6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Di Luar Dugaan
Alfa memang tergabung dalam sebuah band, tapi band tersebut bukan di negara ini. Melainkan di Singapura. Sudah dua tahun band itu hiatus karena formasi mereka yang tidak lengkap.
Lala memang tak tahu perihal band sang adik karena Alfa begitu tertutup perihal kegiatan band tersebut. Bahkan keluarganya pun hanya sedikit yang tahu. Band itu cukup terkenal di negeri Singa, tapi keempat personilnya yang tidak mau dikenal. Alhasil, mereka hanya cukup mengeluarkan album tanpa mengadakan konser-konseran seperti band lain.
Para personilnya pun bukanlah orang sembarangan, itulah sebabnya mereka sering menolak manggung di luar karena bentrok dengan pekerjaan. Mereka hanya sekedar menuangkan hobi tanpa memikirkan materi.
Band mereka pun sering dipanggil High Value Circle yang terdiri dari Brian King Atlanta, Sadewa Mahardika, Sakala Sasmika dan Alfa. Di antara keempat orang itu hanya Alfa yang statusnya mahasiswa. Sedangkan Sadewa berprofesi sebagai dokter, dan Sakala seorang CEO.
.
Lala masih syok dengan kenyataan yang baru saja dia terima. Benar-benar di luar dugaannya. Sedangkan Alfa masih tertawa melihat mimik sang kakak.
"Bantuin Kakak gua ya, Masbri." Brian menjawabnya dengan senyuman teramat tipis.
"Have fun," bisik Alfa di telinga Lala sebelum dia pergi.
Hanya keheningan yang tercipta di meja tersebut. Brian sudah menatap Lala yang masih terdiam.
"Mau ngerjain atau bengong?"
Lala memberanikan diri untuk menatap Brian. Sebuah kalimat akhirnya terlontar.
"Kenapa gak bilang dari awal?"
"Gunanya untuk apa?" jawab Brian dengan begitu dingin.
"Saya lebih suka kamu mengenal saya sebagai dosen dibandingkan teman adik kamu."
Lala pikir setelah Brian menyatakan perasaannya sikapnya akan berubah. Ternyata sama saja jika menyangkut pelajaran. Tetap tegas dan cukup galak.
"Akhirnya---"
Lala sudah meletakkan dagunya di meja karena tugasnya sudah selesai. Brian pun tersenyum. Diusapnya ujung kepala Lala dengan begitu lembut.
"Good job."
Mata Lala kini tertuju pada manik mata Brian. Begitu indah sekali makhluk ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Namun, atensinya teralihkan ketika seorang pegawai kafe mendekat.
"Pak, ini data yang Bapak minta," ujar pegawai lelaki yang menghampiri Brian.
Tak ada jawaban, tangan pria itu sudah meraih beberapa lembar kertas dari tangan pegawai king kafe. Lalu, pegawai itu pergi dari hadapan Brian dengan begitu sopan.
Dilihatnya Brian begitu serius membaca lembaran kertas tersebut. Getaran ponsel yang ada di atas meja membuat Lala meraihnya.
"Gua lupa bilang satu hal."
"King kafe punya dosen lu."
Semakin tercenganglah Lala. Dia sudah tak bisa berkata apapun. Sungguh di luar dugaan.
.
Let me love you, kalimat yang masih terngiang di kepala. Pria yang mengatakannya pun masih sama tak ada yang berubah. Begitu pandai menyimpan perasaannya. Tak terlalu menunjukkan, tapi Lala dapat merasakan ketulusan yang Brian berikan.
Lengkungan senyum terukir ketika ojol sudah menunggu Lala di depan pintu kelas. Minuman dari king kafe sudah bapak itu bawa.
"Makasih, Pak," ucapnya pada ojek online.
Lala menoleh ke arah belakang di mana Brian baru saja hendak keluar. Senyum melengkung indah di wajah Lala sebagai tanda terimakasih dan direspon anggukan kecil oleh Brian.
Kepekaan Brian tak ada duanya. Tanpa Lala minta dan bicara, pria itu tahu apa yang dia butuhkan. Benar kata Brian, dicintai itu lebih menyenangkan dibandingkan mencintai.
Namun, Lala masih meragu pada hatinya. Dia takut jika kenyamanannya pada Brian hanya bentuk dari sebuah pelarian atas kesedihan dan kesakitan terdahulu. Dia tak ingin menumbalkan ketulusan Brian.
"Kan saya sudah bilang. Jangan terburu-buru. Selami dulu perasaan kamu, tapi jangan larang saya untuk terus memberikan cinta saya kepada kamu."
Setenang itu Brian King Atlanta berkata. Di mana seharusnya lelaki pada umumnya akan menagih jawaban, tapi Brian malah menyuruh Lala untuk jangan buru-buru. Begitu unik.
.
Di sisi lain, Devan juga terus mencoba mendekati Lala.
"Ini masakan dari Bunda."
"Kata Bunda harus dimakan."
Mau tidak mau Lala menerimanya. Dia juga tak lupa mengucapakan terimakasih.
"Mau enggak nanti kita makan bareng di kantin? Sekalian nunjukin ke bunda kalau makanannya udah lu makan." Lala mulai berpikir.
"Soalnya bunda minta bukti."
Akhirnya, Lala pun mengangguk. Makanan pun dia bawa ke kelas. Suara rekan-rekannya mulai terdengar.
"Ciye, yang udah balikan."
"Balikan?" Lala bingung.
"Sama Devan. Dia effort banget deketin lu akhir-akhir ini. Datang pagi buta demi untuk nungguin lu."
Lala hanya tersenyum tipis. Bukan karena bahagia, tapi risih. Tanpa mereka sadari dosen killer sudah masuk dengan tatapan dingin. Cara mengajar Brian hari ini sangat berbeda dari biasanya. Lala meyakini jika Brian mendengar apa yang dikatakan teman-temannya tadi.
"Pundung lagi ini mah," batin Lala dengan mata yang tertuju pada Brian yang sama sekali tak menatap dirinya.
Baru saja hendak menolak ajakan Devan, manusianya sudah menunggu di depan kelas. Senyumnya begitu bahagia. Lala mulai menoleh ke arah Brian yang sudah memasang wajah datar. Bahkan pria itu segera melewati Lala begitu saja.
Lala dan Devan sudah berada di kantin. Devan sudah menghubungi sang bunda dan begitu bahagianya bunda Devi melihat Lala memakan bekal darinya.
"Besok mau dimasakin apa lagi?"
"Enggak usah, Bun."
"Bunda sedih loh kalau kamu nolak."
Kembali Lala terperangkap dalam rasa tidak enak. Dia melakukan itu bukan karena Devan, melainkan karena bunda Devi.
Tak hanya sampai situ saja, malamnya Devan datang ke rumah Lala. Lala yang sedang menanti balasan pesan dari Brian yang sedang pundung dipanggil sang papa. Seketika wajah penuh ketidaksukaan muncul.
"Hai, L--"
"LALAPOOOOOH!"
Pandangan Lala teralihkan pada remaja lelaki yang baru masuk ke rumahnya dengan wajah riang. Dia menatap sinis Devan yang sedang duduk di ruang tamu. Sedari dulu Gyan Abhiseva Wiguna atau Tuan tak pernah bersikap manis pada Devan.
"Ke rumah, yuk!"
"Gua udah ijin sama Om buat ajak Lala jalan."
Tatapan tajam kembali Tuan layangkan.
"Ya udah lu ikut gua. Lu pengen jalan sama Lalapooh kan?"
Tak biasanya Tuan berbaik hati seperti itu. Devan pun tak akan menyiakan kesempatan. Dia memutuskan untuk ikut bersama Tuan dan Lala.
"Kakak senang banget akhirnya dia punya waktu," ujar Tuan dengan suara yang begitu senang.
"Pokoknya Lalapooh harus liat dia main deh. Keren banget."
Lala hanya mengangguk. Tuan memang pernah bercerita jika dia mengagumi sosok lelaki yang sering bermain basket di tempat dia dan Pangeran berlatih basket. Dan sekarang lelaki itu bisa datang dan bermain basket bersamanya juga Pangeran di rumah. Tuan juga berjanji akan menunjukkan lelaki yang dia kagumi itu kepada Lala.
Mereka bertiga sudah masuk ke halaman samping kediaman Daddy Aksa. Di mana empat pria sedang bermain basket di lapangan.
"Tuh, dia yang Kakak ceritain," tunjuknya pada lelaki yang kini sudah memegang bola.
"Shoot Bri! Shoot!"
Suara Mas Agha terdengar begitu lantang.
Tubuh Lala pun menegang ketika melihat siapa yang tengah bermain basket bersama manusia yang paling sulit didekati setelah Daddy Aksa.
"Kejutan apalagi ini, Tuhan? Kenapa mereka terlihat begitu akrab?"
...*** BERSAMBUNG ***...
Coba atuh dikomen.
next... pasti Lala makin posesif sama mas Bri , apalagi kalau ada feeling yang kurang baik .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍