Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (4)
Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, masih menatap Leonard dengan curiga. "Lo siapa, sih? Kenapa tiba-tiba ngajak gue ngobrol soal Robert?"
Leonard tersenyum kecil, seolah sudah menduga pertanyaan itu. "Gue cuma seseorang yang punya urusan pribadi sama dia. Sama kayak lo."
Revan menyipitkan mata. "Dan lo mau gue percaya gitu aja?"
Leonard mengangkat bahu. "Nggak juga. Tapi gue yakin lo cukup pintar buat dengerin dulu sebelum nolak."
Revan diam. Ia benci mengakuinya, tapi orang ini punya poin.
Leonard mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya sedikit lebih pelan. "Gue tahu Robert masih ngawasin lo. Gue tahu dia nggak bakal berhenti sampai dia dapetin apa yang dia mau."
Revan mengepalkan tangannya. "Apa yang dia mau?"
Leonard menghela napas. "Itu yang masih gue cari tahu. Tapi yang jelas, dia nggak bakal nyentuh lo kalau lo nggak punya sesuatu yang berharga buat dia."
Revan menatapnya tajam. "Jadi, lo mau apa dari gue?"
Leonard tersenyum tipis. "Gue mau kita kerja sama. Lo butuh perlindungan, gue butuh seseorang yang bisa kasih gue celah buat ngejatuhin Robert."
Revan mendengus. "Jadi lo pikir gue ini pion yang bisa lo pakai?"
Leonard menggeleng. "Nggak. Justru gue butuh lo buat jadi lebih dari itu."
Revan terdiam. Semua ini terlalu mendadak. Terlalu berisiko.
Tapi di sisi lain, ini juga bisa jadi satu-satunya kesempatan buat melawan Robert.
Leonard bersandar ke kursinya lagi. "Ambil waktu lo buat mikir. Tapi jangan lama-lama. Lo tahu sendiri, Robert nggak bakal nunggu."
Revan mengepalkan tangannya, lalu berdiri. "Gue bakal pikirin."
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan keluar dari ruangan, pikirannya dipenuhi oleh satu hal.
Apa pun yang terjadi, ini belum selesai.
Revan berjalan keluar ruang BK dengan langkah cepat. Udara di koridor terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Pikirannya masih berputar soal Leonard dan tawarannya.
Siapa sebenarnya pria itu? Apa benar dia bisa dipercaya? Atau ini cuma jebakan lain dari Robert?
Saat ia kembali ke kelas, Farel langsung meliriknya dengan curiga. "Lama banget. Lo diapain di sana?"
Revan menghela napas dan duduk di bangkunya. "Cuma ngobrol."
Farel menyipitkan mata. "Ngobrol apaan? Lo nggak ada masalah, kan?"
"Enggak." Revan berusaha memasang wajah santai. "Cuma formalitas biasa."
Farel masih menatapnya, tapi akhirnya menghela napas dan membiarkannya. "Ya udah. Tapi kalo ada apa-apa, ngomong."
Revan hanya mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu… ini bukan sesuatu yang bisa ia ceritakan begitu saja.
Bel istirahat berbunyi, dan kelas mulai riuh dengan suara murid-murid yang bersiap keluar. Farel berdiri, menatap Revan. "Makan nggak?"
Revan menggeleng. "Lo duluan aja. Gue masih mau di sini bentar."
Farel mengangkat bahu. "Oke. Jangan kelamaan."
Begitu Farel pergi, Revan bersandar di kursinya, menatap kosong ke papan tulis.
Dia butuh jawaban. Dan kalau Leonard benar-benar serius soal menjatuhkan Robert… mungkin ini saatnya dia mengambil langkah lebih jauh.
Tapi pertanyaannya, seberapa jauh dia siap melangkah?
Revan menghela napas panjang. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan yang belum punya jawaban. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh—satu langkah salah, dan semuanya bisa runtuh.
Ponselnya bergetar di saku. Ia mengeluarkannya dan melihat sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.
"Jangan terlalu lama berpikir, Revan. Waktu terus berjalan."
Revan langsung tahu siapa pengirimnya. Leonard.
Ia mengepalkan tangan. Pria itu benar-benar tidak main-main.
Sial.
Setelah istirahat berakhir, Revan berusaha menjalani sisa pelajaran seperti biasa. Tapi sulit untuk fokus ketika tahu ada seseorang yang mengawasi pergerakannya. Leonard mungkin punya niat baik—atau setidaknya, itulah yang ia ingin Revan pikirkan.
Begitu bel pulang berbunyi, Farel menepuk pundaknya. "Lo serius nggak mau cerita?"
Revan menoleh. "Cerita soal apa?"
Farel melipat tangan di dadanya. "Lo pikir gue nggak liat cara lo diem dari tadi? Lo jelas lagi kepikiran sesuatu."
Revan mencoba tersenyum. "Cuma capek, bro. Banyak tugas."
Farel menatapnya lama, lalu menghela napas. "Oke. Tapi kalau lo butuh sesuatu, lo tau gue ada, kan?"
Revan mengangguk. "Iya. Makasih."
Mereka berjalan keluar kelas bersama, tapi begitu sampai di gerbang sekolah, Revan berhenti.
"Lo duluan aja, Rel. Gue masih ada urusan."
Farel mengerutkan kening. "Urusan apa?"
"Sebentar aja."
Farel menatapnya curiga, tapi akhirnya mengangkat tangan menyerah. "Ya udah. Jangan macem-macem."
Begitu Farel pergi, Revan mengeluarkan ponselnya dan mengetik balasan untuk Leonard.
Tak butuh waktu lama sebelum balasan masuk.
Revan menatap layar ponselnya, lalu memasukkannya kembali ke saku.
Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus berdiam diri.
Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berjalan menuju tempat pertemuan.
...***...
Kafe di dekat taman kota bukan tempat yang ramai, tapi juga bukan tempat yang terlalu sepi. Cukup aman untuk pertemuan yang tidak ingin terlalu mencolok.
Revan melangkah masuk, matanya langsung menyapu ruangan. Butuh beberapa detik sebelum ia menemukan Leonard, duduk di pojok dengan secangkir kopi di depannya.
Leonard menatapnya dengan senyum kecil. "Gue kira lo bakal butuh lebih banyak waktu buat mutusin."
Revan duduk di kursi seberangnya, menyilangkan tangan. "Gue cuma nggak mau buang-buang waktu. Jadi, langsung aja. Lo mau apa dari gue?"
Leonard mengangkat alis, tampak senang dengan ketegasan Revan. "Gue mau kerja sama. Kita punya musuh yang sama, dan lo bisa bantu gue buat ngejatuhin dia."
Revan menyipitkan mata. "Kenapa gue? Lo pasti punya orang lain yang lebih berpengalaman buat urusan kayak gini."
Leonard menyesap kopinya sebelum menjawab. "Karena lo udah ada di dalam permainan ini, suka atau nggak. Robert nggak bakal ninggalin lo. Cepat atau lambat, dia bakal gerak lagi."
Revan mengepalkan tangannya di atas meja. Itu benar, dan itulah yang paling ia khawatirkan.
Leonard melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Gue butuh seseorang di dekatnya. Seseorang yang bisa kasih gue informasi tentang pergerakannya."
Revan tertawa kecil, tapi tanpa humor. "Lo mau gue jadi mata-mata?"
Leonard tersenyum tipis. "Gue lebih suka nyebutnya 'Ordal'."
Revan menggeleng pelan, mencoba berpikir. Ini bukan keputusan yang bisa diambil sembarangan. Tapi di sisi lain, kalau dia tetap diam, Robert akan terus memburunya tanpa perlawanan.
"Lo bisa jamin gue nggak bakal mati konyol gara-gara ini?" tanya Revan akhirnya.
Leonard menatapnya serius. "Selama lo main dengan cerdas, gue bakal pastiin lo tetap hidup."
Revan terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. "Oke. Gue ikut."
Leonard tersenyum puas. "Bagus."
Mereka baru saja mengikat kesepakatan yang bisa mengubah segalanya.
Revan masih belum yakin dengan keputusannya, tapi untuk saat ini, ia sudah mengambil langkah pertama. Tidak ada jalan mundur.
Leonard meletakkan cangkir kopinya dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Oke, kalau lo udah setuju, kita harus mulai dari langkah kecil."
Revan menyilangkan tangan. "Kayak apa?"
Leonard tersenyum tipis. "Lo tetap jalani hidup lo seperti biasa. Jangan kasih tanda-tanda kalau ada sesuatu yang berubah. Kalau Robert atau anak buahnya mulai gerak, lo kasih tahu gue."
Revan mengerutkan kening. "Cuma itu?"
Leonard mengangguk. "Untuk sekarang, iya. Kita nggak bisa gegabah. Robert bukan orang yang gampang dikelabui."
Revan mendengus. "Gue tahu itu."
Leonard menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan satu lagi. Jangan kasih tahu siapa pun soal ini."
Revan sudah menduganya. "Termasuk Farel?"
Leonard menatapnya tajam. "Termasuk Farel."
Revan menggertakkan giginya. Farel selalu ada untuknya, tapi kali ini, ia harus menutup mulut.
Leonard berdiri, menyelipkan beberapa lembar uang di meja untuk membayar kopinya. "Gue bakal hubungin lo lagi kalau ada perkembangan. Sampai saat itu, tetap tenang."
Revan hanya mengangguk, menatap pria itu berjalan keluar kafe.
Saat ini, hidupnya masih berjalan seperti biasa.
Tapi ia tahu, cepat atau lambat, badai akan datang.