Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. PERNIKAHAN TANPA CINTA
17 Tahun Kemudian
Hari ini, Rei Alexander berdiri di altar.
Bukan untuk menerima penghargaan akademik yang sering ia dapatkan sejak kecil, bukan pula untuk memimpin rapat OSIS seperti yang dulu selalu ia lakukan dengan percaya diri. Kali ini, ia berdiri di sana untuk satu hal yang tak pernah benar-benar ia inginkan—untuk menikah.
Jas hitam elegan yang membalut tubuhnya terasa begitu berat. Bukan karena bahannya yang mewah, tetapi karena beban yang ia pikul sejak hari ia menyetujui perjodohan ini bertahun-tahun lalu. Bola mata birunya yang tajam menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya kosong. Semua suara di sekitarnya terdengar seperti gema yang jauh, seolah ia tidak benar-benar berada di sana.
Di dalam gereja megah dengan lampu kristal bergemerlap, para tamu undangan pilihan alias hanya tamu yang dipilih duduk dalam barisan yang rapi. Beberapa wajah yang ia kenal tampak di sana, tetapi hanya sedikit yang benar-benar menarik perhatiannya. Di antara para undangan, duduklah Zayn dan Adara, orang tua angkat yang telah merawatnya dengan penuh kasih selama ini. Mereka tidak tersenyum. Wajah mereka serius, tetapi bukan karena tidak bahagia. Rei tahu, mereka mengerti betul bagaimana perasaannya saat ini.
Di sisi lain, Duke dan Duchess Evangeline duduk dengan anggun, ekspresi mereka terlihat puas. Cucu mereka akhirnya menikah sesuai dengan perjanjian keluarga. Mata mereka berbinar penuh kebanggaan, seolah pernikahan ini adalah pencapaian besar yang telah lama mereka nantikan.
Rei menarik napas dalam-dalam. Semua ini terasa begitu absurd. Selama bertahun-tahun, ia menjalani hidupnya dengan penuh ambisi—menjadi siswa terbaik, atlet andal, dan pewaris yang patut dibanggakan. Namun, saat ini, tidak ada pencapaian yang bisa menyelamatkannya dari kenyataan bahwa pernikahan ini bukan pilihannya.
Ia tidak pernah benar-benar mengenal Hana Evangeline, wanita yang akan segera menjadi istrinya. Mereka pernah bertemu beberapa kali dalam acara kerajaan, berbicara secukupnya, tetapi tidak lebih dari itu. Ia bahkan tidak yakin apakah mereka bisa disebut sebagai teman.
Namun, di sinilah ia sekarang, berdiri di altar dengan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, menunggu pengantin wanitanya berjalan mendekat. Entah apa yang menunggunya setelah ini. Yang pasti, tidak ada jalan untuk kembali.
Dan takdir yang telah ditetapkan sejak 17 tahun lalu akhirnya akan terwujud hari ini.
Namun, di tengah kemewahan ini, hanya sahabat-sahabat Rei yang terlihat santai, seolah-olah pernikahan sahabat mereka bukanlah sesuatu yang begitu serius.
Nathan, yang sejak dulu selalu pendiam dan sulit ditebak, hanya memperhatikan tanpa ekspresi. Mata hitamnya menelusuri setiap sudut ruangan, seolah mengamati sesuatu yang orang lain lewatkan.
Di sebelahnya, Elio, si playboy kecil yang selalu punya komentar untuk segala hal, menyengir sambil berbisik, "Gila, Rei beneran nikah? Gue kira dia bakal kabur sebelum ini terjadi." Nada suaranya terdengar seperti bercanda, tapi ada nada tak percaya di dalamnya.
Aurora, gadis dengan aura tenang dan misterius, hanya tersenyum tipis. "Sepertinya ini bukan keinginannya." Matanya yang tajam sekilas melirik Rei, seolah bisa membaca isi pikirannya hanya dengan sekali tatap.
Selene, si atletis yang terkenal galak, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku penasaran, istrinya secantik apa?" Ada ketertarikan dalam suaranya, tapi juga nada skeptis.
Obrolan mereka terdengar ringan, tetapi masing-masing dari mereka tahu bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Rei tidak pernah berbicara tentang perasaannya terhadap Hana, bahkan saat hari besar ini semakin dekat.
Dan tepat saat itu, pintu gereja yang tinggi dan megah terbuka perlahan. Cahaya matahari yang masuk dari luar menciptakan siluet seorang wanita dengan gaun putih panjang yang berkilauan.
Hana Evangeline melangkah masuk.
Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju padanya. Dan untuk pertama kalinya hari itu, Rei akhirnya mengangkat wajahnya dan benar-benar memperhatikannya.
Dengan mata cokelat keemasan yang bersinar seperti bias matahari senja, gaun putih panjang yang elegan dengan sulaman emas di ujungnya, serta rambut panjang bergelombang yang tergerai sempurna, Hana Evangeline melangkah dengan anggun. Setiap gerakannya dipenuhi kepercayaan diri, seolah ia benar-benar seorang putri dalam dongeng.
Namun bagi Rei, ini bukanlah kisah dongeng.
Ini adalah mimpi buruk yang perlahan menjadi kenyataan.
Langkah-langkah Hana terdengar jelas di antara keheningan ruangan, menghampiri pria yang kini sah menjadi suaminya. Senyumnya tipis, hampir seperti ejekan. Saat jarak mereka hanya sejengkal, ia berbisik, “Aku tahu kau gak suka ini.”
Rei menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. “Bagus kalau kau sadar.”
Alih-alih tersinggung, Hana justru tertawa kecil. “Tapi tenang, aku juga gak suka.”
Pendeta di hadapan mereka mulai membacakan janji pernikahan dengan suara khidmat. Kata-kata itu bergema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer sakral yang seharusnya penuh makna. Tapi bagi Rei, itu hanya suara kosong tanpa arti.
Saat tiba gilirannya untuk mengucapkan janji, sejenak ia ingin menolak. Keinginannya untuk membangkang berkobar di dalam dada.
Namun, tatapan tajam Duke Alastair dari barisan keluarga bangsawan membuatnya sadar—ia tidak punya pilihan.
Hening beberapa detik, sebelum akhirnya bibirnya bergerak, mengucapkan dua kata yang mengikat masa depannya selamanya.
“Aku bersedia.”
Beberapa tamu tersenyum puas. Keluarga Evangeline terlihat lega, seolah pernikahan ini adalah kemenangan besar bagi mereka.
Namun, bukannya gugup atau pasrah, Hana justru tersenyum lebih lebar, seolah ia menikmati situasi ini.
Saat gilirannya, tanpa ragu sedikit pun, ia menjawab dengan nada yang terdengar terlalu percaya diri.
“Aku bersedia.”
Dan kemudian, saat yang paling dinantikan oleh semua tamu tiba.
"Pengantin pria boleh mencium pengantin wanita."
Rei langsung tegang.
Ia tidak ingin melakukannya. Tidak di depan semua orang. Tidak dengan perasaan yang sama sekali tidak ada.
Namun sebelum ia bisa bereaksi, Hana justru menarik dasinya, menarik wajahnya lebih dekat, lalu mengecup pipinya dengan cepat dan penuh percaya diri.
Seisi ruangan terkejut.
Selene bersiul, menyilangkan tangan dengan ekspresi terhibur. “Wah, dia agresif juga.”
Elio tertawa kecil, menggeleng pelan. “Rei kalah telak.”
Aurora yang biasanya sulit dibaca, tersenyum tipis dan mengangguk puas. “Sepertinya Hana akan jadi lawan yang seimbang untuknya.”
Nathan tetap diam, tapi jika diperhatikan lebih teliti, ada sedikit senyum samar di sudut bibirnya.
Sementara itu, Rei hanya bisa menghela napas panjang.
Pernikahan ini sudah terjadi.
Dan mulai sekarang, mereka akan tinggal bersama.
Bagi Rei, ini adalah awal dari mimpi buruk yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.