Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Jessica menempelkan wajahnya pada jendela mobil Harry, mobil itu mulai berjalan namun Jessica masih saja mengejarnya sambil meraung-raung meminta Nadia untuk menukar Austin dengan Harry.
"Ayolah Nadia, berikan pemuda tampan itu padaku!" Teriaknya, Nadia menoleh kesal sambil memutar bola matanya dengan malas.
Harry hanya diam, tak berani membuka mulut sebab Nadia sedang dalam mood yang buruk. Ia menginjak pedal gas, meninggalkan Jessica yang masih mengamuk bak singa betina yang baru saja kehilangan jantannya.
"Apa kau benar-benar marah pada Austin? Maksudku, bukannya kau hanya ingin menguras uang Austin saja sekarang?" Tanya Harry dengan penuh kehati-hatian.
"Iya, aku hanya berpura-pura marah tadi, siapa juga mau cemburu dengan laki-laki pengidap selingkuh stadium akhir itu? Air mataku lebih berharga darinya!" Jawab Nadia.
Harry memanyunkan bibirnya, kembali fokus menatap jalanan didepan mereka, tak lama mobil putih kreditan itu berhenti dihalaman rumah sakit. Keduanya segera menemui Rina dan Mario yang sedang menemani Andre, Ardi dan Arda duduk di kursi taman sambil menikmati roti ditangan mereka.
"Lagi pada ngapain? Enak sekali kelihatannya!" Ujar Nadia menyapa mereka.
Ardi tersenyum menunjukkan deretan giginya diikuti Andre, Nadia mencubit gemas pipi keduanya lalu ikut bergabung bersama Harry.
"Wahhh, apa yang kau lakukan dengan wajah dan pakaian mu, Kak? Kau sangat tampan, seperti bukan Kak Harry!" Ucap Arda.
"Iya, tidak biasanya kamu berpakaian seperti ini? Kalau Om lihat-lihat, kamu mirip aktor di drama box yang sering ditonton oleh Nadia, bisanya lelaki modelan begini selalu jadi CEO sebuah perusahaan!" Sahut Mario.
Nadia menutupi wajahnya, pesona tampan Harry ternyata bisa dilihat oleh kedua orang tuanya, bukan hanya dirinya saja seperti beberapa jam lalu saat ia mencium bibir merah lelaki itu.
"Apa masih ada yang sakit?" Tanya Harry pada ketiga pasien itu.
"Tidak ada lagi, Kak Harry, hanya belum sembuh total!" Jawab Andre.
"Baguslah kalian datang, Mama sama Papa mau pulang dulu kerumah, ngantukkkk, capek!" Ucap Rina.
Nadia mengangguk tersenyum, pasangan suami istri itu lekas berpamitan meninggalkan kelimanya disana. Tak lama setelah kepergian Mario dan Rina, tiba-tiba ponsel milik Harry berdering. Diraihnya benda pipih itu lalu menggulir layar birunya.
"Halo!"
"Saya mau bicara, cepat datang ke lokasi yang baru saja ku kirimkan!''
"Halo, dengan siapa saya berbicara? Halo, halo..... "
Tutttt
Panggilan telepon itu terputus begitu saja dengan sepihak, kening Harry berkerut menatap nomor yang baru saja menghubungi dan mengirimnya sebuah lokasi yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Nadia yang penasaran dengan apa yang terjadi pada Harry segera bangkit dari tempat duduknya, memeriksa layar ponsel Harry yang masih menyala.
"Siapa itu?" Tanyanya.
"Tidak tahu"
"Lalu apa ini? Apa dia menyuruh mu datang kesini?" Tanya Nadia lagi, dijawab anggukan pelan oleh Harry.
"Jangan pergi, biarkan saja!"
"Tapi, bagaimana jika terjadi sesuatu disana? Bagaimana jika ada yang penting yang ingin disampaikan oleh orang ini padaku?"
Nadia meletakkan punggung tangannya di dahi Harry untuk memeriksa suhu badan lelaki itu, kemudian membandingkannya dengan suhu badannya sendiri.
"Tidak panas, lalu kenapa kau jadi bodoh?" Tanyanya.
"Hah?"
"Hah hoh hah hoh!"
"Memangnya kamu tahu siapa yang menelfon mu barusan? Kamu tahu apa yang akan dia lakukan kalau kau datang kelokasi yang dia kirim tadi? Memangnya kamu tidak curiga kenapa orang itu tidak menjelaskan siapa dirinya dan untuk apa dia menyuruhmu ke sana? Hmmm?"
"Tapi kan...."
"Nggak ada tapi-tapi, Harry. Matikan ponsel mu sekarang juga!" Titah Nadia.
Tak ingin kakaknya menjadi pusat perhatian para pengguna rumah sakit umum itu, Arda segera memberi kode pada Harry agar lelaki itu menuruti apa yang diperintahkan Nadia. Ia menyenggol lengan Harry pelan sambil berdehem namun Harry tak kunjung mengerti maksudnya.
"Ehemm ehhemmm!"
Arda berdehem.
"Ehemmm ehemmm, ehhem ehhem ehhem!" Arda berdehem, dibantu Ardi dan juga Andre.
Harry menoleh sekilas kemudian menatap pada layar ponselnya kembali, sementara Nadia menggelengkan kepalanya saat ketiga remaja itu terus berdehem untuk memberi kode pada Harry. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada layar ponsel lelaki itu untuk melihat hal apa yang dilakukannya sekarang.
"Ehhem ehhem, ehhem ehhem, uhukkk uhukkk uhukkk!"
"Hueeekkkk!"
"Hmmmm, minum, minum, minum, percuma kalian batuk-batuk kayak gitu, sampai tahun depan juga dia nggak akan ngerti!" Bentak Nadia pada ketiga remaja itu.
Ketiganya beranjak kesal dari tempat duduk mereka, beriringan masuk kedalam rumah sakit. Harry masih terpaku pada ponselnya, beberapa pesan masuk beberapa detik lalu tampak mengacaukan isi pikirannya.
"Kau tidak sedang bermain-main denganku kan? Cepat datang atau kau akan menyesal!''
" Harry, kali ini aku tak bercanda. Aku tahu kau membaca pesanku, segera datang sebelum aku benar-benar gila! "
"Kau tidak akan datang? Ingat, aku menyimpan sebuah rahasia besar tentang orangtuamu!"
Deg
Pesan terkahir membuat Harry menelan salivanya dengan kasar, ia bangkit dari tempat duduknya sambil menatap Nadia dengan mata berkaca-kaca. Nadia yang semua kesal berubah kebingungan.
"Ada apa?" Tanyanya.
Harry menunjukkan pesan-pesan dari nomor tak dikenal itu, Nadia memperhatikan pesan teks itu beberapa kali, hanya ada dua orang didalam pikirannya yang mungkin berkaitan dengan pemilik nomor itu.
"Siapa saja yang tahu tentang identitasmu, Harry?" Tanya Nadia dengan raut wajah serius.
"Hanya Mama, Papa, Austin dan Bapak pemilik panti asuhan, selain itu..... kamu!"
"Dasar bodoh, kenapa kamu menyebut namaku segala? Aku berdiri di hadapanmu sejak tadi, bahkan tak memengang ponsel sedetik pun!" Kesal Nadia, namun kekesalannya tak berlangsung lama sebab ia tak ingin membuang waktu berharganya dan Austin.
"Kalau bukan Austin, pasti Jessica!" Ujarnya.
"Tidak mungkin, Austin tidak berani membocorkan identitasku hanya karena permasalahan tadi. Orang ini... orang ini pasti seseorang yang dekat denganku, seseorang yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya!" Ucap Harry.
Nadia memejamkan matanya beberapa saat, kembali membayangkan siapa pemilik nomor dengan pesan-pesan menjengkelkan itu, namun tetap saja, ia tak dapat menemukan siapapun selain Austin.
"Aku harus pergi, Nadia!''
"Tidak bisa, jangan pergi, apa kau mendengar ku?"
"Tapi ini penting, Nadia!"
"Kau lebih penting bagiku daripada masalah keluarga mu yang berantakan itu. Katakan padaku, apa yang kau takutkan jika identitas mu terbongkar, apa Harry?"
"Mama, karirnya akan hancur karena ku, karena aku, Nadia!" Jawab Harry lesu.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, ia menggenggam erat tangan Harry dengan kedua tangannya, ia menatap mata lelaki itu penuh kasih.
"Pernikahan mereka yang gagal bukanlah kesalahanmu Harry, tapi lihat apa yang terjadi, kamu jadi korbannya. Dan satu lagi, apa mereka pernah peduli denganmu? Tidak, bahkan jika kau mati hanya untuk menyembunyikan kebenaran tentang Ibumu yang sudah memiliki keluarga baru itu tak akan berguna, Harry. Mereka tak akan mengucapkan kata terimakasih dan aku bisa menjaminnya. Lagipula jika karirnya hancur karena bocornya identitasmu yang sebenarnya tidak akan merugikan mu, jika dia memarahimu, akan kumarahi balik dua. Apa kau mengerti?" Ujar Nadia panjang lebar.
Sesaat Harry masih berdialog dengan dirinya sendiri.
"Apa aku harus pergi?"
"Apa lebih aku mendengar apa yang Nadia katakan?"
Nadia menepuk pelan punggung tangan Harry untuk menyadarkan laki-laki itu dari lamunannya.
"Jangan habiskan tenagamu untuk orang yang tidak pernah memikirkan mu!" Ucapnya, barulah Harry tersadar, menurutnya apa yang dikatakan oleh pacarnya tersebut memang benar adanya, ia mengangguk pelan lalu Nadia dengan lembut merapikan rambutnya yang mulai berantakan.
Di kejauhan Jessica meringis dibalik tembok rumah sakit saat melihat keromantisan dari sepasang kekasih yang sempurna itu, ternyata beberapa waktu lalu ia mengejar dan membuntuti Harry dan Nadia hingga pada akhirnya mobil yang ia tumpangi membawanya masuk kedalam rumah sakit. Seketika Jessica memegangi dadanya lalu dengan cepat berjalan masuk kedalaman rumah sakit.
"Aku datang ke tempat yang salah tapi tepat, astaga, bagaimana cara mengatakannya?" Ucapnya berjalan sempoyongan memegangi dadanya yang terasa sesak.