Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Bersama Kakek dan Nenek
Setelah puas menyantap margherita pizza, Kin dan Liliane pulang diantar oleh Ryuu. Kin yang kekenyangan pun mengantuk, anak itu tertidur dalam perjalanan pulang.
"Biar aku yang membawanya, Yuri," ucap Ryuu, kemudian mengambil alih tubuh Kin yang berbaring di kursi belakang.
Selagi Ryuu pergi membawa Kin ke kamarnya, Liliane pergi ke dapur untuk membuat teh chamomile. Banyak hal yang terjadi secara tiba-tiba hari ini. Pagi tadi ia harus menemui klien VIP yang berencana akan menyewa jasa restoran untuk konsumsi dalam acara perayaan ulang tahun pernikahan mereka. Diskusi di antara mereka cukup kolot, karena banyak sekali pendapat yang bertolak belakang.
Malamnya dia masih harus menemui Kian yang datang secara tiba-tiba. Hatinya tak menentu. Seolah semua tembok yang sudah dia bangun mati-matian sebelumnya, runtuh begitu saja saat melihat Kian yang berdiri di hadapannya. Laki-laki itu ... mungkinkah masih sosok yang sama seperti tujuh tahun yang lalu? Saat dirinya baru pertama kali mengenal Kian Emilio Marchetti.
"Yuri ..."
Tak ada sahutan dari Liliane. Ia tenggelam dalam lamunannya, sementara tangannya sibuk mengaduk teh chamomile pada cangkirnya.
"Yuri ..."
"Kaneshiro Yuri ..." akhirnya Ryuu memberanikan diri untuk memegang pundak Liliane hingga membuat si empunya terkejut.
Liliane menoleh dan mendapati Ryuu yang tersenyum kepadanya. "Astaga Ryuu, kau mengagetkanku," ucapnya sembari memegangi dadanya yang berdegup kencang.
Ryuu terkekeh kecil. "Maafkan aku, aku sudah memanggilmu beberapa kali, tapi kau sibuk melamun."
Helaan napas Liliane terdengar. Ia meletakkan sendoknya di kitchen island dan meniup pelan cangkir tehnya sebelum mulai meneguknya perlahan.
"Kau akan pulang?" tanya Liliane yang melihat Ryuu masih berdiri di sana.
Pria yang berprofesi sebagai chef itu mengangguk. "Aku akan kembali ke restoran, malam minggu pasti banyak pelanggan yang datang. Kin sudah tertidur di kamarnya. Kau harus lekas ke sana, sebelum Kin menyadari tak ada dirimu di sampingnya." Ucap Ryuu dan diangguki oleh Liliane.
Kin—anaknya itu tidak bisa tidur apabila tidak memegang tangan ibunya. Saat dirinya tersadar, ia akan terbangun dan menangis. Selayaknya anak kecil pada umumnya, Kin sebenarnya adalah anak yang cukup manja, karena Liliane amat perhatian padanya.
"Baiklah. Terimakasih, Ryuu. Kau boleh pulang. Hati-hati di jalan. Beri kabar padaku jika kau sudah sampai." Ucap Liliane, kemudian dia pamit lebih dulu pergi ke kamarnya untuk menemui sang anak.
Dilihatnya Kin yang tertidur dengan gelisah. Beberapa kali anak itu mengubah posisi tidurnya. Liliane segera meletakkan cangkir tehnya di atas nakas dan ikut berbaring bersama Kin di ranjang.
"Shh ... tidak apa-apa, sayang. Mommy ada di sini," ucap Liliane seraya menggenggam tangan Kin, mengelus rambutnya dan mengecup puncak kepalanya.
Perlahan Kin mulai tenang dalam tidurnya. Sedangkan Liliane tidak bisa tidur. Wanita muda itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Ditemani lampu kamar yang remang-remang, Liliane mulai memikirkan segalanya. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Bagaimana caranya agar dia bisa melalui itu semua?
Karena tak mendapat jawaban dari apa yang dicari olehnya. Liliane bangkit dari kasur setelah memastikan Kin tidur nyenyak. Ia akan pergi menemui Takeshi dan Hana untuk membicarakan ini, ia yakin kakek dan neneknya itu juga belum tidur.
Tebakan Liliane benar. Takeshi dan Hana masih bersantai di ruang tengah. Mereka duduk bersama di atas sofa sembari berpelukan, sungguh romantis.
"Jiisan ... Obaasan ..." panggil Liliane yang membuat pasutri tua itu menoleh serempak.
"Yuri ..."
"Liliane ... kenapa belum tidur? Kemarilah ..."
Kemudian Liliane menghampiri nenek dan kakeknya, dia duduk di sofa single yang ada di sana.
Liliane duduk di hadapan Takeshi dan Hana dengan tatapan penuh kebingungan. Pikirannya masih kacau sejak pertemuannya dengan Kian tadi. Tangannya saling menggenggam di atas pangkuan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar.
Takeshi menuangkan teh ke dalam cangkirnya, lalu berbicara dengan nada tenang. “Ada apa, Yuri?"
"Kian ..." suara Liliane terdengar ragu.
"Kian mencarimu." Tebak Takeshi yang tepat sasaran.
Liliane mengangguk, jemarinya saling memilin. Ia tidak tahu harus berbicara apa.
"Apakah dia mengenalimu?" tanya Hana dengan lembut.
Liliane mengangkat wajahnya, mata hazel-nya berkilat dengan emosi yang sulit ditebak. “Dia tidak mengenaliku.”
Takeshi menyesap tehnya perlahan. “Tapi dia mencurigai sesuatu?”
Liliane pun mengangguk pelan. “Aku tidak tahu. Tapi… caranya melihatku, seperti ada sesuatu yang dia coba ingat.”
Hana menatap Liliane dengan lembut. “Apa yang ingin kau lakukan, Liliane?”
Liliane menghela napas panjang. “Aku tidak ingin dia tahu tentang Kin. Aku… aku tidak siap. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.”
Takeshi meletakkan cangkirnya dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Jika itu yang kau inginkan, maka kita akan memastikan Kin tetap aman.”
Liliane mengerutkan kening. “Maksud Jiisan?”
“Aku akan memperketat penjagaan untuknya. Jika Kian mulai menggali lebih dalam, kita harus bersiap.” Kemudian Takeshi menatap Liliane dalam. “Kau yakin ini yang terbaik?”
Liliane menggigit bibir bawahnya. “Aku tidak tahu… Aku hanya takut. Jika dia tahu tentang Kin, segalanya bisa berubah.”
Hana mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Liliane dengan lembut. “Kami hanya ingin kau merasa aman, Liliane. Jika Kian mulai mendekati Kin, kau harus membuat keputusan.”
Liliane menatap Hana dengan ekspresi lelah. “Aku tahu… Aku hanya butuh waktu.”
Takeshi mengangguk. “Kami akan mendukung keputusanmu.”
Liliane masih duduk dengan wajah gelisah. Percakapan tentang Kian membuat pikirannya semakin kusut. Ia tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap, tetapi ia belum siap.
Hana, yang sejak tadi memperhatikan ekspresi Liliane, akhirnya berbicara dengan nada hati-hati. "Liliane, Obaasan rasa kau harus memikirkan perlindungan untuk dirimu dan Kin. Kau tahu situasi seperti ini bisa menjadi berbahaya."
Liliane mengerutkan kening. "Apa maksud Obaasan?"
Hana melirik Takeshi sejenak sebelum kembali menatap Liliane. "Menikahlah dengan Ryuu."
Liliane terbelalak. "Apa?"
"Bukan maksudku untuk memaksamu," lanjut Hana dengan tenang.
"Tapi menikah dengan Ryuu bisa memberikan keamanan bagi kalian. Setidaknya, jika Kian mengetahui tentang Kin, kau memiliki perlindungan yang kuat."
Liliane menggeleng cepat. "Tidak, Obaasan. Aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak mencintainya. Dan menikah hanya untuk perlindungan? Itu bukan solusi."
Takeshi yang sedari tadi diam, akhirnya berdehem pelan. "Obaasan hanya khawatir. Jika Kian tahu tentang Kin, kita tidak bisa memastikan reaksinya. Dan kita juga tidak tahu bagaimana pihak lain akan bergerak."
Liliane mengepalkan tangannya. "Aku paham. Tapi bukan berarti aku harus menikah dengan Ryuu. Aku... aku belum bisa mengambil keputusan sebesar itu."
Hana menatapnya dengan penuh pengertian. "Obaasan hanya ingin kau memikirkannya. Ryuu adalah orang yang bisa dipercaya, dan dia sangat peduli pada kalian."
Liliane mengalihkan pandangannya. Ia tahu Ryuu selalu ada untuknya dan Kin, tetapi menikah? Itu terlalu jauh dari yang ia bayangkan.
Di balik pintu, Kin berdiri diam, tubuh kecilnya gemetar. Awalnya, dia hanya ingin mencari ibunya karena tidak menemukannya di kamar, tetapi kini dia mendengar sesuatu yang tidak seharusnya dia dengar.
Paman Kian datang mencariku?
Mereka tidak ingin aku bertemu dengannya?
Mommy harus menikah dengan Ayah Ryuu?
Matanya yang hazel mulai berkaca-kaca, bibir mungilnya bergetar. Dia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi satu hal yang dia tahu—ada sesuatu yang mereka sembunyikan darinya.
Dan itu tentang dirinya sendiri.[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini