Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian yang Tidak Terucapkan
Alya menatap layar laptopnya, napasnya tersendat. Foto mobil itu remuk, kaca berserakan, noda darah mengering di kursi kemudi seperti monster yang siap menelannya bulat-bulat. Bau logam masih terbayang di hidungnya, meski kejadian itu sudah berlalu. Tangannya mengepal di atas meja, kukunya mencengkeram kayu hingga buku-buku jarinya memutih. Getaran halus menjalar dari ujung jarinya ke lengan.
Malam itu, dia seharusnya mati. Semua bukti mengarah ke sana. Tapi nyatanya, dia masih di sini, bernapas, sementara jawaban tentang penyelamatnya menghilang seperti kabut.
Semua terasa janggal.
Alya menutup laptopnya dengan frustrasi. Dia sudah mencoba bertanya kepada dokter dan perawat yang merawatnya, tapi mereka hanya memberinya jawaban yang sama, keajaiban. Itu tidak masuk akal. Dia seharusnya tidak bisa selamat tanpa bantuan seseorang.
Dan seseorang itu... tidak ada dalam catatan siapa pun.
Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, pikirannya berkecamuk. Sejak kecelakaan itu, hidupnya terasa berubah. Bayangan di cermin, langkah kaki di lorong rumahnya, dan perasaan selalu diawasi, semua itu membuatnya gelisah.
Dia harus mencari jawaban.
Keesokan harinya, Alya pergi ke perpustakaan kota. Mungkin terdengar kuno, tetapi dia merasa ada sesuatu yang bisa ditemukan di sini. Sejarah, legenda, atau apa pun yang mungkin berhubungan dengan apa yang terjadi padanya.
Jari-jarinya menelusuri deretan buku, sampai sebuah judul menarik perhatiannya: "Legenda Jiwa yang Tertolak".
Dia menarik buku itu dari rak dan mulai membaca.
"Ada orang-orang yang seharusnya mati, tetapi tetap hidup. Mereka yang telah menyeberang ke batas kematian, tetapi ditarik kembali. Mereka sering mengalami kejadian supranatural, karena dunia yang seharusnya menerima mereka telah menolak keberadaan mereka. Dan mereka yang menyelamatkan jiwa-jiwa ini... akan menghadapi konsekuensi yang tidak dapat dihindari."
Alya menggigit bibirnya. Mitos? Atau... kenyataan yang disamarkan sebagai dongeng? Ia menelan ludah, tiba-tiba menyadari sesuatu... Keheningan. Tadi ada suara langkah kaki, bisikan pelan, desiran halaman buku yang dibalik. Sekarang?
Tidak ada apa-apa. Hening total, seolah dunia menahan napas. Udara menjadi dingin, menusuk tulangnya. Dari ekor matanya, Alya melihat sesuatu di rak seberang... Bayangan yang seharusnya tidak ada.
Suara itu menusuk kesadarannya. "Itu bukan hanya legenda."
Alya tersentak, jantungnya berdegup kencang. Dia berbalik begitu cepat hingga hampir menjatuhkan buku di tangannya.
Di sana, berdiri seseorang yang tidak seharusnya ada di sini.
Rheyan.
Tatapannya tetap dingin, tapi ada sesuatu di balik matanya. Ketegangan. Atau mungkin... ketakutan?
Alya menutup buku di tangannya. "Apa maksudmu?"
Rheyan berjalan mendekat, tetapi berhenti dengan jarak yang cukup aman. "Apa yang kau baca... itu bukan sekadar cerita. Itu adalah kenyataan."
Alya menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Kenyataan yang mana? Tentang jiwa yang seharusnya mati? Tentang kejadian supranatural? Atau tentang konsekuensi bagi orang yang menyelamatkan mereka?"
Rheyan terdiam sesaat, lalu menghela napas pelan. "Kau seharusnya tidak ada di sini, Alya." Suara Rheyan dalam, nyaris berbisik. "Aku yang seharusnya membawamu pergi malam itu."
Dunia Alya terasa berhenti sejenak.
Dia mengedipkan mata, memastikan dia tidak salah dengar. "Kamu... apa?"
"Aku seharusnya membawamu pergi malam itu," lanjut Rheyan. "Tapi aku tidak melakukannya."
Darah Alya terasa membeku. Ia tersentak mundur, punggungnya menabrak rak buku. Suara napasnya terdengar lebih kencang di telinganya sendiri. "K-Kenapa?" suaranya bergetar, nyaris tak keluar.
Sekali lagi, Rheyan terdiam. Matanya menatap tajam, tetapi ada sesuatu dalam sorotannya, sebuah keraguan, atau mungkin rasa bersalah.
"Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya.
Jawaban itu hanya membuat Alya semakin marah. "Kamu tidak tahu? Kamu malaikat maut, seharusnya kamu punya alasan! Kamu tidak bisa hanya... menyelamatkan seseorang begitu saja tanpa alasan!"
Rheyan mengepalkan tangannya. "Kau pikir aku tidak bertanya pada diriku sendiri? Aku sudah mencoba mencari alasannya. Aku sudah mencoba memperbaiki kesalahan ini. Tapi... aku tidak bisa menghapus keberadaanmu begitu saja."
Alya merasakan gelombang emosi melandanya. Takut, marah, bingung, semuanya bercampur menjadi satu.
"Jadi, apa yang terjadi sekarang?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Rheyan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Jika kamu jatuh cinta pada orang lain, aku akan lenyap."
Dunia Alya terasa runtuh. Dada terasa sesak, seolah udara di ruangan ini tiba-tiba menghilang.
"Jadi... aku harus memastikan aku tidak mencintai siapa pun hanya supaya kamu tetap ada?" suaranya bergetar.
Matanya menatap Rheyan, mencari jawaban, mencari kepastian bahwa ini hanyalah kebohongan buruk. Tapi ekspresi Rheyan tidak berubah.
"Ini gila," bisiknya. "Ini tidak adil."
"Segalanya sudah tidak masuk akal sejak malam kecelakaan itu."
Alya menggelengkan kepala, mencoba menenangkan dirinya. "Jadi... aku tidak bisa mencintai siapa pun? Hanya karena kamu menyelamatkanku?"
Rheyan tidak menjawab, tetapi ekspresinya cukup menjadi jawaban.
Alya merasakan ketegangan di dadanya. Ini tidak adil. Dia tidak pernah meminta ini.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Davin.
"Alya, kamu baik-baik saja? Aku bisa mampir kalau kamu butuh teman bicara."
Alya menatap layar ponselnya, pikirannya melayang. Davin selalu ada untuknya, terutama sejak kecelakaan itu. Dia merasa aman bersamanya. Tetapi sekarang... ada jarak tak terlihat yang mulai muncul.
Dia menghela napas dan membalas pesan itu.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Davin."
Dia tidak yakin apakah dia sedang berbohong atau tidak.
Alya mondar-mandir di kamarnya, tangannya menggenggam rambutnya frustasi. Kata-kata Rheyan terus terngiang di kepalanya.
"Jika kamu jatuh cinta pada orang lain, aku akan lenyap."
Dia melirik ke cermin di sudut kamar. Matanya sendiri menatap balik, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Apakah itu hanya bayangannya, atau ada sesuatu yang mengintai di balik refleksi itu?
Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meraih selimut, menutup tubuhnya, tapi rasa dingin itu tetap ada.
Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Alya merinding. Angin dingin berhembus, membuat gorden melambai perlahan meski jendela tertutup rapat.
Dia menggigit bibirnya, menatap layar ponselnya. Tangannya sudah mengetik pesan untuk Davin, tetapi dia tidak mengirimnya. Apa yang akan terjadi jika dia terlalu dekat dengannya?
Lalu, suara itu terdengar.
Bukan suara Rheyan. Lebih dalam. Lebih tajam. Seperti bisikan yang berasal dari kegelapan.
"Jangan jatuh cinta..."
Bisikan itu seperti suara yang berasal dari dalam kepalanya sendiri. Jantung Alya mencelos. Perlahan, ia menoleh ke cermin di Sudut kamar.
Bayangannya... tersenyum.
Bibirnya tertarik lebih lebar dari yang seharusnya, hampir tidak manusiawi. Matanya hitam pekat, tak mencerminkan apa pun. Dadanya naik turun, tetapi refleksinya tidak bergerak sama sekali.