan semuanya baru," jawab asistennya itu.
Manya mengangguk dan duduk di kursinya. Saskia mulai memanggil satu persatu pasien yang mendaftar.
"Nyonya Amertha Artha!" panggil Saskia.
Sosok wanita berpakaian mewah masuk dengan langkah anggun. Manya mendongak.
Deg! Deg! Deg!
Entah kenapa jantung keduanya seperti tersengat listrik dan membuat Manya dan Amertha terpaku sesaat.
Manya sedikit heran dengan wanita yang pastinya orang kaya raya ini. Pasti memiliki dokter pribadi dan tak mungkin mau mengantri begitu lama.
"Iya selamat siang, nyonya silahkan duduk," ujar Manya mempersilahkan.
Amertha duduk dengan anggun, Manya dan Saskia langsung terpukau dengan kepribadian nyonya kaya itu yang sangat elegan dan berkelas.
"Terima kasih dok," ujarnya lembut.
Wangi tubuh wanita itu begitu lembut dan menenangkan. Manya sangat menyukai bau itu.
"Ehem ... maafkan saya, apa keluhan anda nyonya?" ujar Manya menghentikan ketakjubannya melihat betapa anggunnya sosok yang duduk di depannya itu.
"Ini, saya merasa akhir-akhir ini sesak dan pusing, terkadang mata saya sedikit buram, dok!' keluh wanita itu.
Manya seperti mendengar lantunan syair ketika wanita di depannya bersuara. Ia seperti dibuai sayang oleh alunan merdu suara dari calon pasiennya itu.
"Begitu dok," ujar Amertha menjelaskan keluhannya.
"Ah iya, kalau begitu mari berbaring di sini nyonya," pinta Manya pada wanita untuk berbaring di ranjang periksa.
Kulit putih dan halus teraba oleh Manya ketika memeriksa dada wanita itu. Bau harum yang sangat menenangkan membuat dirinya nyaris terbuai.
"Saya periksa tekanan darahnya juga ya," ujar Manya berusaha profesional.
Usai memeriksa hanya satu penyakit nyonya kaya itu.
"Jadi saya sakit apa dok?"
"Anda hanya terlalu stress nyonya, saran saya sebaiknya anda pergi liburan untuk menenangkan diri, setelah itu konsumsi buah dan sayuran untuk mencegah kolesterol anda naik!" jawab Manya.
"Lalu apa lagi dok?"
"Olah raga dan olah pikiran agar lebih positif nyonya," jawab Manya.
Wanita itu mengangguk. Manya memberi resep untuk meringankan semua penyakit yang dikeluhkan oleh pasiennya itu.
"Ini nyonya resepnya, semoga lekas sembuh," ujarnya lalu memberikan resep itu.
Dua tangan saling bersentuhan dan dua mata saling memandang. Entah apa yang keduanya rasakan. Namun, baik Amertha dan Manya seperti terikat satu dengan lainnya.
Amertha telah pergi dari ruangan itu. Pasien sudah tidak ada lagi. Manya menekan dadanya yang terus berdebar setelah pertemuan dengan nyonya kaya raya itu.
"Ada apa ini, kenapa denganku?" tanyanya dalam hati.
"Dok, anda tidak apa-apa?" tanya Saskia khawatir.
"Tidak apa-apa sus, mungkin karena terlalu rindu pada tujuh bayiku," jawab Manya.
"Kalau begitu segera pulang dok, biar kerinduan anda terobati," ujar gadis itu.
Jovan tak datang ke rumah sakit hari ini. Ia juga menjabat sebagai Presdir di perusahaan ayahnya sendiri. Manya pulang, Maira telah menyiapkan supir untuknya dan telah menunggu sambil membukakan pintu.
"Selamat petang nyonya, kita pulang?" Manya mengangguk lemah.
Tak lama mobil itu pun bergerak meninggalkan bangunan itu.
bersambung.
ah ... sudah ketemu tapi belum tau.
next?
kurang ngudeng aku