Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pemeriksaan
Dunia Bayu seakan berhenti berputar.
Detik itu juga, suara bising jalanan mendadak menghilang, seolah hanya ada kesunyian yang menyelimuti dirinya. Ia menatap Desi tanpa berkedip, otaknya berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.
Besok.
Laras.
Menikah.
Tidak. Itu tidak mungkin. Laras mencintainya. Laras bahkan berniat mencari dirinya ke luar negeri. Laras tidak mungkin… menikah.
Tapi ekspresi Desi mengatakan sebaliknya.
Bayu menggelengkan kepala, menolak percaya. “Nggak mungkin.” Suaranya serak.
Desi menatapnya dengan iba. “Aku juga kaget, Bay. Tapi ini benar. Laras… dia akan menikah besok malam.”
Bayu merasakan dadanya berdenyut sakit. Ia bahkan tidak menyadari jemarinya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Laras… benar-benar menikah?
Tanpa dirinya?
Tanpa perasaan yang tersisa untuknya?
Atau… ada sesuatu yang terjadi tanpa ia ketahui?
Bayu menatap Desi, rahangnya mengeras. “Di mana Laras sekarang?” tanyanya, suaranya dingin, penuh tekad.
Desi terlihat ragu, tapi Bayu tidak peduli. Ia akan menemui Laras. Ia akan mencari tahu kebenarannya.
Karena ini belum berakhir.
Belum.
***
Laras duduk di ranjang pasien dengan wajah pucat. Tangannya refleks memegangi perutnya yang masih terasa nyeri, meskipun tidak sekuat beberapa menit lalu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya masih tersengal. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya terus berdetak kencang.
Apa yang baru saja terjadi?
Rasa sakit itu datang begitu tiba-tiba—tepat setelah ia meneguk jus yang dibuatnya sendiri di dapur. Jus yang sempat didekati Sherin. Laras mengernyit, mencoba mengingat kembali. Ia memang sempat melihat adiknya berdiri di dekat gelas jusnya sebelum pergi dengan alasan mencari kuota geseknya yang tertinggal. Tapi… benarkah hanya itu?
Ada sesuatu yang terasa janggal. Sherin belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa Laras akan menikah dengan Edward. Tapi… apakah mungkin Sherin benar-benar tega melakukan sesuatu padanya?
Jantung Laras mencelos.
“Tidak mungkin…” gumamnya pelan, meskipun ada ketakutan yang tak bisa ia abaikan.
Pikirannya berusaha mencari penjelasan lain. Mungkinkah ini hanya kebetulan? Tapi jika bukan, jika memang ada sesuatu dalam jus itu… Laras meremas selimut di pangkuannya dengan gelisah. Jika Sherin memang sengaja melakukan sesuatu, apa yang sebenarnya ia inginkan?
Laras masih larut dalam pikirannya saat seorang dokter masuk ke ruangan, membawa hasil pemeriksaan. Dengan gerakan terlatih, ia mendekat dan mulai membaca lembar laporan di tangannya.
Edward berdiri di samping ranjang, tangan terselip di saku celana, ekspresinya nyaris tak terbaca. Tapi tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan.
Dokter menghela napas ringan sebelum menatap Laras. “Dari hasil pemeriksaan awal, ini adalah dismenore akut—nyeri haid yang datang tiba-tiba dan lebih intens dari biasanya,” jelasnya dengan nada profesional.
Laras terpaku. Seketika, ingatannya berputar kembali ke siklusnya. Datangnya terlalu cepat.
Sherin…
Laras mengerutkan kening, jemarinya mencengkeram erat selimut. "Tapi… saya biasanya memang kram saat datang bulan, Dok. Hanya saja, tidak pernah separah ini dan tidak mendadak seperti tadi."
Dokter mengangguk, memahami kebingungannya. "Beberapa faktor bisa menjadi pemicu, seperti stres, perubahan pola makan, atau aktivitas tertentu. Siklus haid Anda mungkin sedikit bergeser karena faktor-faktor itu, sehingga rasa sakitnya datang lebih cepat dan lebih kuat dari biasanya."
Laras menunduk, merenungkan kata-kata itu. Stres? Ia memang tertekan akhir-akhir ini. Pernikahan dengan Edward bukanlah sesuatu yang ia inginkan, dan segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.
Edward yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Jadi, ini bukan sesuatu yang serius?"
Dokter menggeleng. "Bukan. Ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, meski tetap harus diatasi. Saya akan memberikan obat pereda nyeri dan menyarankan Laras untuk mengelola stres dengan lebih baik. Kurangi makanan yang bisa memicu peradangan, seperti makanan tinggi gula atau kafein, dan perbanyak istirahat."
Laras mengangguk pelan. Ia merasa sedikit lega, meskipun masih ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Namun, ia tidak ingin memikirkannya terlalu dalam.
Di sisi lain, Sherin, yang diam-diam mengamati dari luar ruangan, menarik napas lega. Rencananya berhasil. Laras tidak curiga sedikit pun.
Edward berdiri di sisi ranjang, tangan terselip di saku celananya, tatapannya dingin dan tajam, tak lepas dari Laras.
"Aku ingin kau menjalani pemeriksaan menyeluruh," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Bukan hanya untuk kondisi fisikmu saat ini, tapi juga… kesuburanmu."
Jantung Laras berdebar kencang. Kata "kesuburan" menusuk hatinya dengan tajam.
Ia menunduk, jari-jarinya meremas selimut yang menutupi kakinya. Sebagian dari dirinya ingin menolak, tidak ingin tahu jawabannya, tapi di sisi lain, ia sadar bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapinya. Maka ia hanya bisa mengangguk pelan.
Laras duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan ekspresi cemas. Matanya menatap lantai, sementara jemarinya saling menggenggam erat. Edward, yang duduk di sebelahnya, tampak lebih tenang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi sorot matanya penuh perhitungan.
“Kau tahu ini hanya formalitas, 'kan?” ucap Edward dengan nada santai. “Aku hanya ingin memastikan calon istriku dalam kondisi prima.”
Laras mengangguk pelan. Dia memang tidak punya pilihan. Edward selalu punya cara untuk memaksanya mengikuti apa pun yang ia inginkan. Laras menarik napas panjang saat seorang perawat memanggil namanya, mengisyaratkan agar ia masuk ke ruang pemeriksaan.
***
Sherin berdiri di luar ruang administrasi rumah sakit. Ia berlagak tenang saat menyelinap ke dalam dan menyodorkan sebuah amplop kepada seorang pria berbaju dokter yang telah disuapnya.
“Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya dokter itu dengan suara rendah.
Sherin menyunggingkan senyum tipis. "Tentu saja. Pastikan Edward yang pertama kali melihat laporan ini." Ia berhenti sejenak, menatap tajam pria di depannya sebelum melanjutkan dengan suara rendah namun sarat ancaman. "Kau tidak lupa, 'kan, dengan foto-fotomu bersama mantan pacarmu? Aku yakin kau tak ingin ada seseorang yang tak seharusnya melihatnya."
Dokter itu menelan ludah, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Sekilas, matanya melirik amplop berisi laporan medis asli Laras yang kini harus ia ganti dengan laporan palsu yang telah disiapkan Sherin.
"Waktu kita tidak banyak, Dokter," Sherin berbisik, suaranya terdengar lembut, tetapi tajam menusuk. "Aku yakin kau cukup pintar untuk tidak membuat kesalahan."
Pria itu menarik napas panjang, wajahnya menegang. Ia tahu betul bahwa Sherin bukan sekadar mengancam. Jika foto-foto itu sampai tersebar, bukan hanya reputasi dan kariernya yang hancur—hidupnya pun bisa berantakan.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil laporan yang diberikan Sherin dan menukarnya dengan yang asli.
"Semuanya sudah sesuai dengan permintaanmu," gumamnya nyaris tak terdengar.
Sherin tersenyum puas. "Bagus. Pastikan Edward yang pertama kali melihatnya."
Dokter itu hanya mengangguk tanpa berani menatap mata Sherin. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia benci dirinya sendiri karena melakukan ini—tetapi ia lebih takut pada konsekuensi jika menolak.
Beberapa jam kemudian, dokter kembali dengan hasil pemeriksaan. Wajah pria itu datar, namun ada sedikit perubahan di ekspresinya sebelum ia mulai berbicara.
Ruangan dokter itu terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Laras duduk di atas kursi pasien, jari-jarinya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Tatapan matanya terpaku pada dokumen medis di tangan dokter, sementara Edward berdiri di sisinya dengan ekspresi dingin dan penuh selidik.
Dokter di hadapan mereka meletakkan selembar hasil pemeriksaan di atas meja. Ia menghela napas, seakan mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita yang akan mengguncang ruangan itu.
Dokter itu menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, kami menemukan beberapa hal yang perlu diketahui.”
Laras menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat, sementara Edward tetap diam, menunggu dengan sabar.
“Pertama, berdasarkan hasil tes dan pemeriksaan fisik, Anda mengidap vaginismus parah,” lanjut dokter.
Laras mengernyit. “Vaginismus?”
🍁💦🍁
.
To be continued