"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima Pernikahan
Malam turun perlahan. Rumah itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan napas bayi dari kamar sebelah.
Bani duduk di ruang tamu. Laras berdiri tak jauh darinya, jemarinya saling menggenggam—gelisah.
“Duduklah,” ucap Bani akhirnya, suaranya datar.
Laras menurut.
“Apa yang terjadi sore tadi…” Bani terdiam, menelan sesuatu yang pahit di tenggorokannya. “Aku tidak pernah merencanakannya.”
Laras mengangguk pelan. “Aku juga tidak.”
Keheningan kembali turun. “Naura tenang di tanganmu,” lanjut Bani. “Itu bukan kebetulan.”
Laras menghela napas. “Aku tidak berniat menggantikan siapa pun.”
“Dan aku tidak ingin mengganti Rania,” potong Bani cepat. “Tidak akan pernah.”
Laras menunduk. “Aku tau.”
Bani memejamkan mata. “Tapi anakku… dia butuh seorang ibu.”
Laras menatap Bani dengan mata basah. “Kalau aku di sini, itu bukan untuk mengambil tempat Rania. Aku hanya ingin menjaga—seperti yang dia minta.”
Bani terdiam. Nama itu kembali memukul dadanya. “Rania meninggalkan sesuatu,” katanya pelan. “Sebuah surat.”
Bani membuka amplop yang sudah lusuh. Tulisan tangan Rania—rapi, lembut, seperti suaranya. Lalu ia berikan pada Laras. "Ini surat kedua dari Laras... Untuk kita."
"Mas Bani, Jika kamu membaca ini, berarti aku sudah pergi. Jangan marah padaku karena terlalu banyak memikirkan orang lain. Aku hanya ingin memastikan dunia kita tetap hangat setelah aku tiada.
Mas, aku percaya padamu. Aku tau kamu akan menjaga Naura dengan segenap jiwa. Tapi aku juga tau, sekuat apa pun kamu, seorang anak tetap butuh pelukan ibu. Jika suatu hari kamu merasa tidak sanggup sendiri, jangan menganggap itu pengkhianatan. Itu cinta—dalam bentuk lain.
Laras adalah perempuan yang aku percaya. Dia kuat, lembut, dan tulus. Jika kamu memilihnya, itu bukan berarti kamu melupakanku. Itu berarti kamu menepati janjiku: menjaga anak kita.
Jangan paksa hatimu. Jangan sakiti dirimu. Aku selalu bersamamu—dalam doa.
Istrimu, Rania."
Tangan Bani bergetar. Air mata jatuh tanpa izin- lagi.
Ia menatap Laras—bukan dengan cinta, melainkan dengan kejujuran yang telanjang. “Aku akan jujur,” katanya. “Aku tidak bisa mencintaimu seperti aku mencintai Rania.”
Laras mengangguk. “Aku tidak memintanya.”
“Aku menikah jika itu terjadi—demi Naura,” lanjut Bani. “Bukan demi diriku.”
“Aku menerimanya,” jawab Laras lirih.
“Ada syarat,” kata Bani tegas.
“Pertama, Rania tidak pernah tergantikan. Namanya akan tetap hidup di rumah ini.”
“Kedua, kamu datang sebagai penjaga bukan penuntut.”
“Ketiga, batas akan selalu ada. Hormat. Adab. Kejujuran.”
Laras menahan napas. “Dan kewajibanku?”
“Mencintai Naura sepenuh hati,” jawab Bani. “Tanpa membedakan Ameera. Tanpa pamrih.”
Air mata Laras jatuh. “Itu sudah menjadi niatku sejak awal.”
Bani berdiri. “Aku tidak menjanjikan kebahagiaan.”
Laras ikut berdiri. “Aku tidak mengejarnya.”
Mereka saling menatap—dua orang dewasa yang sama-sama terluka, memilih jalan paling berat.
“Aku akan menerima permintaan terakhir Rania,” kata Bani akhirnya.
“Dengan syarat dan batas itu.”
Laras menunduk dalam-dalam. “Aku menerimanya. Demi Naura. Demi amanah Rania.”
Tidak ada pelukan. Tidak ada janji manis.
Hanya dua jiwa yang sepakat berjalan—bukan karena cinta yang menyala, melainkan karena tanggung jawab yang suci.
Di kamar sebelah, Naura tertidur tenang. Dan di antara dinding rumah itu, nama Rania tetap hidup—bukan sebagai bayangan yang memisahkan, melainkan sebagai cahaya yang menuntun.
***
Pagi itu rumah Bani terasa berbeda. Tidak ada bunga berlebihan. Tidak ada tawa riuh. Hanya kursi-kursi sederhana, sajadah dibentangkan, dan udara yang dipenuhi doa—bukan bahagia yang meluap, melainkan penerimaan yang pelan.
Laras duduk dengan kepala tertunduk. Kebaya sederhana membalut tubuhnya. Tangannya bergetar halus, bukan karena gugup semata, tapi karena ia tahu: pernikahan ini lahir dari kehilangan.
Di sampingnya duduk Hendrawan, ayah Laras. Wajahnya tenang, meski garis kelelahan dan luka hidup jelas terukir.
“Bapak sudah dengar semuanya dari Laras,” ucap Hendrawan pelan pada Bani sebelum akad dimulai. “Saya tidak menyerahkan anak saya karena bahagia… tapi karena amanah.”
Bani mengangguk. Tenggorokannya terasa sesak. “Aku tidak akan menggantikan siapa pun di hati,” katanya lirih. “Aku hanya ingin menjaga apa yang ditinggalkan.”
Hendrawan menatapnya lama, lalu mengangguk. “Itu sudah cukup.”
Akad pun dimulai.
Suara penghulu menggema lembut, menembus keheningan.
Bani mengucap ijab kabul dengan suara mantap—tanpa jeda, tanpa salah.
“Saya terima nikahnya Larasati Prameshwari binti Hendrawan dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Sah.
Tidak ada sorak. Tidak ada tepuk tangan. Hanya isak tertahan—dari Nafisah, dari Umi Fatimah, dari Laras sendiri.
Bani menunduk lama. Dalam hatinya, satu nama berbisik: Rania.
Naura
Ameera yang masih merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi hanya bisa diam, ia memperhatikan bundanya dan orang-orang di sekitarnya dengan tatapan tanda tanya. Tak ada yang menjelaskan padanya.
Nafisah yang memperhatikan kebingungan Ameera ia mendekat. "Ameera sayang... Kenapa terlihat bingung seperti itu?"
"Aku bingung tante. Kenapa semua seperti bersedih? Bunda juga, matanya seperti ingin menangis."
Nafisah tersenyum kecil. Anak empat tahun belum mengerti permasalahan orang dewasa. "Bunda Ameera tidak menangis karena sedih tapi bahagia."
"Lalu kenapa ada Om Bani di dekat Bunda?"
Nafisah melirik ke suaminya, Zaki. Zaki menganggukkan kepalanya. "Karena Om Bani sekarang adalah papa Ameera. Ameera mau kan punya papa?"
Mata Ameera berkaca-kaca. "Mau. Apa boleh Ameera kesana Om?"
"Tentu boleh... Tapi Ameera sekarang panggil kami, Abi dan Umi ya. Jangan Om dan tante."
"Baik Abi, baik umi."
"Anak pintar."
Ameera berlari kecil ke bundanya. Ia berdiri di tengah-tengah Laras dan Bani. "Bunda."
Laras perlahan berlutut, mensejajarkan dirinya dengan Ameera. "Kenapa sayang?"
"Apa benar, Om Bani dan Bunda menikah? Aku punya papa?"
Bani mendengar pertanyaan Ameera. Dadanya terasa sesak namun hangat. Ia tidak menolak, Ameera tidak tau permasalahan orang dewasa di sekitarnya.
Bani juga berlutut, mensejajarkan tingginya dengan Ameera. "Ameera... Iya benar, sekarang Om sudah menikah dengan bundamu."
Ameera menangis, ia memeluk Bani erat. "Akhirnya Ameera punya papa! Apa boleh sekarang Ameera manggil Om dengan sebutan papa?"
Bani mengangguk. Ameera memeluk Bani kembali. "Terimakasih Pa."
"Sama-sama."
"Aku janji akan menjaga dan menyayangi adik Naura dengan sepenuh hatiku. Dia juga adikku."
Bani tersenyum, lalu mengusap kepala Ameera.
Gus Atheef dan Ning Hanifa juga berada di rumah Bani. Mereka berjalan pelan menuju kamar tempat Naura tidur. Bayi kecil itu terlelap, napasnya teratur, wajahnya bening seperti pagi. Hanifa tersenyum. “Cantik banget ya… kayak bidadari kecil.”
Atheef tidak menjawab.
Ia berdiri terpaku.
Tatapannya tidak lepas dari wajah Naura—alis tipisnya, bibir mungilnya, kulitnya yang bersih.
“Atheef?” Hanifa menoleh heran.
Atheef menghela napas pelan. “Ini… bayi.”
“Iya,” Hanifa tertawa kecil. “Masa kamu bengong gitu?”
Atheef menggeleng, seolah tak percaya pada perasaannya sendiri.
“Aneh aja,” katanya jujur. “Rasanya… damai.”
Hanifa tersenyum. “Karena dia lahir dari cinta yang besar.”
Atheef menatap Naura sekali lagi, lalu berbisik pelan—hampir seperti doa. “Sehat ya, Naura. Tumbuh dengan kasih sayang. Jangan pernah merasa sendiri.”
Di luar kamar, Laras berdiri memandang mereka dari kejauhan. Ia menyentuh dadanya sendiri.
Sunyi itu masih ada. Kehilangan itu belum sembuh.
Namun di antara kesedihan, Laras tahu satu hal, Hari ini, ia bukan hanya menjadi istri. Ia sedang belajar menjadi rumahbagi seorang anak yang ibunya pergi terlalu cepat.
***
Rumah Bani kembali hidup. Bukan dengan tawa, bukan pula dengan kebahagiaan yang riuh, melainkan dengan tangis bayi yang menjadi satu-satunya suara paling jujur.
Naura.
Laras terbangun lebih dulu setiap kali tangisan itu terdengar. Bahkan sebelum Bani sempat bergerak dari kamarnya. Tubuhnya refleks, seolah Naura benar-benar darah dagingnya sendiri.
“Shh… iya, Nak… bunda di sini.”
Ia menggendong Naura dengan tangan yang masih canggung, tapi hatinya begitu yakin. Naura yang semula menangis kencang, perlahan tenang. Nafas kecil itu teratur di dada Laras. Ameera duduk di tepi ranjang, mengucek mata. “Adik lapar ya, Bun?” tanyanya polos.
Laras tersenyum. “Iya, Kak. Doain adik sehat terus ya.”
Ameera mengangguk serius, lalu mengelus pipi Naura pelan. “Adik jangan nangis ya… sekarang adik punya bunda.”
Kalimat itu menusuk hati Laras. Ia menoleh, menahan getar di dadanya. “Iya, Kak… bunda akan jaga adik sebaik mungkin.”
Di dapur, Bani berdiri sendiri. Ia mendengar semua itu.
Tiap panggilan bunda yang keluar dari mulut Ameera.
Tiap tangisan Naura yang reda di pelukan Laras.
Dadanya sesak.
Bani menyeduh kopi, tangannya sedikit gemetar. Ia tidak membenci Laras—tidak pernah. Tapi setiap melihat Laras menggendong Naura, bayangan Rania selalu hadir tanpa izin.
"Seharusnya kamu… Seharusnya ini Rania…"
Bani menarik napas panjang, lalu masuk ke ruang tengah.
Laras menoleh. “Mas… Naura sudah tenang.”
“Iya,” jawab Bani singkat.
Tatapan mereka bertemu—sebentar saja.
Tidak ada senyum. Tidak ada kehangatan. Hanya kesepakatan sunyi yang tidak pernah diucapkan, ini bukan pernikahan karena cinta.
Laras mengerti. Ia menunduk. “Aku… aku akan menyiapkan susu.”
“Biar aku aja,” kata Bani cepat—lalu terdiam, seolah menyadari nadanya terlalu dingin. “Maaf,” tambahnya.
“Tidak apa-apa, Mas,” jawab Laras lembut. “Aku mengerti.”
Dan itulah yang paling menyakitkan bagi Bani. Laras selalu mengerti. Hari-hari berlalu seperti itu.
Laras mengganti popok, menimang, begadang, mengaji pelan di dekat buaian Naura.
Bani bekerja, pulang, memastikan semuanya cukup—lalu mengurung diri dalam kesunyian.
Tidak ada pertengkaran.
Tidak ada kehangatan.
Hanya kewajiban.
Suatu malam, Bani berdiri di ambang pintu kamar bayi. Laras tertidur di kursi sambil menggendong Naura. Kepalanya bersandar, wajahnya pucat karena lelah.
Naura tidur nyenyak.
Bani menatap pemandangan itu lama. “Aku tau,” gumamnya dalam hati. “Kamu tidak menggantikan Rania…”
Ia melangkah pergi sebelum perasaannya runtuh.
Dan Laras—meski tak mendengar kata-kata itu—tetap memeluk Naura dengan doa yang sama setiap malam, "Ya Allah… aku tidak minta dicintai sebagai istri. Cukup izinkan aku mencintai anak ini… sepenuh hati."
***
Hari-hari itu berjalan pelan.
Rumah yang dulu riuh oleh tawa Rania, kini lebih sering dipenuhi suara tangis bayi dan langkah kecil seorang anak perempuan.
Naura masih sering terbangun di malam hari. Tangisnya tipis, rapuh, seperti meminta dunia untuk tidak pergi meninggalkannya. Setiap kali itu terjadi, Laras akan bangun lebih dulu—menggendong, membuatkan susu, menimang dengan doa-doa lirih.
Bani biasanya hanya berdiri di ambang pintu. Ia belum sanggup terlalu dekat.
Bukan karena tidak peduli, melainkan karena setiap kali melihat wajah Naura, bayangan Rania selalu datang bersamaan. Senyumnya. Suaranya. Tangannya yang dulu sering menggenggam lengan Bani sambil bercanda.
Namun suatu malam, Laras terlihat kelelahan.
Matanya sembab, bahunya turun. Naura menangis lebih lama dari biasanya. “Mas…” Laras ragu-ragu. “Bisa… tolong gendong sebentar?”
Bani terdiam.
Tangannya kaku saat menerima tubuh kecil itu. Naura meringkuk di dadanya. Tangisnya pelan-pelan mereda, berubah jadi isakan kecil sebelum akhirnya tertidur.
Bani menunduk.
“Assalamu’alaikum, Naura,” bisiknya lirih. “Papa di sini.”
Kata papa terasa asing di lidahnya. Tapi dada Bani menghangat.
Dari sudut ruangan, Ameera memperhatikan dengan mata berbinar. “Om Bani…” katanya pelan, mendekat. “Naura cantik ya?”
Bani mengangguk kecil. “Cantik.”
“Ameera boleh bantu jaga?” tanyanya polos.
“Kamu kan masih kecil,” jawab Bani.
Ameera tersenyum malu. “Tapi Ameera sudah biasa bantu bunda dari dulu.”
Sejak hari itu, Ameera sering ada di sekitar Bani. Ia menyodorkan popok dengan rapi. Mengambilkan botol susu. Mengusap kaki Naura pelan saat bayi itu rewel.
Dan yang paling membuat Bani terdiam— setiap kali melewatinya, Ameera selalu menunduk sopan.
“Assalamu’alaikum, Om.”
Tidak pernah manja berlebihan. Tidak pernah memaksa dipeluk. Tidak pernah memanggil Papa tanpa izin.
Suatu sore, Bani melihat Ameera duduk di lantai, menggambar.
“Kamu gambar apa?” tanya Bani.
Ameera mengangkat kertasnya. Ada gambar rumah sederhana, dua anak kecil, dan satu sosok laki-laki tinggi.
“Ini Naura. Ini Ameera.”
Ia menunjuk sosok tinggi itu. “Kalau ini… Om Bani.”
“Kenapa bukan Papa?” tanya Bani hati-hati.
Ameera menunduk. “Ameera gak mau maksa. Kata bunda, jangan panggil Om Bani dengan sebutan Papa tanpa izin."
Ada sesuatu yang menggetarkan dada Bani.
Malam itu, sebelum tidur, Bani menghampiri Ameera yang sudah terbaring.
“Ameera,” katanya pelan.
“Iya, Om?”
“Kamu anak yang baik.”
Mata Ameera berbinar. “Makasih, Om.”
Bani ragu sejenak, lalu mengusap kepala Ameera—pelan, singkat, tapi penuh makna.
“Tidur yang nyenyak. Dan, jangan panggil Om lagi. Sekarang Om mengizinkan Ameera memanggil dengan sebutan Papa, tidak perlu izin lagi. Panggil Papa kapanpun Ameera mau."
Ameera tersenyum lebar, "Beneran?"
"Iya Ameera."
"Baiklah Pa, Ameera tidur dulu ya." Banu mengangguk.
Ameera memejamkan mata.
Di kamarnya sendiri, Bani duduk lama dalam gelap.
Ia sadar— ia memang belum mampu sepenuhnya membuka hatinya. Masih ada jarak. Masih ada luka.
Namun tanpa disadari, ia sedang belajar menjadi ayah.
Bukan hanya untuk darah dagingnya sendiri—tapi juga untuk seorang anak kecil yang dengan lembut, tanpa tuntutan, telah mengajarinya arti hormat dan ketulusan.
Dan untuk pertama kalinya sejak Rania pergi, Bani menangis—bukan karena kehilangan, melainkan karena hatinya mulai menemukan ruang baru untuk menyayangi kembali.