Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Ervan Kesal Sekaligus Penasaran
SHANUM?!”
Suara Ervan menggema dari ruang kerjanya. Tangannya mencengkeram ponsel Ikhsan yang masih menyala, menyisakan suara parau dari seberang sana. Ia tak mendengar jelas apa yang terjadi—hanya desahan kesakitan seorang perempuan, lalu suara lelaki lain yang samar entah berkata apa.
Matanya membelalak, dadanya bergemuruh hebat.
"Apa-apaan itu?! Suara Shanum ... dan ada suara laki-laki?!"
Pikirannya langsung dipenuhi bayangan buruk. Ia menggertakkan gigi, wajahnya mengeras penuh amarah yang membuncah tanpa alasan yang jelas. Sebuah rasa yang selama ini ia tekan mulai meluap dalam bentuk kekesalan tak beralasan.
“Perempuan murahan,” gumamnya, penuh getir.
Ervan melempar ponsel itu ke meja, berdiri dan berjalan mondar-mandir seperti harimau di kandang. Napasnya berat. Ia sendiri tak mengerti kenapa suara Shanum bisa membuatnya semarah ini. Bukankah perempuan itu ... tidak penting?
“Dia cuma perempuan yang terpaksa aku nikahi. Perempuan yang datang dari dunia yang berbeda. Harusnya aku tidak peduli.”
Namun kenyataannya, ia peduli. Terlalu peduli sampai suaranya saja bisa mengguncang pikirannya.
Ia meraih ponsel miliknya sendiri, membuka kontak. Tak ada nama Shanum di sana. Ia bahkan tak tahu pasti di mana perempuan itu tinggal sekarang, apalagi tempat kerjanya. Semua hal tentang Shanum adalah bayangan kabur yang sengaja ia abaikan sejak hari pertama pernikahan mereka.
“Siapa laki-laki yang tadi itu? Kenapa aku nggak tahu apa-apa?"
Rasa ingin tahu mengalahkan gengsi. Ia memanggil Ikhsan yang tadi sempat ia usir saat menelepon Shanum.
“Cari tahu di mana perempuan itu sekarang,” perintahnya dingin.
Ikhsan menatap bingung. “Perempuan siapa, Pak?”
“Shanum.”
Ikhsan hampir tersedak. “Istri Bapak?”
“Jangan sebut dia istri saya,” sentak Ervan cepat, penuh pertahanan. “Cari tahu saja, sekarang dia ada di mana!”
“Baik, Pak,” jawab Ikhsan cepat, langsung keluar dengan dada berdebar.
Begitu ruangan kembali sunyi, Ervan terduduk. Keningnya ditekan kuat oleh telapak tangan. Hatinya kacau. Otaknya masih dipenuhi dugaan buruk.
“Jangan-jangan dia memang ... perempuan licik yang cuma ingin masuk kehidupku demi uang. Atau lebih buruk—apa dia punya pria lain di luar sana. Katanya dia pacaran dengan Ren?”
Ia merasa dicekik oleh pikirannya sendiri.
Namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada suara lirih yang menolak semua tuduhan itu.
“Tapi ... kenapa dia tidak pernah meminta apa pun? Tidak mengejar-ngejarku? Bahkan pergi tanpa menoleh lagi. Ah, kenapa aku masih terus memikirkannya?”
Ervan menutup mata, menelan rasa kesal yang mulai menguasai dirinya.
***
Sementara itu, di toko kue yang ramai oleh pelanggan yang datang dan pergi, Shanum duduk di kursi belakang dapur, meringis sambil memegangi pinggang bagian kirinya.
Yogi, salah satu pekerja toko, dengan panik berdiri di sampingnya. “Maaf, Shanum! Aku nggak sengaja! Aku bener-bener nggak lihat kamu di situ,” ujarnya panik.
Tia langsung datang membawa air putih dan menyodorkannya. “Minum dulu, kamu pucat banget. Sakit banget, ya?”
Shanum mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski tubuhnya masih gemetar. Ia tak ingin membuat rekan-rekannya panik. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja tadi. Punggung Shanum kejedot rak dan sempat kejepit sama troli, tapi sekarang udah baikan kok.”
“Yakin kamu nggak mau periksa ke dokter dulu?” tanya Tia cemas, memperhatikan ekspresi sahabatnya itu.
Shanum buru-buru menggeleng. Ia tak mau menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, kehamilannya masih sangat muda dan tubuhnya belum menunjukkan perubahan mencolok.
“Beneran, Mbak Tia. Shanum cuma perlu istirahat sebentar. Nanti juga pulih kok.”
Tia mengangguk, meski wajahnya belum sepenuhnya lega. “Ya udah, aku ambilkan roti hangat sama teh manis. Duduk di sini aja, jangan kemana-mana. Nanti jam satu kita berangkat ke kost'an, ya.”
Shanum mengangguk lagi, menatap punggung Tia yang menjauh dengan perasaan campur aduk.
Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk.
Dari nomor asing—tapi isi pesannya membuatnya terdiam.
“Lagi sama siapa kamu?”
Alisnya terangkat. Ia mengetik cepat.
“Ini siapa?”
Tak butuh lama, balasan masuk:
“Kamu tahu ini siapa. Jangan pura-pura bodoh lagi!”
Shanum membeku. Ia mengenali gaya bicara itu. Dingin. Merendahkan. Menghakimi.
Ervan.
Ia menatap layar ponsel itu lama, mencoba menahan gejolak di dadanya. Lalu mengetik pelan:
“Kalau Pak Ervan benar-benar ingin tahu, seharusnya Bapak hadir sebagai suami yang sesungguhnya sejak awal. Sekarang Bapak tanya Shanum di mana, dengan siapa ... buat apa?”
Ervan membaca pesan itu dari balik meja kerjanya, dan untuk sesaat ... ia merasa terhina.
Namun yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Kenapa?
Kenapa ia masih peduli?
Kenapa bayangan Shanum tidak pernah benar-benar pergi semenjak ia menikahinya.
Ia mengacak-acak rambutnya, lalu mengirim satu pesan terakhir.
“Saya akan cari kamu. Jangan pikir kamu bisa sembunyi dari saya!”
***
Ponsel di tangannya berpindah-pindah posisi. Diputar, ditekan, lalu akhirnya dilempar pelan ke meja.
“Ikhsan, masuk.”
Panggilannya nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat pria muda itu masuk dengan tergesa, masih membawa clipboard dan tablet kerja.
“Ya, Pak?”
Ervan menatapnya sejenak, lalu berkata pelan namun dingin, “Telepon Aiman. Sekarang.”
Ikhsan nyaris terbatuk. “Aiman … maksudnya Pak Aiman yang—?”
“Ya, sopir itu. Ayah Shanum.”
Ikhsan buru-buru mengangguk dan segera mencari nomor Aiman di kontak. Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol panggil. Dalam beberapa detik, sambungan tersambung, dan terdengar suara berat dari seberang sana.
“Halo?”
“Selamat siang, Pak Aiman. Ini Ikhsan, asistennya Pak Ervan.”
“Oh, iya … iya, Pak Ikhsan. Ada apa ya?” Suara Aiman terdengar sedikit lelah, diselingi suara mesin infus dan langkah suster di latar belakang.
“Maaf mengganggu, Pak. Saya hanya ingin bertanya … apakah Shanum ada di rumah sakit sekarang? Atau mungkin sudah pulang ke rumah?”
Sebentar sunyi. Lalu Aiman menghela napas.
“Shanum nggak datang hari ini. Dari pagi saya di sini, jagain istri saya. Nggak ada kabarnya juga, mungkin ada di rumah. Kenapa, Pak?”
Ikhsan melirik ke arah Ervan yang kini menatapnya tajam, penuh tekanan. Ia menunduk sedikit, mencoba tetap tenang.
“Tidak apa-apa, Pak. Hanya ingin memastikan. Terima kasih atas waktunya.”
Begitu telepon ditutup, Ikhsan menoleh kembali ke bosnya. “Pak Aiman bilang … Shanum belum datang ke rumah sakit hari ini. Sejak pagi, kemungkinan ada di rumah.”
Ervan menyipitkan mata, rahangnya mengeras. “Hmmm.”
Ia bangkit dari kursi, berjalan mondar-mandir dengan langkah keras. Sepatunya menimbulkan gema tajam di lantai marmer ruangannya.
“Dia sengaja tidak mau kasih tahu ada di mana. Dikiranya dia bisa menjebakku,” gumamnya sendiri.
“Pak, mungkin—”
“Diam, Ikhsan,” potong Ervan cepat. “Jangan beri saya kemungkinan. Beri saya fakta.”
Ikhsan menunduk. “Baik, Pak.”
Bersambung ... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬