NovelToon NovelToon
Cinta 1 Atap Bareng Senior

Cinta 1 Atap Bareng Senior

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.

Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.

Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 4 Malam yang Mengganggu

Beberapa hari setelah malam penuh kenangan dan luka itu, suasana di kos terasa berbeda. Galuh menyadari perubahan kecil yang terjadi antara dirinya dan Saras. Bukan hanya soal sikap yang kini lebih hangat, tapi juga cara Saras mulai memberinya tempat dalam kesehariannya.

Pagi itu, saat Galuh turun ke dapur, ia dikejutkan oleh aroma nasi goreng yang menggoda. Di meja sudah terhidang dua piring lengkap dengan telur ceplok di atasnya. Saras berdiri di dekat kompor dengan celemek lusuh bertuliskan “I’m not bossy, I just have better ideas”.

“Pagi,” sapa Saras tanpa menoleh.

Galuh sempat terdiam. “Eh… pagi juga, Kak. Ini…?”

“Buat sarapan. Kamu kan sering skip sarapan,” jawab Saras sambil meletakkan sendok di atas piring.

Galuh tersenyum kecil. “Wah, aku beruntung banget tinggal bareng senior secantik dan sepandai masak kayak Kak Saras.”

Saras menoleh dan menyipitkan mata. “Itu gombal. Tapi karena kamu bantu aku malam itu, anggap aja ini balas jasanya.”

Galuh duduk sambil menahan senyum. Meski Saras terdengar santai, ada kilatan hangat di matanya. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, mereka sarapan bersama di meja yang biasanya hanya jadi tempat numpuk cucian piring kotor.

---

Waktu terus berjalan, dan Galuh mulai terbiasa dengan kedekatan itu. Ia belajar menahan gejolak yang sering tiba-tiba muncul saat melihat Saras tertidur di sofa, atau saat mereka bertukar cerita soal masa kecil. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa dikendalikan semudah mematikan lampu kamar. Ia tumbuh. Diam-diam, tapi pasti.

Hari itu, Galuh pulang lebih cepat dari biasanya. Ia baru saja selesai rapat tim dokumentasi untuk kegiatan kampus. Saat membuka pintu kos, ia mendapati Saras sedang duduk di ruang tamu dengan wajah murung.

Galuh menaruh tasnya dan mendekat. “Kak Saras? Kenapa?”

Saras menatapnya dengan mata merah. “Teman kelompokku ngadu ke dosen… katanya aku nggak kerja apa-apa.”

Galuh duduk di sebelahnya. “Tapi kan kamu yang ngumpulin semua data dan bikin power point-nya.”

Saras mengangguk pelan. “Aku nggak ngerti kenapa mereka bisa segitu tega.”

Galuh menarik napas panjang, mencoba menenangkan. “Mungkin karena kamu terlalu pendiam. Mereka kira kamu nggak ngapa-ngapain.”

“Kalau aku banyak ngomong, orang bakal bilang aku sok tahu.”

“Kalau kamu diem, orang bilang kamu nggak peduli,” Galuh mengangguk pelan. “Kamu nggak akan pernah bisa nyenengin semua orang, Kak. Tapi kamu bisa fokus nyenengin diri sendiri.”

Saras menatap Galuh. Lama.

Dan untuk pertama kalinya, ia bersandar di bahu pemuda itu.

“Kalau kamu nggak ada, aku nggak tahu bakal kayak gimana sekarang,” ucap Saras pelan.

Galuh menahan napasnya. Suara detak jantungnya terasa terlalu keras di dalam dada.

“Aku… seneng bisa ada di sini buat Kak Saras,” balas Galuh pelan.

Dalam diam itu, udara terasa aneh. Akrab, tapi canggung. Galuh tahu bahwa momen ini berharga. Tapi juga berbahaya. Ia bisa kehilangan semuanya jika salah langkah. Karena meskipun kedekatan itu nyata, Saras tetaplah Saras seseorang yang menyimpan banyak rahasia dan luka.

---

Malam harinya, Galuh duduk sendirian di kamar. Ia membuka jurnal pribadinya di laptop, lalu mulai mengetik.

“Hari ini, Saras bersandar di bahuku. Bukan mimpi. Bukan delusi. Tapi aku tahu, perasaanku semakin sulit dibendung. Aku takut. Aku takut berharap lebih, karena satu langkah lebih jauh bisa menghancurkan semuanya. Tapi kalau aku diam terus, perasaan ini bisa membunuhku pelan-pelan.”

Galuh menutup laptopnya dan menghela napas berat. Ia tahu, suatu saat, ia harus mengambil keputusan. Menjaga perasaannya tetap tersembunyi, atau mengungkapkan semuanya dan bersiap dengan segala risikonya.

---

Beberapa hari setelah kejadian itu, Saras mulai sedikit menjaga jarak. Ia tak lagi sarapan bersama Galuh, dan lebih sering mengunci diri di kamar. Galuh tidak bodoh ia tahu, Saras sedang berusaha mengembalikan batas yang mulai mereka lewati.

Suatu malam, Galuh memberanikan diri mengetuk pintu kamar Saras.

“Kak… kita bisa ngobrol sebentar?” tanyanya.

Tak ada jawaban. Galuh menunggu. Detik demi detik berlalu.

Akhirnya, pintu terbuka perlahan. Saras berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.

“Ada apa?”

Galuh menatapnya, mencoba mencari celah di balik tatapan dingin itu.

“Aku cuma mau pastiin… kita baik-baik aja, kan?”

Saras terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Kita baik-baik aja. Tapi mungkin… kita perlu jaga jarak sebentar.”

“Kenapa?” suara Galuh melemah.

Saras menarik napas panjang. “Karena aku nggak tahu aku ini siapa buat kamu, dan kamu siapa buat aku. Dan sebelum semua ini jadi terlalu dalam… aku butuh waktu.”

Galuh menunduk. Jawaban itu pedih. Tapi ia tahu, Saras tidak salah. Justru Saras sedang mencoba menyelamatkan mereka berdua dari perasaan yang belum punya bentuk.

“Baik, Kak. Aku ngerti.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, Galuh tidur dengan lampu menyala. Hatinya remuk. Tapi ia tahu, perasaan tidak selalu harus diperjuangkan saat itu juga. Kadang… yang dibutuhkan hanya waktu.

1
Esti Purwanti Sajidin
waaahhhhhhhh keren galuh nya,laki bgt
kalea rizuky
bagus lo ceritanya
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 1 replies
kalea rizuky
Galuh witing tresno soko kulino yeee
ⁱˡˢ ᵈʸᵈᶻᵘ💻💐
ceritanya bagus👌🏻
Irhamul Fikri: terimakasih kak🙏
total 1 replies
lontongletoi
awal cerita yang bagus 💪💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!