Baru menginjak kelas 12, ada saja hal yang membuat Syanza harus menghadapi Pangeran, si ketua Savero.
Ketua apanya coba, tengil gitu.
"Lo pikir, lo kodok bisa berubah jadi pangeran beneran, hah??" Ketus Syanza.
"Emang gue pangeran," balas Pangeran angkuh.
"Nama doang, kelakuan kayak setan!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cipaaiinee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Syanza terperanjat saat pintu itu ditutup kencang oleh Pangeran. Sebenarnya, ia sedikit waspada dengan apa yang akan Pangeran lakukan.
Pangeran menoleh dan menatap lekat gadis yang berada seruangan dengannya. Ia mendekati Syanza, dan otomatis Syanza memundurkan langkahnya. Sampai di mana ia terkurung oleh badan tegap nan gagah Pangeran.
Merasa bahaya akan menimpanya, Syanza celingak celinguk dan keluar dari kukungan Pangeran. "Obat lukanya mana?" tanya Syanza sembari berdeham menetralkan rasa gugupnya.
Lelaki itu mengulum bibirnya dengan seringai yang penuh arti. Kemudia menunjuk lemari kecil berwarna putih. "Laci kedua," ucapnya.
Syanza mengangguk, dan tergesa-gesa mengambil alat dan bahan untuk mengobati luka Pangeran. Ia sedikit terpaku pada ruangan yang katanya ruangan khusus ini. Berbeda dengan ruang utama, di sini lebih nyaman, wangi, dan juga bersih.
Aroma segar yang terasa familiar di hidungnya begitu menyeruak. Sebentar, Syanza teringat dengan bau rubuh Pangeran. Benar, ini memang khas aroma lelaki itu. Perpaduan bau sandalwood dan musk, membuatnya terasa tenang dan juga hangat.
"Sya?" Pangeran terheran pada Syanza yang diam saja di depan lemari kecil itu.
"Ah? I-iya bentar." Buru-buru Syanza mengambil kotak p3k itu, kemudian ia menghampiri Pangeran yang telah duduk di tepi tempat tidur.
"Duduk, astaga," jengah Pangeran melihat gadis itu malah diam berdiri saja.
Syanza mengangguk kikuk. Ia duduk sembari menyerong ke arah Pangeran. Lelaki itu dengan pahamnya langsung mengulurkan tangannya yang terluka.
Dengan telaten, Syanza mulai membersihkan terlebih dahulu lukanya. Jujur saja, ia merinding melihat darah yang telah mulai mengering itu. Namun, Syanza mencoba menahannya.
Pangeran sibuk memerhatikan gadis di depannya. Tangan Syanza begitu hati-hati, mulutnya sedikit maju meniup-niup lukanya. Sungguh menggemaskan, pikirnya.
Beberap menit berlalu, lengan Pangeran telah berbalut perban. Syanza mempertahankan kesadarannya. Ia merasa pusing dan juga mual.
"Kenapa? Hey?"
"Ha-hah?" Pandangan Syanza tampak kabur, wajah Pangeran tidak terlihat jelas.
Lelaki itu memegang kedua lengan Syanza, berusaha memanggil-manggil gadis itu. "Sya. Sayang? Kenapa, hey?"
Tangan Syanza terangkat memegang siku lengan Pangeran. Ia menggunakannya sebagai pembantu dari dirinya yang mulai terhuyung.
Dengan sigap, Pangeran merubah posisinya menjadi sandaran kekasihnya. Parasnya terlihat panik ketika melihat wajah Syanza yang begitu pucat.
"Sakit, hm?" tanya Pangeran sembari mengecek suhu dari kening Syanza menggunakan telapak tangannya.
"Hue- hmph!"
Tubuh Syanza menegang, kedua telapak tangan menutupi mulutnya, pipinya mengembung, dan menoleh dengan mata yang membulat pada Pangeran.
Lelaki itu tak kalah terkejutnya. Tanpa aba-aba, Pangeran menggendong Syanza dan membawanya ke toilet yang sudah ada di ruangan itu.
Perlahan Pangeran menurunkan Syanza tepat di depan pintu toilet, dan membukakannya.
"Gue tunggu di sini," ujar Pangeran mendorong pelan punggung gadis itu untuk segera masuk.
"Fiuh..." Sudah lama rasanya Pangeran tidak merasa tegang yang seperti ini, dan yang membuatnya adalah kekasihnya sendiri.Bagaimana tidak, wajah pucat, mata bergetar, dan pipi yang mengembung membuatnya panik takut terjadi apa-apa pada Syanza.
Sembari menunggu Syanza, Pangeran menyandarkan tubuhnya di sebelah pintu yang terbuka sedikit, tangannya mengetuk-ngetuk dagunya.
"Masa dia bunting? Perasaan gue gak ngelakuin itu."
Pangeran tetaplah Pangeran. Setegang apa pun, pikiran santai dan sedikit abnormalnya selalu terlintas.
"Altar...!"
Spontan tubuhnya menegap kembali, dan melihat ke arah pintu.
"Gue di sini," jawab Pangeran menghadap pintu.
"Bantuin," lirih Syanza di dalam sana.
Brak
Pintu yang tidak tertutup sempurna saja sampai didobrak kencang, memang tenaga seorang pria.
Syanza menatap horor lelaki itu dengan raut wajah yang kacau. Tidak bisakah pelan-pelan saja tanpa membuatnya terkejut.
"Calm down, please," cakap Syanza memegang pinggir wastafel.
"Lo gak papa?" tanya Pangeran memegang pundak gadis itu.
Syanza menggeleng, kepalanya terasa pusing. Apalagi warna darah pekat dari lengan Pangeran yang telah ia bersihkan masih membuatnga mual.
"Kenapa gak bilang kalau lo gak suka lihat darah," lontar Pangeran seraya menyelipkan anak rambut Syanza yang berantakan.
"Gue kira gak bakal gini," balas Syanza. Kejadian di tempat balap pun tidak membuatnya terpaku pada darah saking paniknya, tetapi ketika mengobati langsung merasa enek.
Pluk
Syanza menempelkan dahinya pada dada Pangeran, matanya menutup sembari menahan perut atasnya yang mendidih.
Tangan Pangeran terangkat mengelus surai hitam Syanza. Separah ini ternyata kekasihnya.
Melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 7 malam. Pangeran menghela napas lelah.
"Tadi makan gak?"
Pertanyaan Pangeran mendapat gelengan dari Syanza.
"Pantesan."
Syanza menarik dirinya dan mendongak menatap Pangeran yang tampak sadrah padanya.
"Gue 'kan mau makan di tempat baru itu, tapi lo malah marahin gue dan milih balapan," cicit Syanza menunduk, jari tangannya terlihat resah.
"Astaga," jengah Pangeran meraup wajahnya kasar. Ia menatap Syanza lekat. "Istirahat. Gue beli makan sama obat dulu," ucapnya kemudian berjalan keluar.
Syanza melihat kepergian Pangeran yang sangat tiba-tiba. Padahal niat hati dirinya ingin dibantu sampai duduk di tempat tidur karena di kamar ini tidak ada sofa atau kursi.
"Hah... Puyeng sialan," umpatnya. Syanza berjalan keluar dengan bantuan menyentuh tembok, karena kepalanya berat sekali, pandangannya juga tidak stabil.
Dirinya memilih menurut saja untuk istirahat. Menaiki tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Akhirnya, rasa berat di kepalanya sedikit berkurang dan juga raganya bisa rileks.
***
"Lho? Mau ke mana, Bos?" tanya Cakra melihat Pangeran yang memakai jaket kembali.
"Keluar," jawab Pangeran.
Mereka semua heran dengan respons Pangeran yang berbeda. Tampaknya ketuanya sangat lelah namun ada hal lain yang harus diselesaikan.
"Kaki lo aman?"
Pangeran meleret Zergan, lalu mengangguk. Bohong sebenarnya, Pangeran hanya berusaha terlihat baik-baik saja.
"Babang Arjuna is back, everybody!" seru Arjuna dengan seseorang di belakangnya. "Lah lah? Pasiennya mau ke mana? Ini tukang urutnya udah gue bawa," sambung Arjuna melihat penampilan Pangeran.
"Suruh tunggu. Gue mau beli sesuatu."
"Biar gue aja. Sekalian mau beli makan," sahut Jarrel. "Lo semua pada list aja di grup," imbuhnya.
"Widih! Boleh tuh."
"Auto list."
"Gratis?"
Cakra melempar cangkang kacang tanah pada salah satu anggota Savero. "Mau gratisan mulu hidup lo."
"Biar hemat, bro," sahutnya.
"Bareng, Jar," timpal Zergan menyambar jaket yang ia sampaikan di sandaran sofa. "Urus dulu kaki lo sebelum parah," sambungnya pada Pangeran.
Pangeran menghela napas, baiklah. Ia mengalah lagi dari pada di ceramahi oleh waketunya.
"Oke. Gue titip kompresan demam, sama bubur kalau ada. Kalau enggak ada, samain aja," ujar Pangeran.
Mendengar kata demam, lantas tatapan bingung menyerangnya.
"Cewek gue pusing sama mual. Oh, satu lagi obat pereda mual," ucap Pangeran datar.
Arjuna menghampiri Pangeran dan mengangkat kerah baju ketuanya.
"Lo buntingin cewek kita, hah?!"
Plak
Pangeran menampar Arjuna. Enak saja kekasihnya di klaim jadi cewek kita.
"She's mine," tegas Pangeran.
Zergan menarik bahu Arjuna untuk mundur. "Jangan sembrono," cakapnya.
Pangeran melihat sekeliling. "Dia phobia darah, mangkanya dia pusing dan mual," jelas Pangeran menjawab kebingungan mereka.
Seorang lelaki paruh baya tidak mengerti dengan semua adegan yang ia saksikan.
"Pak, urutnya di sana aja," ujar Pangeran menunjuk karpet bulu di pojok yang tidak terlalu terlihat oleh anggotanya. "Berangkat sana, gue laper," imbuhnya pada Zergan. Sedangkan, Jarrel telah keluar dan menyalakan motor.
"Boleh, den," jawabnya mengikuti Pangeran.
Zergan menepuk Arjuna, lelaki itu masih terdiam setelah kena tampar oleh Pangeran.
"Sekarang dia di mana?" tanya Arjuna.
"Kamar," balas Zergan, kemudian pergi menyusul Jarrel.
"Shutt shut!"
Arjuna mendengar desisan, dan melihat siapa pelakunya.
"Sini, nyet. Ngapain ngelamun segala. Gak cocok di muka lo," lontar Cakra mendapat gelakan tawa dari yang lainnya.
Aneh jika dilihat seorang Arjuna mencerna kejadian, karena biasanya lelaki itu santai saja. Malah selalu membuat kesalahpahaman, tetapi sekarang otaknya sedikit benar karena ditempeleng Pangeran.
"Sialan lo," umpat Arjuna duduk membelakangi Cakra, ia menjadikan paha Cakra sebagai bantalnya, dan meluruskan kakinya ke atas lengan sofa.
Cakra yang melihat apa yang dilakukan Arjuna pun menatapnya jengah. "Ngapain si lo, njing. Masih banyak bantal dan lo bisa baring tuh di karpet," ucapnya sembari menunjuk karpet yang masih kosong.
Station Savero memang luas karena semacam rumah. Hanya ada satu kamar dan satu gudang, dapur pun tersedia beserta kamar mandinya.
"Nyaman kali paha lo," ucap lelaki yang bernama Ziko.
"Senyamannya paha gue, lebih cocok dan ikhlas buat cewek gue," lontar Cakra.
"Bacot, gue mau tidur. Nunggu makan masih lama," sewot Arjuna dengan mata yang tertutup dan kedua tangan yang menyilang di atas dadanya.
"ANJING! PAK, JANGAN DI TEKAN BANGET NAPA!"
Teriakan itu menjadi pusat perhatian dan terlihat sang ketua sedang meringis kesakitan dan menjerit-jerit.
Arjuna yang baru merasa tenang pun dibuat kesal oleh Cakra yang tidak bisa diam.
"Aman, aman. Pas diurut malah heboh," ucap Cakra.
"Btw, si Syanza lagi tidurkah?" tanga Arjuna.
Cakra menunduk melihat Arjuna yang bertanya tapi matanya enggan melek. "Kayaknya."
"Gue susul sabi kali."
Plak
"Jangan cari mati, kasihan lo masih perjaka," ucap Cakra setelah menampol kepala Arjuna.