Bayaran Untuk Mafia Kejam

Bayaran Untuk Mafia Kejam

BAB 1 - Hutang

Hujan turun dengan deras malam itu, seakan langit ikut menangisi takdir Zea Callista. Gadis itu berdiri di depan dua makam yang masih basah, tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Orangtuanya telah pergi. Dibunuh dengan kejam di depan matanya.

Dulu, Zea adalah gadis biasa. Ia memiliki keluarga yang hangat, orangtua yang mencintainya, dan hidup yang meskipun sederhana, penuh dengan kebahagiaan. Namun, semua itu berakhir di sebuah malam yang gelap-malam yang akan terus menghantuinya seumur hidup.

Saat itu, ia baru pulang dari sekolah. Dia masih mengenakan Seragam taekwondo, ketika ia memasuki rumah dengan langkah ringan. Tapi kegembiraannya lenyap seketika saat mendengar sebuah suara tembakan di tengah gelapnya rumah kala itu.

Dan di sana dengan kilatan petir yang cahayanya menerangi rumah, terbaring dua tubuh yang begitu dikenalnya.

"Ayah... Ibu..."

Dunia Zea runtuh dalam sekejap. Lututnya melemas, air mata mengaburkan pandangannya. Ia ingin berlari mendekat, ingin mengguncang tubuh kedua orangtuanya agar mereka bangun dan mengatakan bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Namun, sebelum ia sempat bergerak, seseorang menarik lengannya dengan paksa.

"Kita harus pergi!" suara itu tajam dan mendesak.

Seorang pria yang dikenalnya sebagai rekan bisnis ayahnya menyeretnya keluar rumah, memaksanya untuk tidak menoleh ke belakang. Zea berusaha meronta, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.

"Tidak! Lepaskan aku! Aku harus menyelamatkan mereka!" Zea menjerit, air matanya bercampur dengan hujan yang turun deras.

Namun, tidak ada yang bisa diselamatkan. Kedua orangtuanya sudah mati.

Dan malam itu, Zea Callista kehilangan segalanya.

Setelah kematian orangtuanya, Zea dikirim ke rumah satu-satunya keluarga yang tersisa-pamannya, Richard Moreau, dan bibinya, Vivian Moreau.

Namun, harapan Zea untuk mendapatkan perlindungan sirna begitu ia menginjakkan kaki di rumah mereka.

Rumah megah itu terlihat indah dari luar, tetapi bagi Zea, itu adalah penjara tanpa jeruji. Sejak hari pertama, paman dan bibinya memperlakukannya bukan sebagai keponakan, tetapi sebagai beban yang harus mereka tanggung.

"Kau pikir kami akan mengurusmu secara cuma-cuma?" ujar bibinya dengan nada sinis. "Mulai sekarang, kau harus bekerja untuk mendapatkan makananmu."

Sejak saat itu, Zea bukan lagi seorang keponakan-ia hanyalah seorang pembantu.

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia harus bangun untuk membersihkan rumah, memasak sarapan, mencuci pakaian, dan memastikan segalanya berjalan sempurna. Jika ada satu kesalahan kecil, hukuman sudah menunggunya.

Tamparan, makian, atau kelaparan-itu semua sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Namun, bukan hanya paman dan bibinya yang menyiksanya. Celine Adrienne Moreau, putri satu-satunya pasangan itu, menjadi momok lain dalam hidupnya.

"Lihatlah dia," Celine sering tertawa bersama teman-temannya. "Anak yatim piatu yang menyedihkan!"

Bagi Celine, Zea adalah sasaran empuk. Ia sering menjambak rambut Zea, menumpahkan makanan ke lantai agar Zea harus membersihkannya, bahkan terkadang menyiramkan air ke tempat tidur Zea hanya untuk melihat gadis itu kedinginan sepanjang malam.

"Kau tidak akan pernah menjadi seperti aku, Zea," bisik Celine suatu hari, mencengkeram dagu Zea dengan jari-jari yang dipenuhi cincin mahal. "Kau hanyalah sampah yang terdampar di rumah ini."

Dan Zea hanya bisa menggigit bibirnya, menahan air mata dan kebenciannya. Hari demi hari berlalu dalam belenggu penyiksaan, bulan demi bulan hingga tahun berlalu. Saat usia Zea mencapai 20 tahun. Dia mendengar sebuah perdebatan di ruang tamu antara Richard sang paman dan seseorang yang suaranya asing untuk Zea.

Akhirnya Zea memutuskan untuk mengintip dari balik pilar pintu. Dia menyaksikan seorang Pria dengan perut buncit. Usianya sekitar akhir 50-an atau awal 60-an, dengan rambut yang mulai menipis dan beruban, tapi tetap tertata rapi. Wajahnya dihiasi kerutan, terutama di sekitar mata dan dahi.

Pria itu mengenakan setelan mahal yang sedikit ketat di perutnya, Namun, meskipun tubuhnya tampak melebar, auranya tetap menekan-tatapannya tajam, suaranya berat dan serak, menunjukkan dia masih punya kuasa. Jari-jarinya sering kali menggenggam cerutu mahal atau cincin emas besar, simbol kekayaannya.

Zea berdiri gemetar di balik pintu dapur, jari-jarinya mencengkeram kayu tua yang dingin. Jantungnya berdentum kencang, hampir menenggelamkan suara napasnya sendiri. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, matanya menangkap sosok pria itu.

"Lima puluh juta euro, Richard. Kau pikir aku bercanda soal ini?" Suaranya menggelegar, membuat Zea hampir mundur selangkah.

Paman Richard berdiri di hadapannya, tubuhnya menegang. "B-beri aku waktu. Aku pasti bisa melunasi-"

Suara dentuman keras menggema saat pria itu menghantam meja dengan kepalan tangannya bahkan sebelum paman Richard selesai bicara. "Waktu? Aku sudah memberimu lebih dari cukup." Matanya menyipit, penuh ancaman. "Kau pikir bos ku bisa menunggu lebih lama, huh? Atau kau ingin mati dibawah penyiksaannnya?" Mata lelaki itu memelototi Richard yang gemetaran.

Bi Vivian seketika berlari ke ruang tamu dan memeluk suaminya-Richard. "Ampunilah kami, tuan. Jangan bunuh kami. Kami pasti akan membayar hutangnya, beri kami waktu."

"Bos sudah terlalu banyak bersabar menunggu, satu bulan, dua bulan hingga genap 1 tahun dan kalian masih belum membayar juga. Bahkan bunganya sudah dua kali lipat lebih banyak dari hutang kalian. Menjual organ kalian saja sepertinya tidak cukup untuk membayarnya,"tukas tegas dan tajam dari pria itu-namanya Gin.

Membuat Richard dan Vivian seketika gemetaran mendengar ancaman itu. Tangisan Vivian pecah. "Tolong maafkan kami, maafkan kami, Tuan. Tolong beritahukan bos anda jika ... Jika kami akan benar-benar membayarnya jika kalian memberi kami waktu. Sungguh."

Tak lama kemudian, terdengar suara Celine melangkah masuk dengan santai. Wajahnya masih memancarkan senyum tipis setelah menghadiri pesta foya-foya dengan teman-temannya, Celine masih terbawa oleh euphoria itu, seolah tak menyadari betapa tegangnya udara di ruang tamu antara kedua orangtuanya dan Gin-sosok berperut buncit yang ikut menatap tajam ke arah Celine.

"Apa yang kalian ributkan?" katanya dengan nada ceria, sembari berjalan mendekati meja. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap ekspresi Paman Richard yang pucat pasi dan Gin yang menatapnya dengan tajam.

Senyumnya memudar. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba memahami situasi. Napasnya tercekat ketika ia melihat kepalan tangan pria itu masih bertumpu di meja, seperti baru saja menghantam permukaannya dengan kasar.

"Oh..." Celine menelan ludah, perlahan menyadari bahwa dia telah masuk ke dalam sesuatu yang seharusnya tidak dia ganggu. Tatapannya beralih ke Richard yang masih berusaha menjaga ketenangannya, lalu ke pria tua itu yang kini mengamati dirinya dengan mata penuh perhitungan.

Sesaat, suasana berubah sunyi. Bahkan Zea yang mengintip dari balik pintu bisa merasakan ketegangan yang semakin mencekik.

Gin menyandarkan tubuh buncitnya ke kursi, tatapannya berpindah dari Richard ke Celine yang masih berdiri kaku. Bibirnya yang tebal melengkung dalam seringai samar, seolah baru saja menemukan solusi yang menyenangkan.

Dia menepuk-nepuk perutnya perlahan, lalu berkata dengan nada santai tapi mengandung bahaya, "Kau bilang butuh waktu, Richard. Tapi menurutku, ada cara lebih cepat untuk melunasi hutangmu."

Richard menegang. "A-apa maksudmu, Gin?"

Gin mengangkat alis, matanya beralih ke Celine, menatapnya seperti barang yang bisa dinegosiasikan. "Putrimu sudah besar dan cantik. Aku yakin Bos ku akan menyukainya."

Celine tersentak, wajahnya memucat. "Tunggu... apa maksudmu-"

Gin tertawa kecil, tetapi suaranya dingin. "Kau mengerti maksudku, Sayang. Jika Richard dan Vivian tak bisa membayar dengan uang, mereka bisa membayarnya dengan sesuatu yang lebih... berharga."

Gin lalu menambahkan, "Bos ku pasti senang jika aku membawa seorang gadis dari keluarga ini untuknya."

"Tidak, aku tidak mau, aku tidak sudi."

"Bos ku sangat kaya dan bergelimang harta, tidak ada satupun wanita yang menolaknya, harusnya kau merasa terhormat."

"Terhormat?? Huh? Yang benar saja." Celine berkacak pinggang, mengamati rupa Gin yang berbadan besar dan buncit, dalam pikiran Celine pasti bos nya tidak jauh beda dan Celine jijik dengan pria seperti itu. "Tipe ku seperti Giovanni Alteza yang sangat tampan dan seksi! Aku yakin bos mu itu buruk rupa seperti mu, aku tidak Sudi!"

"Beraninya kau menghina bosku seperti itu!"pekik Gin.

Ruangan terasa membeku. Paman Richard membisu, wajahnya kehilangan warna, sementara Celine mundur selangkah, seolah ingin menjauh dari tatapan pria tua itu.

Gin mengangkat alis saat melihat ekspresi Richard dan Vivian yang langsung berubah drastis. Wajah Richard memerah, sementara Vivian mencengkeram tangan suaminya dengan erat, matanya berkilat marah.

"Tidak! Celine bukan untuk dijual!" Richard membentak, suaranya keras dan penuh ketegasan.

Vivian segera mengangguk setuju. "Dia putri kami, Gin! Kami tak akan menyerahkannya begitu saja!"

Gin mendengus, jelas tak terkesan dengan perlawanan itu. Dia menyandarkan tubuh beratnya ke kursi, menatap mereka dengan mata penuh perhitungan. "Kalau begitu, bagaimana kalian akan membayarnya?"

Hening sejenak. Richard dan Vivian saling pandang, napas mereka memburu. Lalu, seolah mendapatkan ide yang bisa menyelamatkan putri kesayangan mereka, Richard tiba-tiba berkata, "Bagaimana kalau Zea?"

Zea yang masih mengintip dari balik pintu sontak membelalak.

Gin mengangkat kepalanya sedikit, tertarik. "Zea?" ulangnya, seolah ingin memastikan dia mendengar dengan benar.

Vivian langsung menyambung, suaranya lebih tenang seolah ini adalah keputusan terbaik. "Ya, dia bukan anak kandung kami, hanya keponakan yang menumpang. Lagipula, dia tidak punya siapa-siapa." Ada seringai licik di bibirnya. "Dan ya, Zea hanyalah beban di rumah ini. Kami membiayainya hidup di sini, jadi sudah sepatutnya dia membayarnya."

Jantung Zea mencelos. Tangannya mencengkeram pintu lebih erat, tubuhnya mulai gemetar.

Gin memperhatikan mereka beberapa detik sebelum akhirnya menyeringai lebar. "Menarik," gumamnya. "Sangat menarik."

Zea ingin berlari. Ingin kabur sejauh mungkin. Tapi kakinya terasa berat, seolah tubuhnya telah dipaku ke lantai. Dia tahu hidupnya tidak pernah mudah, tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa keluarganya sendiri akan menjualnya untuk menyelamatkan anak mereka dan juga hutang-hutang mereka.

"Zea,"panggil Vivian.

Zea merasakan tubuhnya membeku saat mendengar namanya dipanggil. Vivian berdiri dengan anggun di samping Richard, matanya berkilat penuh kelicikan, seolah ini bukanlah pengkhianatan, melainkan keputusan yang sudah seharusnya terjadi.

"Zea, kemarilah," suara Vivian terdengar lembut, namun mengandung paksaan.

Zea tetap diam di balik pintu dapur, hatinya berdebar keras. Napasnya tersengal saat tatapan Gin beralih kepadanya, senyumnya menyeringai penuh kemenangan.

Vivian melipat tangan di dadanya dan mendesah dramatis. "Zea, ini cara terbaik bagimu untuk membalas budi. Kami telah merawatmu selama ini, memberimu tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Sekarang saatnya kau melakukan sesuatu untuk kami."

Darah Zea mendidih. Dia menggertakkan giginya, lalu melangkah maju dengan tatapan penuh perlawanan. "Aku manusia, bukan barang! Kalian tidak bisa menjualku begitu saja!" suaranya gemetar, tapi penuh kemarahan.

Gin tertawa kecil, suara beratnya bergema di ruangan. "Gadis ini punya nyali," katanya dengan nada puas. "Tapi percuma melawan, Sayang. Kesepakatan sudah dibuat."

Zea menggeleng kuat, tubuhnya menegang. "Aku tidak mau!"

Vivian mendesah kesal. "Tidak ada penolakan. Kau seharusnya sadar diri kalau keberadaan mu di sini hanyalah beban keluarga. Keluarga kami jadi banyak hutang karena mengasuhmu. Kau punya kebutuhan yang banyak hingga membuat kami berhutang banyak ke bos mafia."

Zea terkejut dengan penuturan Vivian, selama ini Zea hidup dengan uang peninggalan orangtuanya dan sesekali juga berjualan kecil-kecilan untuk makan. Justru Celine, anak mereka yang sering berpesta fora setiap malam dan pulang saat pagi, hidup Hedon dan tidak menoleh bagaimana ekonomi keluarganya. "Bukan aku yang membuat anda memiliki banyak hutang! Lantas kenapa harus aku yang membayar nya?!"

Celine merengut kesal lalu berjalan mendekati Zea dan menjambak rambut gadis itu. "Oh, kau pikir aku yang harus menjadi jaminan untuk membayar hutang ayah dan ibu? Begitu?"

Zea menggertakkan giginya kesal. Tidak suka dengan cara buruk Celine menindasnya. Selama ini dia hanya diam dan menerimanya. Tapi, sekarang semuanya telah keterlaluan. Zea segera mendorong Celine yang menjambak rambutnya. "Tidak ada yang berhak menjadi jaminan. Aku sudah muak dengan kalian semua."

Celina terbelalak saat Zea mendorong dan membuatnya mundur beberapa langkah. "Berani-beraninya kau mendorong ku seperti itu?!"

"Memang kenapa? Aku berhak melakukannya karena kau telah menjambak rambutku!"pekik Zea dengan keberanian penuh, matanya berkilat penuh kesungguhan. "Kau tidak punya hak memperlakukanku dengan buruk hanya karena aku tinggal di sini."

"Ayah, Ibu, lihat Zea ... dia berani sekali padaku,"rengek Celine yang berjalan dan memeluk lengan Vivian, bersikap seolah korban yang harus dikasihani.

"Dasar anak kurang ajar. Kau seharusnya bersyukur kami bersedia mengasuhmu di sini, dasar anak tidak tau terimakasih,"sinis Vivian memberikan tatapan tidak suka.

"Lagipula untuk apa lagi kau hidup? Kau hanya menyusahkan saja, kau juga tidak memiliki orangtua. Setidaknya jadilah berguna sedikit."

Zea mengepalkan tangannya. Dia ingin membalas sampai tiba-tiba Paman Richard angkat bicara.

"Tidak ada lagi perdebatan. Aku telah menandatangani surat pelunasan hutang dengan Zea sebagai bayarannya,"ucap Richard dengan nada santai dan dingin, seolah benar-benar tidak peduli lagi dengan Zea.

"Paman ... kenapa kau tega melakukan ini padaku?" Amarah berkobar dalam diri Zea tiba-tiba runtuh, berubah menjadi kekecewaan yang dalam.

Zea pikir Pamannya Richard masihlah menyayanginya karena Richard tidak pernah menyiksanya secara fisik. Walaupun tidak juga mengentikan perilaku Vivian dan Celine. Tapi, Zea tetaplah menaruh harapan besar pada Paman Richard yang dia pikir dapat membelanya. Zea menghampiri paman Richard dan menyentuh bahu Richard dengan gemetar. "Kenapa Paman?"

"Tidak ada pilihan lain, Zea. Kami benar-benar sedang terlilit hutang yang kami bahkan merasa tidak akan bisa membayarnya. Dan aku juga tidak mungkin mengorbankan anakku sendiri."

"Lalu kau mengorbankan ku?"

"Tentu saja."

"Kenapa?"

"Sudah jelas kan? Kau bukan siapa-siapa di sini, kau tak lebih hanya hama yang akan menyusahkan." Richard berkata dengan wajah datar dan suara dingin yang sadis. "Terimalah fakta itu, dan anggaplah ini sebagai caramu membalas budi pada kami."

Gin mendesah seolah bosan, lalu bersandar di kursinya. "Dengar, bocah. Ini bukan soal mau atau tidak mau. Hutang harus dibayar. Dan kau-kau adalah pembayaran itu."

Zea menelan ludah, kakinya terasa lemas.

"Jadi, aku akan menyerahkanmu pada bosku," lanjut Gin dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti ancaman. "Dan percayalah, dia tidak suka jika sesuatu yang sudah menjadi miliknya mencoba melawan."

Zea merasa udara di ruangan itu semakin menipis. Tubuhnya mulai gemetar, bukan hanya karena marah, tapi juga karena ketakutan yang mulai merayap di dadanya.

Bosnya?

Jika Gin saja sudah sekejam ini, seperti apa orang yang menjadi atasannya?

Terpopuler

Comments

LiliNini

LiliNini

gue rela ngedownload apk ini demi cerita yg seru 😭😭😭

2025-03-04

3

Ardelichaaaa

Ardelichaaaa

demi Jensellekuu aku punya nih aplikasii... rajin² update yaaa sayyy😘😘😘

2025-03-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!