Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ada yang Berubah
Pintu kaca Montgomery Corp terbuka otomatis seperti sudah terlatih menyambut orang-orang penting. Lorong marmer yang mengilap memantulkan cahaya pagi, dibingkai pot anthurium putih yang mewah.
Celine Mattea melangkah tanpa tergesa di antara karyawan yang lalu-lalang. Tumit stiletto-nya mengetuk marmer dengan ritmis, ritme seseorang yang sudah terbiasa menjadi pusat gravitasi ruangan. Rambut hitam kecoklatan jatuh lembut di bahu blazer kremnya. Wajahnya tersenyum, senyum tipis yang elegan. Sebuah gestur yang ia berikan ketika orang-orang melihatnya.
“Pagi, Bu Celine.”
“Selamat datang kembali, Bu.”
“Senang melihat Anda di sini.”
Setiap sapaan disambutnya dengan senyum yang persis sama. Ia tidak memperlambat langkah, tidak berhenti. Celine tahu tempatnya, dan Montgomery Group tahu siapa Celine Mattea bagi keluarga pemilik gedung ini.
Lift eksekutif membawanya naik ke lantai President Director. Begitu pintu terbuka, aroma citrus dan cedarwood langsung menyergap, langkah khas ruangan Sean Montgomery yang berusaha menyeimbangkan formalitas dan kenyamanan.
Tanpa mengetuk, Celine melangkah masuk. Sean Montgomery, dengan setelan abu-abu produksi terbatas tahun ini menegakkan tubuhnya saat melihat siapa yang datang. Senyum pria itu muncul lebih dulu,
“Celine, kau datang…”
Celine berjalan mendekat seperti seorang putri yang pulang ke istananya sendiri.
“Om Sean…” suaranya sedikit manja.
Ia memeluk Sean ringan, elegan dan spontan, tanpa sedikit pun kecanggungan. Sean tentu tidak keberatan dengan itu.
“Kau mencari Ethan?” tanyanya sambil melepaskan pelukan.
“Ya.” Celine tersenyum, matanya berkilat kecil, “aku ingin mengajaknya makan siang.”
Kerutan di pelipis Sean jelas terlihat saat mencoba menahan senyum. “Semoga dia tidak mengunci diri dengan laporan lagi.”
“Kalau Ethan melakukan itu,” Celine menjawab sambil memiringkan kepala, “maka tugasku adalah menariknya keluar, Om.” Nada itu bercanda tapi sorot matanya tidak.
Sean mengangguk ke arah ruangan di sebelah.
“Dia ada di dalam. Mood-nya… yah, standar Ethan.”
Celine melangkah ke pintu kaca buram itu, mengetuk dua kali meski ia tahu Ethan tidak pernah benar-benar menganggap mengetuk sebagai syarat.
Ethan Solomon Montgomery berdiri di depan jendela besar yang langsung menghadap seluruh kota. Jas hitam yang rapi, membalut kemeja putihnya tanpa satu kerutan pun. Siluetnya tegas dengan bahu lebar, postur tegap, dengan aura seseorang yang memimpin dunia sejak usia yang terlalu muda.
Tanpa menoleh, ia tahu siapa yang datang.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Celine tersenyum, ia sudah mendengar kalimat itu ribuan kali. “Mengajakmu makan siang,” jawabnya ringan. Ia mendekat dan berdiri di sisinya. “Aku butuh Ethan Montgomery dari dunia kerja untuk istirahat satu jam saja.”
Ethan mengusap pelipisnya sebentar, sebuah tanda bahwa ia sedang menimbang sesuatu.
“Celine aku…”
“Ethan…” potong Celine sambil menatap matanya, bibirnya sedikit mengerucut manja, mata bulatnya berkedip dua kali seperti kebiasaan lamanya.
Ethan mendesah kecil. “Kau selalu seperti ini.”
“Aku tahu,” jawab Celine penuh kepuasan. “Dan kau tidak pernah bisa menolak aku.”
Ethan tidak menyangkal kebenaran itu.
Celine menggandeng lengannya tanpa bertanya. Gerakan itu natural, dan terlalu sering terjadi untuk dipertanyakan. Ethan tidak melepaskannya, ia hanya menyesuaikan langkah gadis itu berjalan menuju pintu keluar.
“Hi, Celine.”
Tepat di lorong, mereka berpapasan dengan si kembar. Raga mengenakan kemeja hitam dengan rambut gelap tersisir rapi, sementara Rega tampil lebih santai; kemeja biru muda dengan lengan tergulung.
“Hi, Twins. Makan siang bersama?”
Raga menghela napas kecil namun tetap tersenyum. Pertanyaan nona muda ini bukan penawaran melainkan perintah.
“Baiklah, sepertinya tidak ada ruang untuk menolak.”
Mereka berjalan bersama menuju lift. Celine tetap menggandeng Ethan dan dua pria lain berjalan di sisi lain, formasi yang tidak pernah berubah selama dua puluh satu tahun.
Saat pintu lift tertutup, Celine memiringkan kepala memandang mereka bertiga.
"Aku baru ingat sesuatu," katanya tiba-tiba.
"Apa?" Rega bertanya sambil menekan tombol lift.
"Formasi seperti ini…" Celine tersenyum kecil, “mengingatkanku kembali ke hari dimana kita ingin melihat hasil USG Serena."
Raga tertawa pendek. “Astaga, itu hari yang kacau.”
Rega mengangguk sambil mengingat kenangan masa kecilnya, “Kita bertiga berebut posisi di depan monitor, seperti anak ayam berebut induk.”
“Dan aku tidak menyangka bayi di layar USG itu, kini sudah melanglang buana ke berbagai negara.” Celine menimpali.
Mereka semua tersenyum kecuali Ethan yang tetap diam tanpa ekspresi. Tak ada yang berubah dari mereka selain umur dan kekuasaan yang semakin bertambah.
Lift eksekutif bergerak turun dengan keheningan mahal, memantulkan refleksi empat orang yang berdiri rapat namun tetap menjaga jarak sesuai hierarki tak tertulis mereka: Ethan, Celine, Raga, dan Rega.
Saat lift mencapai lantai dua puluh delapan, lampu indikator berkedip. Seseorang dari luar menekan tombol turun.
Pintu bergeser membuka. Seorang gadis muncul dengan langkah kaki yang pelan dan ragu. Rambut hitamnya diikat rapi, riasannya nyaris tidak terlihat. Ia hanya mengenakan bedak tipis dan sedikit pewarna di bibir, namun cukup untuk membuatnya tampak terawat dalam kesederhanaan. Ia menunduk kecil sebelum melangkah masuk.
Rega hampir mengangkat tangan untuk menegur sebab lift ini khusus petinggi dan tamu dalam daftar terbatas, tetapi suara lain lebih dulu mendahuluinya.
“Kau anak baru?” suara Celine terdengar mengintimidasi.
Gadis itu tersentak kecil, lalu tersenyum gugup. “Benar, Bu.” jawabnya menunduk lebih dalam.
Celine meliriknya dari ujung kepala hingga ujung sepatu. “Angkat dagumu dan tatap lawan bicaramu saat sedang berbicara, Nona.”
Gadis itu buru-buru mengangkat wajahnya. Mata cokelatnya bergetar, ada binar ketakutan yang terlihat menyedihkan.
“Siapa namamu?” tanya Celine.
“C-Cantika, Bu.”
Celine mengangguk kecil, seakan menilai dan menyimpan nama itu.
“Halo, Cantika. Lift ini khusus untuk lantai tiga puluh enam. Tapi karena kau masih baru, kami akan memakluminya. Dan jangan meminta maaf, ok.” Nada Celine santai namun tegas.
Cantika mencoba tersenyum gugup. Tatapannya bertemu dengan Ethan tanpa sengaja. Pandangan lelaki itu begitu datar dan menekan.
“S-saya…” Ia mencoba berbicara, tetapi suaranya terputus oleh kegugupannya sendiri.
Celine mencondongkan sedikit tubuhnya, bibirnya tersenyum tipis.
“Hei… jangan takut. Kami tidak menggigit.”
Rega tertawa kecil, Raga mengikutinya dengan tawa singkat yang sekilas melonggarkan ketegangan.
Lift berbunyi lembut saat mencapai lantai lobby. Begitu pintu terbuka, Celine kembali menggenggam lengan Ethan dengan elegan, menariknya keluar dengan langkah ringan dan percaya diri. Namun sebelum benar-benar melangkah pergi ia berhenti, lalu berbalik.
“Cantika.”
Cantika menegang, telapak tangannya terasa gemetar. Ia menatap Celine seperti seseorang yang menunggu penilaian akhir.
Celine melepaskan genggamannya dari lengan Ethan.
“Percaya dirilah! Kau ada di sini untuk bekerja. Jangan terlalu memikirkan banyak hal yang akan membuatmu terbebani.”
Kata-kata itu tidak sepenuhnya lembut, tapi bak angin segar di kepala Cantika. Ia mengangguk kuat, lalu melangkah cepat ke lorong menuju kantin perusahaan.
Raga dan Rega tersenyum bangga seperti kakak melihat adik yang mengambil langkah dewasa. Mereka merangkul Celine dari kanan dan kiri, lalu berbalik pergi.
Ethan tertinggal beberapa langkah di belakang, pria itu masih berdiri di depan lift yang perlahan menutup kembali. Matanya tetap tertuju pada Cantika dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Ketika gadis itu menghilang di lorong, ia baru bergerak menyusul tiga orang yang sudah lebih dulu melangkah.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk
apa cantika ada sangkut pautnya dengan barlex 🤔