Seorang gadis berusia 20 tahun, yang bekerja sebagai pelayan di sebuah Mension mewah milik keluarga Angkasa.
Suatu hari, gadis bernama Dara itu, tak sengaja di nodai oleh putra satu-satu tuan Angkasa, yang menyebabkan ia hamil.
Karena kehamilannya, ia terpaksa di nikah sirihkan oleh laki-laki yang telah menodainya.
Ayo ikuti kisahnya, apakah Dara mampu bertahan dalam rumah tangga menjadi istri sirih sekaligus istri simpanan? Apakah dia bisa melalui ujian rumah tangga yang di penuhi banyaknya rintangan? Ataukah ia akan memilih pergi saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bunda Qamariah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemana dia?
"Apa yang Mama katakan itu semua tidak benar Mi, Dara tidak seperti itu," Adam membalik badan ingin mengejar Dara.
"Kau mau kemana Adam?" Tanya Yunda masih dengan emosi yang memuncak.
"Aku mau mengejar Dara," Adam mulai melangkah.
"Adam! Selangkah saja lagi, kau melangkah! Maka Mama akan membekukan semua kartumu!!" Ancam Yunda.
Adam menghentikan sejenak langkahnya. Yunda tersenyum melihat putranya yang takut jika ia membekukan kartunya.
Tapi ia salah, sedetik kemudian, Adam kembali melanjutkan langkah kakinya pergi meninggalkannya yang berteriak kencang memanggil Adam.
"ADAM!! BERHENTI ADAM!!! MAMI BILANG BERHENTI!!!" Yunda berteriak kencang sehingga menarik semua perhatian pelayan yang bekerja di rumahnya akibat suaranya yang nyaring.
Tapi putranya seolah tuli, tak mendengarkan Maminya, berlari keluar dan naik ke mobilnya, mencari Dara di setiap jalanan, tapi ia tak menemukan wanita itu.
Adam menyapu kasar wajahnya saat ia sama sekali tak menemukan Dara. Mengarahkan mobilnya berjalan kerumah Ibu Ida, berpikir siapa tau saja istrinya sudah pulang kerumah.
Hanya beberapa menit saja, Adam sudah tiba di rumah ibunya Dara.
Ia turun sedikit berlari masuk ke dalam rumah ibu Ida tanpa mengetuknya.
Tiba di dalam, tak ada siapapun di sana, karena ibu Ida sedang menjual kue keliling. Dan Dara juga belum pulang.
"Di mana wanita itu?" Ujar Adam mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Dara. Tapi ia baru ingat, jika ia tak mempunyai nomor ponsel istrinya. Adam hanya bisa mendengus kesal pada dirinya sendiri, yang tak pernah meminta nomor Dara.
Ia kembali berjalan keluar ingin mencari keberadaan Dara di mana sebenarnya ia pergi.
,,,
Anim sudah tiba di rumah suaminya. Sebelum masuk ke dalam Villa ia mengintip dulu dari luar, siapa tau saja Adam berada dalam Villa itu. Pikir Anim.
Tapi ia menduga-duga, pasti laki-laki itu belum pulang.
Akhirnya ia memberanikan diri masuk ke dalam Villa suaminya.
Ia bertanya pada seorang pelayan. "Bik, apa bibik melihat suami saya bik?"
"Maaf Non, tapi semalam tuan pergi lagi setelah Non juga pergi," jawabnya.
Pergi lagi? Sebenarnya dia sering kemana? Kenapa aku tidak mengetahuinya? Apa dia ke Barnya?. Batin Anim tertanya-tanya dalam hati, mencari kepergian Adam, sebenarnya kemana akhir-akhir ini.
Tak ingin berpikir lebih dalam lagi, Anim melangkah naik ke kamar suaminya. Ia berniat membersihkan tubuhnya. Setelah itu ia memakai pakaian yang lumayan tertutup, karena banyak tanda pemilikan yang menempel di tubuhnya, akibat percintaannya semalam bersama Vano.
,,,
Malam hari.
Dara sudah mengemasi beberapa helai pakaiannya. Setelah itu ia keluar dari kamar. Mengetuk pintu kamar ibunya.
Tok Tok Tok
Tak ada sahutan dari dalam sana, ia menarik nafas kembali mengetuk pintu kamar ibunya. Tapi hasilnya tetap nihil, ibu Ida tetap tak menyahutinya.
Memberanikan diri memutar knop pintu. Ia melihat ibunya sedang melaksanakan sholat isyak.
Dara melangkah masuk ke dalam, dan duduk di rajang ibunya.
Tak berapa lama, ibu Ida sudah selesai sholat. Ia melihat Dara yang duduk menunggunya.
"Ada apa?" Tanya ibu Ida, seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi.
"I-ibu ... Dara mau pamit sama ibu, Dara mau ke kampung Oma di luar kota besok Bu ... Dan ... Dara juga mau ajak ibu, jika ibu mau," lirih Dara dengan bola mata yang sudah membendung, sambil menunduk.
Tiba-tiba ia merasa ada pelukan hangat yang sedang memeluknya. Dara kaget, kerena ibunya sedang memeluknya.
"Maafkan ibu yang sudah mendiamimu, ibu sangat kecewa sama kamu Dara, tapi ibu tetap sayang sama kamu nak," kata ibu Ida menyatuhkan air matanya.
Dara membalas memeluk ibunya. Tangisnya pecah, dadanya terasa sesak, akhirnya setelah sebulan tak punya tempat untuk meluapkan rasa yang menyesakkannya, kini sudah terasa ringan karena ia sudah punya tempat untuk menumpahkan kesedihannya.
"Dara yang seharusnya minta maaf sama ibu ... Dara sudah membuat ibu malu," kata Dara melonggar pelukanya dan mengusap air mata ibunya.
Ibu ida mencium pucuk kepala putrinya. "Tidak nak, mungkin sudah takdir seperti itu. Pergilah nak, jika kau mau ke rumah Oma (Ibu dari almarhum Ayah Dara) mu, ibu tidak bisa ikut nak, karena tidak ada yang akan menjaga rumah peninggalan Ayahmu di sini," mengusap sayang kepala Dara.