NovelToon NovelToon
Seni Perang Dalam Cinta

Seni Perang Dalam Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Enemy to Lovers / Si Mujur / Rebirth For Love / Idola sekolah
Popularitas:874
Nilai: 5
Nama Author: Dwiki

Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Retakan di Lapisan Es

Theresa Coldwell tidak menangis.

Dia bisa menggunakan sarkasme seperti pedang, membuat pria dewasa tergagap-gagap, dan berjalan menjauh dari setiap konfrontasi emosional dengan kepala tegak.

Menangis adalah untuk mereka yang kalah.

Theresa tidak pernah kalah.

Sampai malam ini.

Momen yang Seharusnya Tak Terlihat.

Matahari sudah lama tenggelam, dan lorong sekolah hampir kosong—kecuali satu orang.

Adrien Valmont sedang dalam perjalanan pulang ketika dia melihat sekilas bayangan bergerak di salah satu ruang kelas yang gelap.

Dia bukan tipe orang yang suka ikut campur. Serius, bukan.

Tapi ada sesuatu tentang cara Theresa duduk di sana, sendirian, dalam kegelapan yang membuatnya berhenti.

Theresa, kepala tertunduk, bahu tegang, duduk di dekat jendela dengan tangan terlipat erat.

Adrien mengernyit. Itu bukan gaya Theresa yang biasanya penuh drama dan percaya diri. Itu bukan Theresa yang menguasai ruangan dengan senyum iseng dan komentar tajamnya.

Ada sesuatu yang salah.

Dia mengetuk kusen pintu pelan. “Baru tahu kalau kamu mulai menekuni hobi merenung.”

Theresa tersentak.

Hanya sedikit—hampir tak terlihat—tapi Adrien melihatnya.

Dia menoleh tajam, api dingin di mata birunya langsung kembali menyala. “Bukannya kamu seharusnya sibuk mengganggu orang lain?”

Adrien mengangkat alis. “Bukannya kamu seharusnya sedang menakut-nakuti anak kelas satu?”

Theresa mendengus, tapi kali ini—tidak sefrontal biasanya.

Nada suaranya tetap tajam, tapi tangannya sedikit gemetar di pangkuannya.

Adrien melangkah lebih dekat. “Ada apa?”

“Bukan urusanmu.”

Sebuah kebohongan.

Kebohongan yang sangat, sangat jelas.

Dia menyilangkan tangan. “Dan kamu pikir aku akan percaya?”

“Aku pikir kamu akan tahu batas dan tidak ikut campur.”

Adrien menghela napas, bersandar di meja di hadapannya. Dia tak tertipu. Sama sekali tidak.

Dan kemudian—dia melihatnya.

Hanya sekejap.

Cahaya bulan yang masuk dari jendela mengenai sudut matanya. Dan saat itulah Adrien sadar.

Dia telah menangis.

Bukan tangisan yang keras. Bukan yang dramatis. Bukan jenis air mata yang mencari perhatian.

Diam. Terkendali. Hampir tak terlihat.

Tapi air mata itu ada.

Dan tiba-tiba, ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak.

Adrien tidak langsung bicara.

Karena jika ada satu hal yang dia tahu tentang Theresa Coldwell, itu adalah betapa dia membenci terlihat lemah.

Jadi, alih-alih memaksa, alih-alih melontarkan komentar sarkastik, dia hanya duduk di meja di depannya.

Dan menunggu.

Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya Theresa membuang napas kasar, menyelipkan jari-jarinya ke rambutnya.

Dia tidak akan menangis lagi—tidak di depannya.

Tapi… dia juga tidak menyuruhnya pergi.

Saat akhirnya Theresa berbicara, suaranya lebih pelan dari biasanya. Bukan tajam. Bukan dramatis. Hanya… lelah.

“Pernahkah kamu merasa seperti semuanya lepas dari kendali?”

Adrien menatapnya. “Pernah.”

Theresa mendengus ringan. “Kamu bukan tipe orang yang kehilangan kendali.”

Dia menyeringai setengah. “Begitu juga kamu.”

Theresa tidak tertawa.

Dia hanya kembali menatap keluar jendela, lengannya mengerat di tubuhnya sendiri.

Adrien ragu sejenak. Lalu, dengan hati-hati, dia bertanya, “Apa yang terjadi, Theresa?”

Theresa tidak langsung menjawab.

Lalu—dengan suara yang lebih pelan dari yang pernah dia dengar sebelumnya—

“…Tidak penting.”

Tapi itu penting.

Adrien tahu itu.

Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. “Aku tidak akan memaksamu untuk cerita.”

Theresa terkekeh kecil, hambar. “Itu baru pertama kali kau mengatakan hal seperti itu.”

“Terkejut?”

Sejenak, tampak seolah-olah dia akan melontarkan balasan tajam seperti biasa. Tapi kali ini—ekspresinya melunak.

Dia menatapnya. Benar-benar menatapnya.

Dan Adrien pun sadar.

Theresa terbiasa sendirian.

Bertarung sendirian. Menjaga jarak dari orang lain.

Tapi malam ini—entah kenapa—dia tidak mendorongnya pergi.

Jadi Adrien tetap tinggal.

Tanpa menggoda. Tanpa kata-kata tajam.

Hanya diam.

Dan untuk pertama kalinya…

Theresa tidak keberatan.

Sama sekali tidak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!