“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Sesuatu di Antara Mereka
"Bagaimana dengan luka-luka mu?" Zea terus bertanya saat Giovanni menariknya jauh dari pantai.
Namun lelaki di depannya sama sekali tidak menanggapi jawaban Zea dan hanya terus melangkah pergi.
"Giovanni Aku bertanya padamu." Sirat kekhawatiran muncul di wajah Zea.
"Hanya luka kecil, bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan berlebihan,"ucap Giovanni tegas dengan wajah datarnya seolah pertanyaan Zea hanyalah gangguan.
"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kau tinggal di pantai? Bagaimana dengan Rossa? Federico? Dan yang lainnya?" Setelah mendapatkan jawaban tidak mengenakan dari Giovanni, Zea mengalihkan kekhawatirannya pada para bawahan lelaki itu terutama Rossa yang tadi terbaring pingsan di bawah pantai.
"Tidak perlu khawatirkan mereka. Mereka sudah terbiasa menghadapi hal itu." Giovanni masih terus berjalan hingga sampai di mobil putihnya dia menuntun Zea sea untuk masuk di kursi numpang bagian belakang di sisi kiri serta Giovanni akan duduk di sisi kanan.
Sementara mobil dikendarai oleh sopir panggilan Giovanni karena lengan lelaki itu sedang cidera.
"Kau bilang mereka sudah terbiasa? Berarti mereka sering ikut bertarung denganmu seperti ini?" Zea terus mengajukan pertanyaan.
Sementara Giovanni menyandarkan tubuhnya ke backrest mobil sembari menghela nafas, "aku sudah bilang demikian, untuk apa kau bertanya lagi?"
"Baiklah-baiklah." Zea menggigit bibir bawahnya, memang sulit sekali bicara dengan Giovanni ini.
Namun, Zea masih tidak ingin diam karena pertanyaan-pertanyaan di kepalanya begitu mengusik dirinya.
Zea kembali bertanya pada Giovanni beriringan dengan suara mesin mobil yang membawa mereka pergi dari pantai itu, "Siapa sebenarnya William Romano? Bukankah dia yang tadi menyerangmu?"
Ekor mata Giovanni melirik Zea, "lebih tepatnya bawahan. Aku menebak, William hanya memantau dari jauh."
"Tapi tetap saja mereka suruhan William kan?"
"Ya, kau benar."
"Kenapa William sampai melakukan itu?" Kening Zea mengkerut karena penasaran.
"Apakah perlu kuingatkan? Waktu kau kabur dari mansion. Saat aku dan William terlibat dalam pertarungan, Aku menembak tangannya. Sekarang adalah caranya untuk membalas dendam." Giovanni menarik sudut bibirnya, sekaligus melirik sambil menanti reaksi Zea.
Gadis itu terbelalak seketika. "Tentu saja aku ingat dengan lelaki itu. Hanya saja Aku tidak menyangka kalau dia akan melakukan penyerangan seperti tadi dengan menyuruh para bawahnya."
"Begitulah dia." Giovanni melihat ekspresi Zea yang dilanda kebingungan. "Kenapa kau tidak menyangka William akan melakukan hal itu?" Lelaki itu pun bertanya untuk memuaskan rasa penasarannya.
"Karena pertama kali aku bertemu dengan dia, dia ada orang yang ramah. Yah, walaupun saat pertarungan waktu itu ... dia tampak mengerikan."
Giovanni bersemirik.
Sekarang lelaki itu tahu apa yang hal yang dipikirkan Zea sejak tadi. "Kau harus berhenti Terlalu percaya dengan orang lain. William adalah mafia sama sepertiku. Wajar saja dia memiliki jiwa balas dendam yang kuat."
"Jadi pada akhirnya itu ... salahku?" Zea menggigit bibir bawahnya.
Jika saja waktu itu, Zea langsung kabur tanpa meminta bantuan William yang sebenarnya sangat mencurigakan. Mungkin saja hal seperti ini tidak akan terjadi.
"Tidak sepenuhnya salahmu, aku dan William memang sudah terbiasa melakukan pertarungan. Di dunia bawah, hal seperti itu sering terjadi." Giovanni kini mendorong punggung nya dari sandaran. "Tapi kau bersalah padaku karena berani kabur dari Mansion."
Zea yang mendengar celetukan Giovanni tersebut seketika meremas gaun putih selutut nya. "Aku hanya takut padamu, sudah sewajarnya aku berniat kabur. Lagi pula berada bersamamu bukanlah keinginanku. Harusnya kau memahaminya. Lagi pula aku juga sudah mendapatkan hukuman darimu kan." Zea mengatur irama nafasnya.
"Baiklah. Diterima."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Giovanni menyilangkan tangannya ke depan lalu menyentuh masing-masing ujung kaos dan menariknya ke atas.
Zea yang melihat Giovanni dengan santainya melepas kaus kotor yang penuh dengan darah itu seketika terbelalak. "Ah-! K-kau .."
Setelah kaus itu terlepas, Zea bisa melihat dada bidang Giovanni dengan struktur perut yang sempurna seperti roti sobek.
"Kenapa?"tanya Gio sntai.
"Tidak bisakah kau menunggu hingga sampai Ke mansion untuk mengganti kausmu?!" Wajah Zea memanas menahan malu.
Untuk urusan berganti pakaian, Giovanni selalu saja seperti mengabaikan kehadiran gadis itu di sana.
Giovanni yang melihat ekspresi Zea ketika berseringai, "untuk apa aku harus menunggu sampai ke mansion jika aku bisa mengganti pakaianku langsung di sini. Lagipula, rasanya tidak nyaman saat darah-darah itu merembes ke kulitku."
"Tetap saja kau harus menjaga... Ah! Begini, tetap saja aku perempuan! Kau tidak bisa melakukan hal sesantai itu di depanku!" Zea menggigit bibir bawahnya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan karena malu, supir di depan pun terkikik pelan mendengar jeritan keras Zea.
Jantung gadis itu berdebar kencang tak karuan.
Sementara Giovanni terkekeh pelan,"Kau properti ku."
"Giovanni!!"
"Buka wajahmu, aku hanya bertelanjang dada." Giovanni menyentuh telapak tangan Zea.
"Tetep saja telanjang!" Tapi, Zea tetep tidak akan melepaskan tangannya dari wajah.
"Kalau begitu terus saja menutupi wajahmu sampai kita tiba di mansion, karena aku tidak berniat memakai baju kotor itu lagi." Giovanni menarik kembali tangannya lalu bersedekap dada. "Saat para wanita di luar sana memuja-muja diriku dan bertekuk lutut ingin menyentuh tubuhku, kau malah menutupi wajahmu."
"Aku tidak peduli dengan orang lain,"tukas Zea
Giovanni tersenyum manis melihat betapa menggemaskannya gadis di sampingnya itu. "Baiklah ... terserah.” Lelaki itu menyipitkan matanya, keningnya berkerut. “Tapi, setelah kejadian tadi kau baik-baik saja kan?”
Zea mengangguk dengan telapak tangannya masih menutup wajah. "Aku baik-baik saja, tapi ... Rosa tidak baik-baik saja."
"Federico bisa mengatasinya." Giovanni memijat tengkuk lehernya.
Tak lama kemudian, mobil mewah tersebut akhirnya masuk area Mansion. Setelah terparkir rapi di halaman Mansion, Giovanni kembali berucap, "kita sudah sampai, kau bisa membuka telapak tanganmu sekarang."
"Kau tidak berbohong kan?"
"Untuk apa aku berbohong? Aku selalu memegang kata-kataku." Lantas kemudian Giovanni keluar dari mobil.
Saat mendengar suara pintu mobil tertutup, Zea kemudian menurunkan kedua tangannya dan mengelola nafas lega. Lalu Zea keluar dari mobil, tidak sengaja netranya menangkap sosok tinggi Giovanni dari belakang. Dia bisa melihat luka-luka lecet di punggung lelaki yang sedang berjalan masuk ke Mansion itu.
Mendadak Zea merasakan desiran aneh dalam dadanya. Namun, gadis itu segera menghilangkan kepalanya untuk menangkal perasaan yang entah datangi dari mana itu.
Malam di mansion itu terasa sunyi, seolah seluruh dunia menahan napas. Cahaya lampu gantung yang mewah memantulkan bayangan samar di lantai marmer, sementara gorden tipis bergerak pelan diterpa angin yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka.
Suara gemercik air terdengar dalam ruangan kamar mandi Giovanni Altezza yang saat itu tengah membersihkan tubuhnya. Air hangat mengalir dari pancuran, membasahi tubuh Giovanni yang tegap. Uap tipis memenuhi kamar mandi, menciptakan kabut lembut di cermin besar di seberangnya.
Tetesan air mengalir di sepanjang garis rahangnya, menuruni leher, dan menyusuri otot-ototnya yang tegang. Kembali terbayang ke tentang pertarungan sengit yang terjadi di pantai tadi.
Suasana yang awalnya begitu hangat berubah menjadi sangat mencekam saat pasukan William datang menyerang. Namun, satu hal yang merasuki pikiran Giovanni adalah gadis yang tadi menghabiskan waktu sejenak dengannya di mobil. Melihat Zea dalam kondisi baik-baik saja mampu mengirimkan sentakan hangat dalam dirinya.
Lelaki itu khawatir. Namun, perasaan seperti itu tidak sepenuhnya ia perlihatkan.
Setelah selesai membasuh diri, Giovanni melilitkan handuk di pinggangnya membiarkan sisa-sisa air menetes di dadanya yang bidang. Kalau kita harus segera melakukan pemeriksaan pada dokter khusus alteza untuk menangani luka tembak di lengannya lebih lanjut.
Saat lelaki itu mengerjakan kaki dalam kamar, dia melihat Zea telah terbaring kelelahan di sana dengan kedua mata yang terkejam.
Sebuah dorongan seakan membuat Giovanni berjalan mendekati gadis itu. Perlahan dia berjongkok, menyebabkan sehelai rambut yang menutupi wajah Zea.
Berupa cantik dan menenangkan Zea saat tidur membuat perasaan Giovanni menjadi tenang. Lelaki itu perlahan mendekatkan wajahnya lalu mengecup pelan dahi Zea.
Tanpa disadari oleh Giovanni, Zea sebenarnya belum benar-benar tidur. Gadis itu dapat merasakan dengan jelas sensasi bibir Gio yang menempel di keningnya, membuat Zea mati-matian menahan debaran jantungnya agar tidak terdengar oleh Giovanni.