NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: Aku Bukan Pelacur

HAI, READER'S! TOLONG INGAT PESAN DARI AUTHOR SEBELUM MEMBACA BAB INI, YA!

Sebelum melanjutkan ke cerita, author ingin memberikan peringatan penting. Di bab ini terdapat beberapa adegan yang sama sekali tidak patut untuk ditiru dalam alasan apapun.

PENTING!

Jika Reader's saat ini sedang mengalami masalah kesehatan mental atau merasa emosional, author sangat menyarankan untuk tidak membaca bab ini terlebih dahulu. Jaga kesehatan mental kalian adalah hal yang utama!

INGAT!

Apa yang Raya lakukan di bab ini tidak untuk ditiru oleh siapa pun dan dengan alasan apapun! Adegan tersebut hanya sebatas elemen cerita dan bukan sesuatu yang boleh dicontoh dalam kehidupan nyata.

Author ingin mengingatkan:

"Cobalah untuk melihat segala hal dari sudut pandang yang positif, karena itu akan memberi kita kekuatan. Semua akan baik-baik saja. Adakalanya kita hanya butuh sedikit waktu dan kesabaran untuk mencapai kebahagiaan."

Semoga pesan ini bisa menjadi pengingat agar kita terus kuat dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan.

Selamat membaca, Reader's tercinta!

Tetap jaga diri, ya ❤️

•••••

Raya pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, langkah-langkahnya berat dan perlahan. Dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk naik kendaraan umum, sehingga harus mengandalkan kedua kakinya. Sepanjang perjalanan, tubuhnya terasa semakin lemah, membuatnya beberapa kali harus berhenti sejenak. Napasnya tersengal-sengal, bahunya lunglai, sementara peluh terus mengalir di wajah yang sudah pucat sejak tadi.

Perjalanan panjang itu memakan waktu hampir tiga jam. Saat dia akhirnya mencapai jalan gang kecil yang menuju rumahnya, langkahnya semakin terseok. Matahari yang tadi tinggi kini mulai merendah, memancarkan semburat jingga di langit. Udara sore terasa lebih dingin, angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang basah oleh keringat. Langkahnya terhenti sejenak, memandangi warna langit yang perlahan berubah dari jingga menjadi ungu keabu-abuan, pertanda malam sebentar lagi tiba.

Raya menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan sisa tenaganya. Dia melangkah kembali, melewati jalan sempit yang penuh dengan bebatuan kecil. Saat akhirnya dia sampai di depan rumahnya, tubuhnya seperti menyerah. Dia berdiri mematung, menatap rumah tua di depannya. Rumah itu kecil, dengan dinding kayu yang sudah mulai rapuh, sebagian catnya mengelupas, dan atapnya terlihat bocor di beberapa bagian.

Tanpa aba-aba, air mata Raya jatuh, mengalir deras membasahi pipinya. Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan pahit yang terus menghantui hidupnya. Setiap sudutnya seperti menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Namun, anehnya, rumah itu juga menjadi tempat yang selalu dia rindukan. Rumah itu mungkin lebih pantas disebut gubuk, tapi di dalamnya ada keluarganya, orang tua, kakak, dan adiknya yang meski sering mengabaikannya, tetap menjadi alasan baginya untuk bertahan.

Raya menyeka air matanya dengan punggung tangan, lalu melangkah masuk ke pekarangan rumah. Tanah di depannya becek setelah hujan siang tadi, meninggalkan genangan kecil di antara rerumputan liar. Bau tanah basah bercampur dengan aroma kayu tua langsung menyeruak ke hidungnya. Meski rumah itu jauh dari kata layak, bagi Raya, rumah ini lebih berarti daripada rumah mewah milik orang lain. Karena di sini, dia masih bisa melihat keluarganya—walaupun keberadaannya sering kali tak dianggap. Baginya, itu sudah lebih dari cukup.

"Ibu... Ayah..." panggil Raya pelan, suaranya hampir tak terdengar karena tenggorokannya kering. Dia berdiri di depan pintu kayu yang usang, catnya mengelupas dan terdapat retakan kecil di beberapa bagian. Tapi, tak ada sahutan. Udara sore yang mulai dingin terasa menusuk kulit, membuat tubuhnya menggigil kecil.

Sesaat, Raya terdiam. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak. Dia bingung harus bagaimana. Matanya menatap sekitar, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu. Namun, semuanya tetap sunyi. Tidak ada bayangan, tidak ada suara, bahkan tidak ada tanda-tanda lampu yang menyala di dalam.

Di tengah kebingungannya, beberapa ibu-ibu yang lewat di depan rumah memperhatikannya. Mereka membawa keranjang belanja, terlihat seperti baru pulang dari pasar, warga di sana memang terbiasa berbelanja saat hari sudah sore. Dengan harapan mendapat petunjuk, Raya segera menghampiri mereka.

"Permisi... Maaf, ibu-ibu. Apa kalian melihat keluarga saya?" tanyanya sopan, matanya penuh harap. Namun, bukannya mendapat jawaban, ibu-ibu itu saling pandang terlebih dahulu. Tapi akhirnya, salah satu dari mereka, seorang ibu paruh baya dengan rambutnya yang sudah mulai memutih, berbicara dengan nada sinis.

"Kau... anak pungut Bu Ratna, kan?"

Perkataan itu menusuk hati Raya. Tubuhnya seolah membeku sejenak, tapi dia berusaha tetap tenang. Dengan sedikit ragu, dia mengangguk, mencoba mengiyakan meski hatinya terasa sakit.

"Maaf, apakah kalian tahu ke mana keluarga saya? Kenapa rumah nya terlihat kosong?," tanya Raya berusaha mempertahankan sikap sopan nya .

"Keluarga angkat mu sudah pindah, mereka membeli rumah di kampung sebelah. Masa kau tidak tahu?" Ujar nya dengan nada mencemooh. Kalimat itu membuat hati Raya semakin teriris. Namun, sebelum dia bisa merespons, ibu tersebut melanjutkan.

"Oh, ya... Tentu saja mereka bisa pindah. Bukankah itu semua hasil dari... pelacuran yang kau lakukan? Tega sekali kau mengecewakan keluarga angkat mu seperti itu." Ujar nya yang membuat Raya mencelos.

DEGH...

Dunia Raya seolah berhenti berputar. Jantungnya seperti tertusuk ribuan jarum. Dia terdiam, menatap kosong ke arah wanita yang baru saja melontarkan kata-kata menyakitkan itu. Kata "pelacuran" terus bergema di kepalanya, memukul-mukul kesadarannya dengan kejam. Matanya mulai panas, namun dia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan orang-orang itu. Dia ingin marah, ingin berteriak, ingin membela dirinya. Tapi kata-kata itu seakan membungkam seluruh keberaniannya. Dia merasa kecil, rapuh, dan terpojok.

"Sayang sekali, wanita cantik sepertimu harus bekerja melayani pria-pria hidung belang. Tapi ya, memang kebanyakan wanita zaman sekarang begitu, kan? Terlihat baik-baik dan berpenampilan sopan, padahal aslinya wanita malam," ujar salah satu ibu dengan nada sinis sambil melirik Raya dari atas ke bawah.

"Eh, jeng, zaman sekarang memang begitu, kok," timpal ibu yang lain, sambil menata selendang di pundaknya "Banyak wanita yang kelihatannya tertutup dan polos, tapi kelakuannya lebih menjijikkan dibanding wanita yang berpenampilan terbuka. Lihat saja contohnya," lanjutnya sambil menunjuk Raya dengan gerakan tangan yang penuh hinaan.

Raya hanya bisa menunduk, merasakan setiap kata itu seperti pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya yang gemetar menggenggam ujung bajunya, mencoba menahan diri agar tidak menangis di depan mereka.

"Iya, betul sekali , aku nggak bisa bayangin gimana hancurnya perasaan Bu Ratna saat tahu anak angkatnya ini menjual diri pada pria hidung belang. Sakitnya pasti nggak terlukiskan," sambung ibu yang lain dengan nada yang lebih tajam

"Pastinya hancur banget! Bagaimana nggak? Anak yang sudah mereka pungut, mereka rawat sepenuh hati, malah mempermalukan keluarga. Bukannya mereka pergi dari sini juga karena tahu kelakuan anak ini?," balas ibu lainnya dengan semangat menggosip.

"Iya, aku dengar mereka pindah karena malu! Malu dengan apa yang dia lakukan!" ucap salah satu ibu sambil melirik Raya dengan ekspresi penuh penghinaan. Raya berdiri terpaku, menahan air matanya yang sudah menggenang. Meski hatinya menolak, kata-kata mereka seperti racun yang menyebar di pikirannya.

"Malang sekali nasib Bu Ratna dan keluarganya, mereka sudah susah payah merawat anak nggak tahu diri ini sejak kecil. Eh, begitu besar, malah jadi pelacur," lanjut ibu yang lain dengan nada mengasihani, tapi penuh sindiran.

"Tapi... aku dengar mereka bisa beli rumah baru itu juga dari hasil pelacuran anak ini," tambah ibu lain sambil menyeringai.

"Ya, tetap saja itu memalukan!" timpal ibu yang lainnya dengan suara lantang, membuat beberapa warga sekitar melirik penasaran.

"Iya, benar. Amit-amit deh, aku jadi takut buat berempati sama orang lain. Jangan sampai aku juga ketemu manusia seperti dia," jawab ibu pertama dengan nada dingin, membuat Raya semakin terpuruk.

Air mata Raya akhirnya jatuh. Dia tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang menghantamnya bertubi-tubi. Meski dia tahu dirinya tidak bersalah, tuduhan kejam itu terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur saat menyadari bahwa orang-orang di sekitar bahkan tak segan melontarkan hinaan yang begitu menyakitkan.

"Ehh... Raya, pergilah dari sini! Kau hanya akan membawa petaka ke daerah ini. Wanita kotor sepertimu itu sampah bagi masyarakat!" ujar salah satu ibu dengan suara keras.

"Benar! Bagaimana kalau kampung kita kena azab karena ada wanita sepertimu di sini?" timpal ibu lainnya, mengangguk penuh keyakinan.

"Betul sekali! Aku pernah dengar ada kota yang di azab Tuhan karena penduduknya suka bermaksiat. Jangan sampai tempat kita kena malapetaka gara-gara wanita ini," tambah ibu lain dengan nada yang dibuat-buat dramatis. Raya, yang masih menunduk, mengangkat wajahnya perlahan. Dengan suara gemetar, dia mencoba berbicara.

"Aku... Aku tidak pernah melakukan pelacuran seperti yang kalian katakan. Aku wanita baik-baik. Bagaimana kalian bisa menuduh tanpa bukti seperti ini?" Ujar Raya dengan nada marah dan kecewa bercampur menjadi satu . Namun, kata-katanya hanya ditertawakan. Salah satu ibu dengan wajah sinis membalas.

"Halah! Mana ada maling yang mau ngaku! Kalau maling ngaku, penjara penuh sama penjahat. Cepat pergi dari sini sebelum kesialan itu datang karena keberadaan mu!" Ujar nya sembari mengibas - ngibaskan tangan nya .

"Jaga ucapan kalian! Aku bukan pelacur!, " ujar Raya, mencoba bersikap tegar, meskipun hatinya terasa seperti remuk.

Cuihh!

Salah satu ibu meludah ke arahnya, tapi untungnya ludah itu tak sampai mengenainya. Meski begitu, penghinaan itu cukup untuk membuat Raya merasa tubuhnya seperti diinjak-injak.

"Wanita menjijikkan! Kau hanya akan membawa kesialan bagi siapa pun yang dekat denganmu. Pergilah sebelum semua warga tahu soal pekerjaan kotor mu!" ujar wanita itu sambil mendelik. Setelah itu, ketiga ibu-ibu tersebut pergi sambil terus bergunjing, meninggalkan Raya yang berdiri membeku di tempat.

Saat mereka menghilang dari pandangan, tubuh Raya akhirnya lunglai. Dia jatuh terduduk di tanah, tak lagi mampu menahan air matanya yang mengalir deras. Tangisannya pecah, memenuhi udara sore yang semakin gelap. Dunia terasa begitu kejam, dan semua tuduhan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri. Hatinya menjerit, tapi tidak ada seorang pun yang mendengar.

"Ayah... Ibu... Aku menjaga kehormatanku selama bertahun-tahun. Aku menjaga diriku dengan baik. Tapi kenapa... kenapa kalian sendiri yang harus menghancurkan semua itu?! Apa kalian benar-benar sejahat itu padaku? Kenapa?!," suara Raya terdengar lirih di antara isak tangisnya. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya seolah menahan gejolak amarah yang tak tertahankan. Tangisannya semakin pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang telah memucat karena kelelahan.

"Kalian sungguh tidak punya perasaan! Kalian menghancurkan masa depan yang selama ini aku impikan!" lanjutnya, suaranya bergetar penuh kekecewaan dan luka.

Setelah puas meluapkan semua emosi yang mengendap di hatinya, Raya mengusap wajahnya dengan kasar. Dia menatap rumah tua yang selama ini menjadi saksi penderitaannya untuk terakhir kali. Pandangannya penuh kesedihan bercampur luka, seolah berharap ada keajaiban yang bisa mengubah semuanya. Namun, hanya keheningan dan bayangan rumah usang yang menjawab.

Dengan tubuh lemah dan langkah yang gontai, Raya berbalik, meninggalkan pekarangan rumah itu. Bayangan malam mulai menyelimuti, membuat suasana semakin kelam dan mencekam. Jalanan yang sunyi hanya diiringi suara angin yang berdesir pelan, seakan ikut merasakan kesedihan yang dia bawa.

Raya berjalan tanpa arah, membiarkan langkah kakinya mengikuti jalan setapak yang dingin dan berdebu. Gelap semakin pekat, hanya ada sinar redup lampu jalan yang terpasang berjauhan, seolah enggan memberikan penerangan sepenuhnya. Bau tanah basah sisa hujan siang tadi tercium samar, bercampur dengan aroma dedaunan yang lembap.

Hatinya terasa semakin berat, seperti tertindih oleh beban yang tak terlihat. Dia berbisik pelan di tengah malam yang sunyi, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin.

"Ya Tuhan... sekarang aku harus ke mana? Aku bahkan tak tahu harus melangkah ke mana." Air matanya kembali jatuh, membentuk jejak di pipi yang memucat.

"Ini semua... karena ulah pria sialan itu!" ucapnya dengan nada getir "Kenapa kau melakukan ini padaku, Kak? Kau membeli ku... seolah-olah aku adalah wanita murahan! Kau tega sekali! Apa aku ini tidak lebih dari sekadar barang bagimu?" lanjutnya, suara yang semakin melemah, hampir tak terdengar.

Udara malam semakin dingin, menusuk kulitnya yang hanya berbalut kain tipis. Di kejauhan, suara anjing menggonggong terdengar, menciptakan suasana semakin sunyi dan menyeramkan. Raya menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk. Namun, setiap tarikan napas hanya membuat sesaknya semakin terasa.

Ucapan ibu-ibu tadi terus terngiang di kepalanya, seperti jarum yang menusuk setiap inci hatinya. Rasa kecewa, marah, dan kesedihan bercampur menjadi satu. Tapi yang paling membuatnya sakit adalah kenyataan bahwa kedua orang tua yang seharusnya melindunginya justru menjadi sumber luka terdalam dalam hidupnya.

Berjalan tanpa arah dan tujuan, itulah yang dilakukan Raya saat ini. Langkahnya terasa berat, seiring dengan pikirannya yang terus berkecamuk. Ada keinginan untuk mencari keberadaan keluarganya, tetapi dia tak tahu harus mulai dari mana. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki hanyalah bahwa mereka pindah ke kampung sebelah. Namun, di mana tepatnya, dia sama sekali tak punya jawaban.

Dia tak memiliki uang sepeser pun, apalagi ponsel. Baru kini dia sadar bahwa ponselnya telah tertinggal entah di mana, mungkin di rumah, atau mungkin saat perjalanannya tadi. Kakinya yang lelah terus melangkah tanpa arah hingga akhirnya dia tiba di sebuah pos keamanan kecil yang tampak sepi.

Raya menepi di pos itu, menjatuhkan tubuhnya di bangku kayu yang sudah reyot. Bau cat usang dan debu tercium samar, menciptakan suasana muram yang seakan mencerminkan perasaannya. Napasnya tersengal, tubuhnya yang memang tak sehat sejak pagi tadi terasa semakin lemah. Dia memegang perutnya yang mulai perih karena kelaparan, tetapi rasa sakit di tubuhnya masih tak seberapa dibandingkan luka di hatinya.

Raya menunduk, menatap lantai semen yang dingin. Pikirannya melayang pada apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Semua barang-barang kuliahnya buku, pakaian, bahkan identitasnya masih tertinggal di rumah itu.

 Bagaimana dia bisa melanjutkan hari-harinya tanpa semua itu?

"Ini sangat menyakitkan, Tuhan! Hiks... hiks... Tidak bisakah Kau ambil saja nyawaku? Aku rela, Tuhan! Ambillah nyawaku sekarang juga. Atau... apa ini belum waktunya? Kalau begitu... bolehkah aku sendiri yang mengantarkannya?!" serunya tiba-tiba, air matanya jatuh deras tanpa henti. Tangisnya pecah, menggema di keheningan malam. Tangannya mencengkeram erat kepalanya, rambutnya kusut tak terurus.

"AKU TIDAK KUAT LAGI, TUHAN! Dunia ini sangatlah tidak adil padaku!" lanjutnya, suara tangisnya semakin keras, menggema di malam yang sunyi.

Raya bangkit dari duduknya, lalu mulai membenturkan kepalanya ke tembok di samping pos keamanan. Bunyi dentuman kecil terdengar setiap kali kepalanya menyentuh tembok dingin itu, seolah dia mencoba menyalurkan rasa sakit di hatinya melalui fisiknya. Tubuhnya yang lemah makin kehilangan keseimbangan, tetapi dia terus melakukannya.

Kepalanya terasa berdenyut nyeri, pandangannya mulai kabur. Namun, semua itu tak cukup mengalahkan rasa sakit yang bersarang di hatinya. Raya, yang selama ini dikenal kuat dan gigih, kini berada di titik rapuh yang terdalam. Dia merasa hancur, kosong, dan tak punya harapan lagi.

Setelah beberapa kali membenturkan kepalanya, Raya berhenti. Tubuhnya gemetar, dia bangkit dengan langkah sempoyongan, seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang bebannya. Dengan langkah perlahan, dia berjalan menuju jembatan yang ada di seberang pos keamanan itu. Cahaya lampu jalan yang redup menciptakan bayangan tubuhnya di atas aspal, menambah kesan muram dalam langkah-langkahnya.

"Aku lelah, Tuhan, aku lelah menunggu-Mu mengambil nyawaku. Aku sudah menyerah... aku tidak bisa melanjutkan hidupku lagi di dunia yang kejam ini. Izinkan aku sendiri yang mengantarkannya, Tuhan." ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam yang berhembus pelan.

Raya kini sudah berdiri di atas jembatan itu. Angin malam bertiup lebih kencang di sini, menyibakkan rambutnya yang berantakan. Di bawah jembatan, tanah kosong yang lebar rumput rumput terlihat masih menyimpan embun sisa hujan tadi siang . Dia menatap lurus ke jurang di bawah sana, matanya kosong tanpa emosi.

"Tolong maafkan aku, Tuhan... Maafkan aku yang menyerah secepat ini. Bukan karena aku tidak percaya pada-Mu, tapi aku sungguh tidak sanggup lagi..." ucap Raya dengan suara serak, tubuhnya bergetar hebat di bawah terpaan angin malam.

Dia berdiri di ujung pembatas jembatan, memandang ke bawah jurang yang gelap dan cukup berbatu. Dari atas, tanah di bawah terlihat curam, penuh bebatuan tajam dan semak belukar yang menyembunyikan kedalaman sebenarnya. Pikiran Raya semakin dipenuhi oleh kegelapan. Baginya, penderitaan ini sudah terlalu lama menjeratnya, dan hanya dengan mengakhiri segalanya dia merasa bisa lepas dari semua rasa sakit ini.

"Ibu... Ayah..." gumamnya lirih, sambil memejamkan mata. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.

"Aku pamit... Aku tahu kehadiranku tidak pernah kalian inginkan. Semoga... dengan aku pergi, kalian akhirnya bisa hidup tanpa merasa terbebani olehku lagi..."

Raya membuka kedua tangannya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk hingga ke tulang. Raya mengangkat satu kakinya, lalu yang lainnya, hingga kini dia berdiri di sisi terluar pembatas jembatan. Angin terasa semakin kencang, seolah mencoba menarik tubuhnya untuk jatuh ke bawah. Dengan mata tertutup, dia menarik napas panjang untuk terakhir kalinya, seolah mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah begitu kejam padanya selama ini.

"HEYYYYYYY..........!"

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!