Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
beli hp
Santi, Nabil, dan Heru turun dari angkot dengan langkah cepat. Tujuan mereka jelas—mencari ponsel bekas yang bisa digunakan Nabil untuk belajar. Santi, meskipun hanya seorang ibu yang berjualan gorengan, berkaat arahan nabil ponsel itu akan dia gunakan untuk jualan online dan tentu saja untuk belajar nabil yang rasa ingin tahunya sangat tinggi, koran bekas, buku bekas belum juga memuaskan rasa ingin tahu nabil
Mereka berjalan menuju sebuah pusat konter ponsel yang terletak di dekat pusat perbelanjaan. Beberapa kios ponsel berdiri berdampingan, menawarkan berbagai jenis ponsel dengan harga yang bervariasi. Santi berharap menemukan sesuatu yang sesuai dengan anggarannya.
Namun, sesampainya di sana, mata orang-orang mulai tertuju pada mereka. Santi, Nabil, dan Heru berjalan dengan pakaian yang sederhana dan agak lusuh. Setiap langkah mereka menarik perhatian. Heru, yang biasanya diam, tampak sedikit canggung di antara kerumunan orang yang lebih berpakaian rapi. Nabil, dengan penampilannya yang juga sederhana, tetap berjalan dengan kepala tegak, meski ia tahu betul pandangan orang-orang yang sering kali menilai hanya dari penampilan.
Di depan salah satu konter, Santi bertanya tentang harga ponsel bekas. Namun, beberapa konter langsung menanggapi dengan dingin.
“Disini ga ada ponsel yang murah bum disini ponsel anroid semuam, ga ada ponsel jadul, dan kalian ngapain juga beli ponsel” ucap pejaga toko
“heran gue kenap sih orang yang kucel bisa masuk ke toko hp seperti ini, gimana kalau mereka maling, beli enggak bau iya”
“itu lagi ada anak aneh dibawa segala, kalau gua mah ogah bawa anak kayak gitu”
“hus jangan kayak gitu, jangan suka merendahkan orang lain, nanti berbalik ke kita”
Tiba-tiba, teriakan keras terdengar, mengguncang kesunyian pagi yang hening.
“Maling! Maling!” suara itu datang dari belakang, dan semua mata langsung menoleh. Seorang lelaki berpakaian jaket hijau, kaus hitam, dan kaca mata hitam berjalan santai di tengah kerumunan. Santi menatapnya sejenak, tidak memahami apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, lelaki itu lewat tepat di depan mereka, melewati Santi, Nabil, dan Heru. Namun, setelah ia berjalan beberapa langkah, sebuah suara keras terdengar.
“Kalian pasti malingnya!” teriak seorang wanita yang berdiri di dekat konter.
Semua mata tertuju pada Santi, Nabil, dan Heru. Santi terkejut dan bingung. “Apa maksudnya?” pikirnya dalam hati.
Santi, berusaha tetap tenang, bertanya, “Kenapa kalian menuduh kami?”
“Karena kalian pakaiannya dekil! Pasti kalian yang mencuri, bukan?” kata salah seorang pria yang tiba-tiba muncul dari kerumunan. Nadanya penuh dengan tuduhan.
Santi terdiam sejenak beginilah kalau jadi orang miskin dimana-mana selalu direndahkan padahal santi ingin membeli ponsel bukan ingin mencuri, memang ketidak adilan selalu terjadi dimana-mana, bukan hanya negara yang sering tidak adil sesama warganya juga sering berlaku tidak adil
“Itu tidak bisa membuktikan kalau kami pencuri. Kalau kalian tidak percaya, silakan periksa kami.”ucap santi membela diri
Heru yang sejak tadi diam, mulai tampak gelisah. Namun, ia tetap berusaha tenang, menahan rasa marah yang mulai muncul. Nabil, yang selalu mengamati keadaan dengan cermat, akhirnya membuka mulut.
“Kalian salah. Yang maling itu dia!” ujar Nabil dengan suara yang yakin, menunjuk lelaki berpakaian jaket hijau yang baru saja lewat.
Semua mata kini beralih ke Nabil. Mereka tidak mengerti mengapa seorang anak kecil bisa begitu percaya diri dan menuduh seseorang. Salah seorang pria yang semula mencurigai Santi langsung membentak, “Jangan asal tuduh kamu!”
Namun Nabil, dengan tenang, melanjutkan, “Pria itu, yang pakai jaket hijau, kaos hitam, dan kaca mata hitam. Kalau dia berjalan seperti biasa, dalam waktu sepuluh menit dia akan sampai di luar gedung ini. Dia akan menelepon teman-temannya dan memberi tahu bahwa ponsel itu sudah ada di tangannya. Dan kamu, Pak, akan pergi dari sini setelah menyalahkan kami.”
Santi menatap Nabil, heran dan tercengang. Bagaimana Nabil bisa tahu semua itu? Setiap kata yang keluar dari mulut anaknya terasa begitu meyakinkan, seolah Nabil melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
“Lelucon macam apa ini? Kamu tidak bisa membuktikan apapun,” kata pria yang menuduh dengan nada meremehkan. Ia tertawa, mencoba meredakan ketegangan yang tercipta.
Namun Nabil tidak gentar. “Jam 09:10 kamu jalan berdua sama dia, 09:11 dia mengambil ponsel itu, 09:12 kamu berteriak menuduh kami maling. Bau parfumnya masih menempel di baju kamu, dan sebentar lagi ponsel kamu akan berdering. Setelah itu, kamu akan pergi karena itu kode kalau teman kamu sudah aman.”
Santi menggigit bibirnya. Ia tidak tahu apakah ini semua kebetulan atau jika Nabil benar-benar bisa membaca situasi seperti itu. Hatinya berdebar, tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak lama setelah itu, suara dering ponsel terdengar keras. Semua orang terdiam. Lelaki yang tadi berteriak langsung menunduk, wajahnya pucat. Nabil memandangi ponsel yang terus berdering, seolah memegang kunci dari semua yang sedang terjadi.
“Wey, bener bunyi! Jangan sampai dia lari, wey!” terdengar suara seorang pria dari ujung telepon. Suara itu penuh dengan kecemasan.
“Enak saja! Siapa bilang gua mau lari? Gua tetap di sini!” balas lelaki berjaket hijau itu dengan suara rendah, meskipun jelas ada ketegangan dalam suaranya.
Ponsel terus berdering. Sekali lagi, suara dari ujung telepon terdengar.
“Angkat dan buka loudspeaker!” teriak seorang security yang mendekati mereka.
Seorang security yang lain dengan cepat merampas ponsel dari tangan lelaki itu dan menekan tombol loudspeaker.
“Dimana, bego? Gue udah di lobi, banyak pemeriksaan nih!” terdengar suara wanita yang panik di telepon.
Saat itu juga, pengunjung lain yang menyaksikan kejadian ini mulai berteriak, “Ghuuuuu! Dasar maling, teriak maling!”
Wajah lelaki berjaket hijau itu semakin pucat. Semua yang ada di dalam toko kini tahu bahwa tuduhan mereka terhadap Santi dan Nabil adalah salah besar. Keberanian Nabil dalam mengungkapkan kebenaran tak hanya menyelamatkan dirinya dan ibunya, tetapi juga mengungkapkan siapa sebenarnya pencuri itu.
Santi berdiri dengan hati yang berdebar, namun ada rasa lega yang perlahan datang. Dalam diam, ia memandang Nabil. “Terima kasih, Nak. Kamu sudah sangat hebat,” bisiknya.
Nabil hanya tersenyum dengan cara yang tenang, seolah kejadian itu hanya hal biasa baginya.
Hey, bocah! Sini, lu mau beli HP?” ucap seorang pria bermata sipit, berdiri di depan konter yang paling ujung, mengenakan kaos putih polos dan celana jins belel.
“Iya, Ko. Kami mau beli HP… HP bekas saja, Ko. Yang penting bisa dipakai buat belajar,” jawab Heru sopan, sambil menggandeng tangan Nabil.
Pria itu tersenyum tipis. “Nih, sebelumnya gua minta maaf ya. Pelayan gua suka bego. Udah gua bilang, perlakukan pelanggan dengan baik. Tadi gua lihat di CCTV, mereka pada songong. Heran gua, udah miskin, masih sombong juga.”
Santi mengangguk, menunduk sedikit. “Iya, enggak apa-apa, Ko. Namanya juga manusia. Mungkin mereka belum belajar menghargai orang.”
Pria itu terkekeh kecil. “Lu ngomongnya adem ya, Mbak. Padahal tadi udah dituduh maling sama orang-orang di sini. Salut gua, masih bisa sabar.”
Ia lalu membuka etalase kaca di hadapannya, memperlihatkan beberapa ponsel bekas berbagai tipe. “Nih, gua punya beberapa stok bagus, baterai awet, kondisi oke. Gua kasih harga temen. Anggap aja ini buat si bocah pinter yang bisa nginget jam segitunya tadi. Gokil juga tuh anak.”
"Makasih, Ko... Koko orang baik. Koko selalu jujur, bilang kelebihan dan kekurangan ponselnya," gumam Nabil sambil tersenyum kecil.
Ko Ahong tertawa pelan. "Haha, anak baik. Nih, gua kasih bonus kartu. Tiga bulan nggak usah beli pulsa. Buat internetan bisalah, lumayan kan?"
Nabil memandangi etalase sebentar, lalu menunjuk salah satu HP.
"Aku pilih yang itu, Ko. Walau tampangnya udah usang, tapi belum pernah diservis. Pemilik sebelumnya sering pakai, tapi dia hati-hati ya. Buktinya casing-nya masih mulus."
Ko Ahong melongo. "Wah, hebat banget lu, ya. Bisa nebak kayak gitu."
Santi menatap anaknya penuh haru. Heru ikut tersenyum bangga. Di balik tubuh mungil Nabil, ada otak jenius yang perlahan mulai menunjukkan sinarnya.
Ko Ahong menepuk pundak Nabil. "Anak kayak kamu, kelak pasti jadi orang besar."