Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 27 — Menjemput Zein
Mobil yang Lauren kendarai berbelok masuk ke sebuah vila yang cukup mewah. Memarkir mobilnya di Carport, Lauren kemudian mengajak Zein untuk turun dan masuk ke vila itu.
Namun, Zein menolak turun. Anak kecil itu mencebikkan bibir. “Tadi katanya mau ajak Zein main. Tante bohong! Zein gak suka orang yang bohong!” protesnya dengan melipat tangan di dada.
Memaksakan senyum, Lauren mencoba membujuk Zein dengan lembut. “Mainnya nanti, ya. Sekarang kita masuk dulu, oke? Zein suka mainan, kan? Ibu punya banyak mainan loh di dalam.”
Zein menggeleng kuat, “Zein sudah besar, kata papa gak boleh main mainan lagi!” jawabnya tak kalah pintar.
Melihat sikap Zein itu, Lauren tak tahan lagi untuk berpura-pura dan membujuk. Dengan kasar ia menarik lengan kecil Zein agar mau turun dari mobil dan memaksanya untuk masuk ke dalam.
“Gak mau, Zein gak mau. Lepas, Tante, sakit. Tangan Zein sakit!” teriak anak kecil itu kesakitan.
Namun, Lauren sama sekali tak peduli, ia terus menarik paksa lengan kecil Zein hingga memasuki ruang tamu. Dengan kasar, ia mendudukkan Zein di sofa. Anak kecil itu mulai mengucek matanya, menangis pelan karena mendapat perlakuan kasar.
Padahal di rumah, jangankan dipaksa dan diperlakukan kasar, pelayan bahkan neneknya, tak ada satu pun yang berani berlaku kasar pada Zein.
Mendengar anak kecil itu menangis, sontak saja membuat Lauren semakin gemas. Menggertakkan gigi, ia memelotot pada Zein. “Diam! Jangan berisik!” seru Lauren agak keras yang malah mengundang tangisan anak kecil itu lebih keras.
“Mamaaa … Papaaa … “ Zein tergugu ketakutan dengan sosok perempuan yang ada di depannya.
“Surtiii, ke sini kamu!” panggilnya dengan berteriak. Salah seorang pelayan mendatanginya dengan tergopoh. “Urus dia, Surti. Kasih dia makan dan yang terpenting jangan sampai dia menangis!”
Surti mengangguk patuh, “Baik, Nyonya.”
Selepas itu, Surti langsung mengajak Zein yang masih tersedu-sedu. Dengan pelan, Surti mengusap air mata Zein sesaat Lauren sudah melangkah ke lantai atas.
“Sudah, ya, anak baik. Jangan menangis, ya. Ayo kita makan, mau? Atau adek mau main? Main sama Bi Surti, ya?” bujuknya dengan lembut.
Zein menggeleng kuat, ia meronta-ronta meminta tangannya dilepaskan. “Gak mau! Zein mau mama! Mamaaa.”
“Ssst! Adek, adek jangan nangis lagi, ya. Nanti nyonya bisa marah. Setelah makan, adek pasti bisa ketemu sama mama-nya adek,” kata Surti lagi, masih berusaha untuk membujuk anak kecil yang sangat menggemaskan menurutnya itu.
Entah anak siapa itu, Surti tak mengenalnya, dan entah bagaimana bisa majikannya membawa anak kecil itu, Surti tak mau mencampuri urusan sang nyonya.
Mendengar bujukan itu, Zein pun akhirnya luluh. Ia menyeka air matanya dan pipinya yang basah. Matanya yang kecil menatap Surti dengan serius, seolah mempertanyakan kebenaran yang diucapkan pembantu rumah tangga itu.
“Kita makan dulu, ya.” Melihat anak kecil itu akhirnya mengangguk, Surti membawanya ke dapur dan mendudukkannya di meja makan. Ia memasak apa saja yang ia anggap akan disukai oleh Zein.
Dengan patuh, anak kecil itu duduk menunggu Surti yang memasak makanan. Meski diam, otak kecilnya berpikir bagaimana cara untuk pergi ataupun menghubungi sang ayah. Namun, Zein sama sekali tidak mengingat nomor ponsel Kavindra.
Zein harus cari akal untuk hubungi Mama, pikirnya. Melihat ke arah Surti, Zein tiba-tiba terpikir untuk meminjam ponsel pembantu rumah tangga itu.
•••
Sementara di kantor, Ravindra tampak sibuk melacak keberadaan mobil Lauren dengan dibantu tim-nya. Kavindra yang baru datang lima menit lalu, terus saja menanyakan hasil kerja mereka. Sudah dua jam sejak Zein dibawa pergi Lauren, dan ia semakin takut. Ia takut Lauren akan melakukan hal-hal nekat pada anaknya.
“Bagaimana ini, Mas? Bagaimana dengan Zein. Ya Allah Zein, maafkan Mama, Nak.” Di samping Kavindra, Davira masih terisak. Kendati Kavindra memintanya untuk tinggal di rumah, perempuan itu menolak dan bersikeras untuk ikut.
“Sabar, Sayang. Sebentar lagi mereka pasti bisa melacaknya. Zein pasti akan baik- baik saja. Ingat, kan? Zein anak yang sangat cerdas,” kata Kavindra menenangkan padahal ia pun tengah cemas luar biasa.
“Ravindra? Apa kau sudah menemukannya? Cepatlah! Kenapa lama sekali kau bekerja?” protesnya khawatir. Tangannya tak tinggal diam, bergerak-gerak mengusap dagu.
“Sedikit lagi, Kak. Kami hampir berhasil,” jelas Ravindra, mencoba tetap tenang bekerja di bawah tekanan sang kakak. Sebagai paman, ia juga sangat khawatir saat ini.
Di tengah-tengah kecemasan itu, ponsel Davira berdenting, tanda sebuah pesan masuk. Pada saat-saat genting seperti ini, denting ponsel bisa menjadi sebuah pertanda yang sangat berharga.
Namun, membaca layar utama ponselnya, Davira harus menelan kecewa, karena pesan yang ia dapati, hanyalah dari operator kartu prabayar yang menawarkan bundling kuota.
Kavindra menoleh, “Siapa?”
“Operator kartu prabayar,” jawab Davira dengan lemah. Sungguh sangat kecewa, karena ia setengah berharap bahwa itu adalah pesan dari penculik Zein yang meminta tebusan atau semacamnya.
Kavindra hanya mengangguk singkat, jika keadaannya tidak segenting ini, ia mungkin akan tertawa dengan satu hal konyol itu. Tapi Kavindra hanya mengusap punggung tangan Davira, meminta istrinya untuk bersabar lebih lama lagi.
Tak lama setelah itu, ponselnya kembali berdenting. Meski malas, Davira tetap mengecek pesan yang masuk ke ponselnya. Sebuah nomor tak dikenal menghubunginya dengan mengirimkan sebuah lokasi.
Kening Davira mengernyit dalam, “Apa ini salah kirim, ya? Nomor siapa ini? Alamat rumah siapa?” monolog Davira menatap layar ponselnya dengan bingung.
“Kenapa, Sayang? Pesan dari operator lagi?” tanya Kavindra penasaran.
Davira menggeleng kemudian menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan nomor tak dikenal namun mengirimkan sebuah lokasi. Kavindra langsung mengambil ponsel itu dan mengecek lokasi yang dikirimkan nomor tak dikenal itu dan meminta Ravindra untuk memeriksanya.
Ravindra memeriksa titik koordinat itu lewat layar komputernya, berusaha meretasnya melalui CCTV. Selama beberapa saat bergulat dengan kode-kode itu, ia akhirnya menemukan sesuatu.
“Kak, Zein berada di sana! Zein ada di lokasi itu!” seru Ravindra merasa senang kemudian menunjukkannya pada sang kakak. Mendekat untuk melihat, senyum Kavindra dan Davira pun terbit.
“Itu pasti Zein! Anakku memang pintar!” kata Kavindra dengan bangga. Mengajak yang lainnya untuk bergegas, Kavindra berjanji dalam hati tak akan melepaskan Lauren.
“Ya Allah, terima kasih atas pertolongan-Mu. Tunggu mama, ya, Zein. Mama pasti akan datang menjemput Zein,” lirih Davira sambil mengikuti langkah besar Kavindra.
•••
Happy weekend, all.
Maaf baru update, huhu. Dua hari ini lagi kurang enak badan sampai mau ngetik pun rasanya lemas.
Enjoy and happy reading.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. 🫶