Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Ibu Tak Mau Melihatmu!
Situasi rumah sakit pagi ini mulai ramai dengan hiruk pikuk kegiatan seperti biasanya. Namun, dibalik keramaian Shanum terdiam terpaku di sudut ruang tunggu HCU. Ia menatap layar ponselnya.
“Sorry Sha, aku tidak bisa memenuhi janjiku sama kamu. Tapi, ya, mau bagaimana lagi, aku harus mematuhi apa kata orang tua dan kakakku. Jika, pernikahan itu bukan solusi yang terbaik buat kita berdua. Jujur saja aku juga belum siap untuk menikah, aku masih ingin hidup bebas, ingin menyelesaikan kuliah, dan menikmati hidup. Dan, masalah kandunganmu, mungkin sebaiknya kamu gugurkan saja mumpung usia kandunganmu masih sebulan. Untuk masalah uangnya, pastinya kemarin kakakku sudah berikan uang ganti rugi buatmu. Jika uangnya tidak cukup, nanti aku akan minta Kak Ervan memberikan uang. Aku juga mau bilang sama kamu, hubungan kita telah berakhir sampai di sini. Jangan cari aku.”
Hati Shanum terasa seperti diremas-remas saat membaca pesan wa dari Renaldi, salah satu tangannya sudah meremat ujung kaosnya. Andaikan orangnya ada di depan matanya mungkin ia akan meluapkan kemarahan dan kekecewaannya bertubi-tubi.
“Semudah itu kamu menyuruh aku menggugurkan kandungan. Semudah itu juga kamu mengelak dari tanggung jawabmu. Mana janji-janji manismu itu, Kak Ren! DASAR BRENGSEK, SEMOGA BURUNGMU MATI SURI DAN TAK AKAN PERNAH BANGUN!” caci maki Shanum dalam balasan pesan yang ia kirim pada Renaldi.
Tak lama ia menundukkan kepalanya dengan memegang erat ponsel ditangannya, kedua bahunya mulai bergetar hebat, menahan diri untuk tidak menangis di ruang tunggu. Batinnya merutuki dirinya sendiri, mengapa ia bisa sampai menyukai anak majikannya, yang jelas-jelas playboy.
“Bodoh ... bodoh!” gumamnya seorang diri.
“Sha, kamu kenapa?"
Usapan lembut membelai punggungnya, isak tangis mulai terdengar. Akhirnya gadis itu tak kuasa menahan semua kepedihan di hatinya.
“Shanum.” Suara Bik Ratih begitu lembut, lantas dipeluklah keponakannya.
“S-Shanum lelah, Bik.” Suara Shanum begitu lirih, ada sesak yang menghunjam hatinya.
“Sabar, Shanum. Kalau Shanum lelah ... beristirahatlah, kalau ingin menangis ... menangislah,” ucap Bik Ratih yang cukup bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh keponakannya. Shanum pun menumpahkan kesedihannya dalam pelukan bibinya, tak peduli orang memerhatikan. Yang terpenting saat ini ia harus membebaskan jiwanya yang sudah beberapa hari ini tersiksa.
Hampir 15 menit gadis itu menangis, di rasa sudah capek menangis dan cukup, ia menarik dirinya dari pelukan Bik Ratih.
“Minum dulu.” Bik Ratih menyodorkan botol air yang ia bawa.
Dengan mengusap ujung hidungnya yang mulai ikutan berair Shanum perlahan-lahan meneguk minumnya. Bik Ratih masih setia mengusap punggung gadis itu.
“Sebaiknya kamu pulang dulu, istirahat, sekalian kamu bisa tenangi diri di rumah yuk,” ajak Bik Ratih dengan tatapan pilunya.
Semalaman Shanum menginap di ruang tunggu, tidak pulang ke rumah. Bik Ratih pun baru datang tadi pagi mengantarkan makanan dan baju ganti untuk Shanum.
Shanum kembali menunduk seraya mengusap pipinya. “Sebenarnya Shanum malas pulang Bik, pasti tetangga udah pada gosipin Shanumkan? Apalagi yang namanya bu Betty, mulutnya pedas,” ungkap Shanum sangat pelan.
“Biarkan anjing menggonggong, kafilah berlalu. Terserah orang mau bilang kita apa, selama kita tidak pernah minta makan dan nyusahin tetangga.”
Maklum saja, Shanum tinggal di pemukiman padat penduduk. Yang apa-apa jadi bahan gunjingan, mau nikah di usia muda aja sudah digunjingkan hamil duluan, walau kenyataan memang benar.
Dari kejauhan, pintu ruang HCU sudah dibuka, keluarga pasien diperkenankan untuk kembali melihat kerabat atau saudaranya dari balik jendela. Hanya saja untuk masuk ke dalam ruang HCU hanya boleh satu orang, itu pun untuk membantu perawat menyuapi pasien.
“Temui Ibumu.” Ayah Aiman berkata dengan ketusnya, padangan matanya penuh dengan kekecewaan saat terpaksa menghampiri anaknya.
Shanum segera mengusap kembali pipinya, dan beranjak dari duduk. “Ya, Ayah.”
Degup jantung Shanum berdebar begitu cepat, langkahnya semakin cepat masuk ke dalam ruang HCU yang sudah dibukakan oleh perawat.
“Mbak-nya bisa sekalian suapi ibunya makan ya. Dan, tolong jangan bikin pasien banyak pikiran atau stres,” pinta perawat tersebut saat Shanum masuk.
“Baik Sus, terima kasih.”
Shanum sudah melihat sarapan buat ibunya diletakkannya di overbed table dekat ranjang. Pada saat itu Ibu Iffah menatap lesu kepadanya putrinya.
“Assalammualaikum, Bu,” sapa Shanum agak canggung.
Ia mendekat dan mencoba tersenyum, meski tatapan ibunya tampak tidak bersahabat.
“Shanum suapi Ibu makan ya,” ujar Shanum dengan suaranya begitu lembut seraya mengambil piring yang ada di overbed table.
Bu Iffah tidak menjawab, masih terdiam, namun pandangan matanya masih setia menatap putrinya.
Perlahan-lahan Shanum menyuapi ibunya makan tanpa berkata lagi, suasana rasanya semakin dingin di antara ibu dan anak. Hingga disuapan kelima bu Iffah berkata, “Ibu menyesal telah melahirkanmu! Ibu tak ingin melihatmu lagi, kamu sudah bikin Ibu malu dan menderita seperti ini. Karena kamu ... Ibu sakit.” Suaranya terdengar pelan namun mampu menyayat hati Shanum.
Lagi dan lagi, Shanum bertubi-tubi disalahkan. Gadis itu meletakkan sendok yang ia pegang ke atas piring, matanya kembali berkaca-kaca. Sebelum kejadian kemarin, Ibu Iffah memang sudah sangat marah besar, bahkan tak segan memukul tubuh anaknya sendiri dengan gagang sapu.
Gadis itu menerimanya, ia akui kesalahan dan kekhilafannya. Tapi, apakah ia harus menerima kemarahan orang tuanya bertubi-tubi tanpa pengampunan. Sementara ia sudah amat menyesalinya dan bertobat.
“Shanum minta maaf, Bu,” ucap Shanum pelan, pandangan matanya menunduk, menatap tangan ibunya.
“Tidak ada maaf buatmu, Shanum. Ibu tidak ingin melihatmu! Keluarlah kamu dari rumah ibu dan ayah, jangan pernah tinggal di sana,” balas Bu Iffah pelan, sarat penuh kebencian.
Shanum mengatup bibirnya yang mulai bergetar, kemudian menaruh piring ke atas overbed table. Mengingat ibunya belum terlalu pulih, ia memilih untuk diam dan tidak beradu mulut.
“Pergilah, kamu bukan anak ibu lagi.”
Air mata Shanum meluncur bebas, ia kembali menatap ibunya, dan berusaha untuk tersenyum.
“Maafin Shanum sekali lagi, Bu. Shanum sudah buat Ibu dan Ayah kecewa. Semoga Ibu cepat sehat, Shanum pergi, Bu,” ucap Shanum, suaranya agak bergetar. Ia lantas menyentuh tangan ibunya, dan mencium punggung tangan ibunya.
“Maafin Shanum.”
***
Benar dugaan Shanum, begitu ia baru saja tiba di gang rumahnya. Beberapa tetangga tampak menatap sinis padanya. Ia mencoba untuk mengabaikannya tapi tetap saja bikin ia semakin sakit hatinya.
“Sabar Shanum, cuekin saja Bik,” pinta Bik Ratih seraya mengusap bahu keponakannya saat bersama-sama jalan menuju rumah.
“Iya, Bik. Eh ... Bibi udah dapat info kontrakannya, ‘kan? Ibu dan ayah udah nggak memperbolehkan Shanum tinggal di rumah. Jadi Shanum pulang hanya buat ambil barang-barang saja.”
Bik Ratih mendesah kecewa, sikap kakaknya benar-benar keterlaluan. Seharusnya se-kecewa apa pun, anak harusnya tetap dirangkul bukannya diusir.
“Kamu tinggal di rumah Bibi dulu beberapa hari ini, soalnya tadi Tia belum jawab pesan Bibi.”
Shanum mengangguk, setidaknya ia ada tempat sementara untuk berteduh sebelum menemukan rumah kontrakan atau kost'an yang cocok untuknya.
Sementara itu, di rumah sakit, Ervan ditemani Ikhsan datang untuk mengecek keadaan istri sopir keluarganya tersebut. Dan, pada saat berbicara dengan Ayah Aiman, matanya mencari seseorang.
Bersambung .... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬