SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan Sang Ayah
Pertarungan pun pecah. Luang Wichit yang dibutakan ambisi menyerang dengan membabi buta. Patan, yang fokus utamanya adalah melindungi Nara dan Ingfah di belakangnya, terpaksa menerima hantaman dan luka demi luka.
Darah mulai membasahi tanah suci kuil. Patan terjatuh, terluka parah, napasnya tersengal namun tangannya masih berusaha menggapai kedua anaknya. Melihat sang Ayah bersimbah darah, sesuatu dalam diri Ingfah seolah meledak.
Kemurkaan Alam: Perintah Ingfah
Gadis kecil itu tidak lagi menangis karena takut. Matanya berubah—gelap dan dalam. Kesedihan yang luar biasa berubah menjadi murka yang menggetarkan bumi. Bukit itu, yang selama berabad-abad menjadi pelindung keluarga Khon Khaw, seolah "mendengar" detak jantung Ingfah yang penuh amarah.
Tanah Bergetar, Akar-akar pepohonan purba mencuat dari permukaan.
Langit Menghitam, Angin puyuh mendadak tercipta, mengelilingi kuil.
Alam merespons amarah Ingfah sebagai perintah mutlak. Luang Wicit yang tadinya merasa di atas angin, kini terpojok saat tanah di bawah kakinya seolah ingin menelannya hidup-hidup. Bukit itu tidak mengizinkan pengkhianat pergi dengan nyawa yang utuh.
Di tengah kekacauan alam tersebut, Patan memanggil Nara dan Ingfah untuk mendekat. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menggenggam tangan kedua putrinya, menyatukan jemari mereka.
"Nara... Ingfah... dengarkan Ayah," bisiknya parau, darah merembes dari sela bibirnya.
"Dunia mungkin akan mencoba memisahkan kalian, tapi darah Khon Khaw adalah satu. Janjilah... saling menjaga. Jangan pernah berpisah, apa pun yang terjadi."
Patan mengembuskan napas terakhirnya dengan senyum tipis, yakin bahwa meski raganya tiada, ikatan antara Nara dan Ingfah akan menjadi kekuatan yang lebih besar dari mustika mana pun.
Suasana di puncak bukit berubah dari mencekam menjadi syahdu. Alam seolah-olah ikut berkabung atas gugurnya sang pelindung terakhir.
Janji di Atas Darah dan Tanah
Di tengah reruntuhan emosi, Nara menarik Ingfah ke dalam pelukannya. Ia bisa merasakan tubuh adiknya yang kecil bergetar hebat karena isak tangis yang tak kunjung usai. Nara mencium kening adiknya, menelan kepahitannya sendiri demi menjadi sandaran.
Dalam diam, Nara membisikkan sumpah yang tertanam jauh ke dalam jiwanya:
"Ayah, saksikanlah. Aku tidak akan membiarkan tangan ini terlepas darinya. Aku akan menjadi pedangnya, aku akan menjadi perisainya. Ingfah tidak akan pernah sendirian."
Pemakaman oleh Sang Alam
Keajaiban terjadi saat Nara mulai merelakan kepergian ayahnya. Bukit Khon Khaw menunjukkan penghormatan terakhirnya kepada Patan:
Tanah yang Terbuka. Tanpa perlu digali oleh tangan manusia, tanah di pelataran kuil perlahan bergeser dan terbuka dengan halus, menciptakan liang lahat yang sempurna.
Akar yang Membelai. Akar-akar pohon beringin tua yang menyelimuti kuil bergerak lembut. Mereka mengangkat tubuh Patan yang sudah tak bernyawa dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang menimang seorang bayi.
Penyatuan Kembali. Tubuh Patan perlahan diturunkan ke dalam pelukan bumi. Kelopak bunga hutan yang berguguran ditiup angin menutupi tubuhnya sebelum tanah kembali menutup dengan rapi, hanya menyisakan gundukan kecil yang ditumbuhi rumput hijau seketika.
Patan kini telah menjadi bagian dari bukit itu sendiri—menjadi roh pelindung yang akan mengawasi anak-anaknya dari dalam keabadian tanah Khon Khaw.
Kepergian dari Bukit Suci
Meski prosesi pemakaman telah usai, Nara tahu bahwa tempat itu tidak lagi aman. Sisa-sisa pengikut Luang Wicit mungkin akan kembali, atau pihak lain yang mengincar mustika itu akan segera datang.
Nara berdiri, menghapus air matanya, dan menatap Ingfah dengan tatapan yang jauh lebih dewasa dari usianya.
Dengan berat hati namun penuh tekad, Nara bangkit dan mengambil tas kain milik Ayahnya yang tergeletak di tanah. Di dalamnya, ia menemukan gulungan kertas tua yang berisi wasiat terakhir.
Tiba-tiba, suasana di sekitar mereka menjadi hangat. Sosok cahaya lembut muncul di hadapan mereka—itu adalah Roh Ibu Khon Khaw.
Kehadirannya memberikan ketenangan sesaat di tengah duka yang mendalam.
Amanat Sang Ibu
Roh Ibu Khon Khaw menatap kedua putrinya dengan penuh kasih. Ia mendekat dan membisikkan instruksi yang harus mereka jalani demi keselamatan mereka dan dunia:
“Menjaga Mustika, Ibu meminta Ingfah sendiri yang membawa Mustika Keluarga Khon Khaw. Energi murni Ingfah adalah satu-satunya yang bisa meredam kekuatan besar mustika tersebut agar tidak memancing perhatian pihak jahat selama perjalanan.“
Jalur Utara: Mereka diperintahkan untuk segera meninggalkan kuil melalui jalur utara—sebuah jalan setapak kuno yang jarang diketahui orang. Jalur ini akan menuntun mereka ke sebuah kuil tua yang tersembunyi di pinggiran desa sebagai tempat persembunyian sementara.
Tujuan akhir mereka jauh di utara. Mereka harus membawa mustika itu ke Kuil Emas di Chiang Mai. Di sana, mereka harus menemui Biksu Dutar, seorang petapa suci yang memiliki kekuatan untuk menyegel mustika tersebut agar tetap terjaga dan tidak jatuh ke tangan siapapun.
"Larilah, anak-anakku. Jangan menoleh ke belakang. Kekuatan leluhur menyertai setiap langkah kalian," bisik Roh Ibu sebelum perlahan memudar menjadi serpihan cahaya yang tertiup angin.
Perjalanan Dimulai
Nara mengeratkan tali tas di bahunya, sementara Ingfah menggenggam erat mustika yang kini bersinar redup di balik pakaiannya. Dengan panduan dari gulungan kertas tersebut, keduanya mulai melangkah memasuki rimbunnya hutan di jalur utara.
Mereka tahu, perjalanan menuju Chiang Mai akan sangat panjang dan penuh bahaya. Di belakang mereka, kuil bukit yang telah menjadi saksi bisu pengorbanan Ayah mereka perlahan menghilang ditelan kabut.