roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Pagi itu, Roni mengeluarkan ponsel yang diberikan Bobi kepadanya dari dalam tas dan menanyakan cara menggunakannya.
“Miya, tolong dong kamu ajarin dia sampai bisa, ya,” pinta Bobi kepada Miya agar mengajarkan Roni cara menggunakan ponsel.
“Baiklah, sini aku ajarin. Begini ya caranya,” kata Miya sambil mulai menjelaskan cara menggunakan ponsel kepada Roni.
Roni hanya memperhatikan jari-jari Miya yang lincah mengotak-atik ponsel itu.
“Sebentar, aku save dulu nomormu. Di dalam ponsel ini sudah ada kartu, kan? Nih, pegang dulu. Aku coba telepon,” kata Miya.
Ketika Miya menelepon nomor di ponsel Roni, tiba-tiba ponsel itu berdering keras. Roni terkejut hingga membuang ponsel tersebut. Untung saja, ponsel itu jatuh di atas pasir pantai.
“Kok kamu buang? Astaga...” ujar Miya sambil tersenyum melihat tingkah Roni.
“Aku kira mau meledak. Suara tadi apa, sih? Kok tiba-tiba?” tanya Roni dengan wajah serius.
“Tadi itu namanya nada dering. Aku kan menghubungi nomor di ponselmu, jadi ponselmu berbunyi,” kata Miya, yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia hampir tertawa terbahak-bahak, diikuti Bobi yang juga tertawa dari kejauhan.
“Begitu ya... Astaga, kenapa kamu nggak kasih tahu tadi? Aku kira tadi mau meledak! Bikin aku kaget saja,” ucap Roni sambil memungut kembali ponselnya.
“Halo...” ujar Roni dengan ragu.
“Nah, itu suara aku, kan? Kamu bicara lewat ponsel ini, suaramu bisa terdengar di ponselku,” jelas Miya. Roni hanya mendengarkan dengan patuh seperti anak sekolah yang memperhatikan gurunya.
“Baiklah, aku mengerti sekarang. Lalu setelah itu bagaimana?” tanya Roni lagi. Miya pun melanjutkan penjelasannya dengan rinci.
“Baiklah, kita akan pulang nanti sore, ya. Kalian mandi atau bersantai dulu. Masih banyak waktu,” kata Bobi, memotong penjelasan Miya kepada Roni.
Hari pun mulai sore. Mereka bergegas untuk pulang dan merapikan semua tenda yang mereka dirikan. Setelah semuanya siap, mereka berangkat menuju kota.
Karena tempat itu cukup jauh dari kota, tepatnya di dekat kampung, mereka membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai. Akhirnya, malam hari sekitar pukul sepuluh, mereka tiba di kota.
“Roni, bagaimana kalau malam ini kamu menginap di rumahku saja? Besok pagi aku antar pulang, bagaimana?” kata Bobi sambil fokus menyetir.
“Baiklah,” jawab Roni singkat sambil terus mengotak-atik ponselnya. Sejak awal perjalanan, ia tidak berhenti mencoba memahami cara menggunakan ponsel tersebut, meskipun masih bingung.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di kediaman Bobi. Bobi memarkirkan mobilnya di halaman rumah.
“Nah, ini dia rumahku, Roni. Ayo turun, kita masuk,” ajak Bobi.
Roni turun dari mobil bersama Miya, yang sedari tadi memperhatikan Roni sibuk dengan ponselnya.
“Kapan kamu antar aku pulang?” tiba-tiba Roni bertanya. Rupanya, sejak tadi ia hanya fokus pada ponselnya tanpa mendengarkan ucapan Bobi.
Bobi berbalik, memandang Roni dengan melotot.
“Jadi kamu dari tadi nggak mendengarkan apa yang aku katakan? Astaga, sia-sia juga kerongkonganku kering bicara sepanjang jalan!” kata Bobi dengan nada kesal.
“Jadi begini, Roni. Untuk malam ini, kamu menginap dulu di rumahku. Besok aku antar pulang, oke?” kata Bobi, mengulangi ucapannya.
“Tapi aku nggak enak sama orang tuamu,” kata Roni.
“Tidak apa-apa. Mereka juga sedang di luar kota, jadi kamu santai saja, oke?” ujar Bobi. Roni pun tidak bisa menolak.
“Baiklah, ayo masuk,” ajak Bobi. Roni hanya mengikutinya.
Bobi menggandeng kekasihnya masuk ke dalam rumah. Kekasihnya itu sedari tadi tidak melepas lengannya, seperti lem yang melekat erat di tubuh Bobi.
“Bik, buatkan makanan yang banyak, ya. Kami sangat lapar,” pesan Bobi kepada pembantu rumah tangga di rumahnya.
“Baik, Den. Ditunggu, ya,” jawab sang pembantu dengan patuh.
“Ini rumah atau istana? Besar sekali, mewah juga! Astaga, aku baru pertama kali masuk rumah sebesar ini,” gumam Roni sambil memandang ke sekeliling rumah Bobi. Ia melihat berbagai barang mewah yang menghiasi rumah tersebut.
“Miya, tolong temani Roni, ya. Aku mau mengabari Mama kalau kita sudah pulang. Kemarin beliau berpesan agar aku memberi kabar saat sudah sampai,” kata Bobi kepada Miya.
“Baik, Kak,” jawab Miya. Ia menghampiri Roni dan mengajaknya mengobrol sambil menunggu makanan tersaji.
Beberapa saat kemudian, pembantu rumah itu memberi tahu bahwa makanan telah dihidangkan. Bobi segera mengajak Roni untuk makan malam bersama. Setelah makan malam selesai, Miya mengajak Roni untuk duduk dan minum di area kolam renang di belakang rumahnya. Sementara itu, Bobi kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas kuliah. Tahun ini adalah tahun terakhirnya, dan ia akan segera lulus untuk melanjutkan studi S2 di luar negeri, sesuai permintaan ayahnya. Karena itu, Bobi benar-benar fokus belajar demi mendapatkan nilai yang baik.
“Bolehkah aku mandi di sini?” tanya Roni tiba-tiba, sambil melihat kolam renang dengan air yang tampak begitu jernih.
“Serius kamu mau mandi malam-malam? Baiklah, kalau kamu mau, mandi saja. Tidak ada yang melarang,” jawab Miya sambil tersenyum, mempersilakan Roni.
“Kamu nggak ikut mandi?” tanya Roni lagi.
“Nanti, deh. Kamu mandi dulu. Aku ambil air putih sebentar, tunggu, ya,” ucap Miya, lalu beranjak pergi ke dapur untuk mengambil air putih.
Saat Miya berada di dapur, suara ponselnya berdering. Kebetulan, Bobi juga mendengar suara dering ponsel tersebut.
“Di mana Roni? Oh iya, itu siapa yang nelpon?” tanya Bobi dengan nada tegas.
“Biasa, Kak. Jack. Dia selalu menghubungiku jam segini, tapi tidak aku respons,” jawab Miya santai.
“Sini, biar aku yang ngomong. Kamu pergi temani Roni. Aku juga mau antar Seli pulang,” ujar Bobi sambil merebut ponsel Miya. Miya pun menurut, lalu meninggalkan dapur untuk kembali menemui Roni di kolam renang.
“Halo, ya ada apa? Buat apa menghubungi adikku?” tanya Bobi dengan suara tegas karena memang tidak menyukai Jack, yang selalu ingin mendekati adiknya.
“Halo, Bro... Di mana Miya? Boleh saya bicara sebentar?” jawab Jack dari seberang.
“Dia sedang sibuk. Tolong jangan telepon dia lagi, dengar tidak?” jawab Bobi dengan suara kesal.
“Astaga, ada masalah apa sih sama gue, Bro? Kau selalu saja melarangku mendekati adikmu. Aku benar-benar menyukainya!” ujar Jack dengan nada serius.
“Telan kembali kata-katamu! Aku tidak suka kau mendekati adikku. Dia tidak suka orang sepertimu,” tegas Bobi.
“Yang tidak suka itu kau atau dia?” tanya Jack, namun sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Bobi langsung memutus panggilan telepon tersebut. Hal itu membuat Jack sangat geram hingga memukul meja di depannya.
“Sialan... Dia berani memutus panggilanku! Kau tidak tahu siapa aku, Bob. Andai kau bukan kakaknya Miya, sudah kuhabisi kau, sialan!” gerutu Jack dengan marah.
Bobi meletakkan ponsel Miya di meja, lalu segera pergi mengantarkan kekasihnya pulang.
Jack adalah seseorang yang tidak disukai Bobi sejak awal. Di kampus, Jack dikenal sebagai orang yang sombong dan suka pamer kekayaan. Dari awal Jack masuk kampus, Bobi sudah tidak menyukainya. Jack seangkatan dengan Miya, sehingga Bobi sebagai senior merasa perlu menjaga adiknya dari pengaruh Jack.
Sementara itu, Miya kembali ke kolam renang sambil membawa gelas berisi air putih di tangannya. Perlahan, ia berjalan dengan pandangan yang terus tertuju pada tubuh Roni. Wajah tampannya yang basah serta rambut panjang yang disibakkan ke belakang membuat Miya tanpa sadar tersenyum. Kalung kain hitam yang melingkar di leher Roni menambah daya tariknya, apalagi tubuhnya yang putih dan mulus semakin mempesona di mata Miya.
“Kenapa dia begitu tampan sekali? Aku bersumpah, baru kali ini aku melihat pemuda setampan dia,” gumam Miya dalam hati.
Walau Roni hanya seorang pemuda kampung yang tidak memiliki apa-apa selain ketampanannya, Miya sama sekali tidak peduli. Ia merasa sangat terpesona oleh paras tampan Roni dan ingin selalu berada di dekatnya.
“Hai, apa yang kau lihat? Ayo gabung,” panggil Roni, membuyarkan lamunan Miya. Miya pun mengangguk, lalu melepas jaketnya sebelum melompat ke dalam kolam renang.
Mereka berenang bersama sambil berbincang-bincang seperti biasa. Namun, saat sedang mengobrol, Miya tanpa sadar meletakkan jarinya di perut Roni yang berotot. Gerakan spontan itu membuat Roni menatapnya tajam, berpikir bahwa Miya sedang menggodanya.
Mereka saling bertatapan begitu lama. Wajah cantik dan sikap polos Miya membuat Roni tidak bisa menahan diri. Ia mendekat, lalu menarik tubuh Miya agar lebih dekat dengannya.
“Miya...” bisik Roni lembut.
“Iyah...” jawab Miya dengan suara berbisik juga.
Tanpa diduga, Roni langsung mencium bibir Miya. Miya terkejut, tidak menyangka bahwa Roni akan menciumnya. Namun, ia justru membalas ciuman Roni.