NovelToon NovelToon
Alena: My Beloved Vampire

Alena: My Beloved Vampire

Status: tamat
Genre:Tamat / Romansa Fantasi / Vampir / Romansa
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Syafar JJY

Alena: My Beloved Vampire

Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.

Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Aku Akan Melindungimu

Chapter 16: Pertandingan Basket

Pada sore hari, Alberd mengajak Alena menonton pertandingan basket di kampusnya.

Mereka pergi berdua menggunakan mobil. Alena duduk di kursi sebelah Alberd yang sedang menyetir. Sesekali Alena melihat ke luar jendela sambil menggulir ponselnya.

“Alberd, kamu akan bermain basket? Aku sudah pernah menonton olahraga ini di video ponselku, tapi rasanya lebih seru jika melihat langsung,” ucap Alena dengan antusias, matanya tetap terpaku pada layar ponsel.

"Dulu sebelum aku tersegel, olahraga ini hampir tak pernah ada yang membahas apalagi memainkannya" tambahnya.

Alberd melirik Alena sejenak sambil tetap fokus menyetir. “Basket diciptakan pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1891. Jadi wajar saja kalau di masamu olahraga ini belum begitu populer.”

“Kamu ternyata cukup cerdas, bahkan sampai tahu tahun spesifiknya,” balas Alena sambil tersenyum kecil.

Alberd tersenyum bangga lalu menunjuk jersey yang ia kenakan. “Hari ini aku akan menunjukkan kehebatanku. Kekasihmu ini akan membuatmu kagum!”

Alena tertawa kecil. “Aku tidak sabar melihatnya.”

Setibanya di lapangan basket, dalam gedung olahraga dekat kampus, suasana sudah ramai.

Puluhan penonton duduk di tribun kecil, sebagian lagi berdiri di tepi lapangan, bersorak-sorai menyemangati tim favorit mereka.

“Alena, kamu duduk saja di sini dulu,” ucap Alberd sambil menunjukkan bangku kosong di barisan depan tribun. Dia meraih tangan Alena sejenak. “Aku akan bertanding sebentar lagi, tapi jangan kemana-mana, ya?”

Alena mengangguk dengan senyum lembut. “Baiklah, aku akan menunggu di sini.”

Setelah memastikan Alena duduk nyaman, Alberd bergegas menuju lapangan. Ia bergabung dengan rekan-rekan satu timnya yang sudah siap. Dari kejauhan, Alena bisa melihat Alberd berbincang sambil tersenyum percaya diri.

Pertandingan dimulai, dan lapangan mendadak penuh semangat.

Para penonton berdiri, meneriakkan dukungan mereka untuk tim masing-masing. Suara sepatu yang berdecit di lantai, dentuman bola basket yang memantul, serta sorakan yang menggema memenuhi udara.

Alena ikut berdiri di tengah kerumunan, matanya tertuju pada Alberd yang bergerak lincah di lapangan.

“Alberd, semangat!” seru Alena tanpa sadar. Suaranya yang jernih langsung menarik perhatian beberapa penonton di sekitarnya.

Sejumlah pasang mata menoleh ke arahnya, membuat Alena sedikit salah tingkah. “Ah, maaf,” ucapnya sambil tersenyum canggung.

Namun, antusiasme Alena tak berkurang. Dia menyaksikan Alberd melakukan berbagai trik, menggiring bola dengan cepat, dan mencetak skor berturut-turut. Sesekali Alena bertepuk tangan, matanya berbinar-binar penuh kebanggaan.

Pertandingan berakhir dengan kemenangan tim Alberd.

Nama Alberd dielu-elukan sebagai pemain terbaik hari itu. Usai bersalaman dengan tim lawan, Alberd melambaikan tangan ke arah Alena, lalu berlari kecil menghampirinya.

“Bagaimana, keren, kan?” tanyanya, napasnya masih tersengal. Keringat mengalir di pelipisnya.

Alena mengeluarkan botol air mineral yang sedari tadi ia pegang, lalu menyodorkannya kepada Alberd. “Pertandingan yang hebat, kamu luar biasa,” ucapnya sambil tersenyum bangga.

Tanpa ragu, Alena mengeluarkan saputangan kecil dari tasnya dan mulai menyeka keringat di wajah Alberd.

Sorakan kecil terdengar dari arah penonton. Beberapa wanita berteriak, “Huuu~ siapa itu?!” dan “Pacarnya Alberd?! Wah, patah hati nih!”

Alena hanya tersenyum menanggapi suara-suara itu, sementara Alberd tampak sedikit salah tingkah. Dia meraih tangan Alena, menggenggamnya erat. “Ayo, kita keluar. Di sini terlalu ramai.” ucap Alberd sambil meminum air.

Mereka berjalan pelan menuju taman yang tak jauh dari gor basket.

Chapter 17: Rahasia Alberd

Udara sore terasa sejuk, dan cahaya matahari yang mulai redup memberikan kehangatan.

Namun tiba-tiba, botol air yang dipegang Alberd terjatuh ke tanah.

Air mengalir keluar dari dalam botol yang tergeletak ditanah. Tubuh Alberd membungkuk, tangan kanannya memegangi dadanya tepat diposisi jantung dengan wajah meringis.

“Ah... dadaku sakit lagi...” rintih Alberd pelan.

“Alberd!” Alena segera mendekat, kedua tangannya menopang tubuh Alberd dengan khawatir. “Kenapa? Dadamu sakit lagi? Sebenarnya apa yang terjadi?”

Alberd mengangguk lemah. “Aku akan menceritakannya... tapi tolong bantu aku ke sana dulu,” ucapnya sambil menunjuk sebuah pohon rindang di tepi taman.

Dengan hati-hati, Alena memapah Alberd menuju pohon tersebut. Mereka duduk di bawah naungannya, sementara Alena terus memegang lengan Alberd, dengan wajah gelisah.

“Alberd, tolong jangan sembunyikan ini dariku lagi. Aku harus tahu,” ucap Alena dengan nada penuh kekhawatiran.

Alberd menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap Alena, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Aku... akan memberitahumu semuanya, Alena. Ini bukan hanya tentangku, tapi juga tentang kita.”

Tubuh Alberd yang lelah bersandar ke batang pohon, lalu tiba-tiba ia membaringkan kepalanya di pangkuan Alena.

“Ah... begini rasanya lebih baik,” ucap Alberd pelan, matanya terpejam sejenak.

Alena menatap wajahnya dengan cemas, tapi sorot matanya juga dipenuhi kasih sayang. Dengan lembut, ia mulai membelai rambut Alberd.

“Baiklah,” ucap Alena akhirnya, “bisakah sekarang kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?”

Alberd membuka matanya perlahan, menatap Alena dengan tatapan yang bercampur rasa lelah dan berat hati. Dia menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.

“Semuanya bermula di dalam gua tempatmu tersegel,” Alberd memulai, suaranya sedikit bergetar. “Aku terluka sangat parah saat itu. Luka tembak di punggungku membuatku hampir kehilangan kesadaran. Aku terjatuh di atas batu besar yang ada di sana, tak mampu lagi berdiri. Yang bisa kulakukan hanyalah berbaring di atas batu itu sambil menatap langit-langit gua yang gelap.”

Alena mendengarkan dengan saksama, satu tangannya menggenggam erat tangan Alberd, memberi dukungan tanpa kata.

“Tak lama setelah itu, sesuatu yang aneh terjadi,” lanjut Alberd. “Batu tempatku berbaring tiba-tiba retak, dan dari dalamnya keluar cahaya emas yang sangat terang. Cahaya itu menyelimuti tubuhku, terasa seperti menembus setiap pori-pori kulitku, masuk ke aliran darahku... dan langsung ke jantungku. Rasanya menyakitkan sekali, seperti tubuhku dihantam badai energi. Setelah itu aku tak sadarkan diri.”

Alena terus membelai rambut Alberd, mencoba menenangkan kekasihnya yang tampak terguncang saat mengenang pengalaman itu.

“Ketika aku terbangun keesokan harinya,” Alberd melanjutkan, “semua luka di tubuhku telah sembuh. Bahkan luka tembak di punggungku menghilang tanpa bekas. Tapi... yang aneh, batu itu retak di mana-mana, dan tak ada sedikit pun noda darah di atasnya. Awalnya aku berpikir mungkin itu batu suci yang memiliki kekuatan mistis. Tapi sekarang, mendengar penjelasanmu sebelumnya, aku mulai yakin batu itu memiliki hubungan denganmu.” ucap Alberd sambil menatap mata kekasihnya itu.

Alena tersenyum tipis, menguatkan Alberd. “Kamu benar, Alberd. Batu itu memang bukan batu biasa.”

Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Itu sebenarnya adalah sebuah relik kuno, milik keluargaku. Namanya Agnovern. Relik itu berbentuk kalung liontin dengan motif taring dan batu lunar kuning di tengahnya. Ketika aku memutuskan untuk menyegel diriku melalui mimpi, relik itu melebur menjadi cahaya emas yang menyelimutiku. Cahaya itu kemudian memadat menjadi batu besar. Aku tersegel di dalamnya selama seratus tahun... sampai akhirnya kamu datang dan tanpa sadar memecah segelnya.”

Alena lalu melanjutkan..

"Hal ini menjelaskan mengapa saat aku terbangun, aku tak menemukan apapun disekitarku. Relik itu sudah tidak ada, bahkan tak ada pecahan batu. Saat kupikirkan lagi sekarang, mungkin untuk menyembuhkanmu, relik itu melebur ke dalam tubuhmu. Lalu batu yang menyegelku mungkin melebur ke udara karena kehilangan energi penopang. Energi itu menyembuhkanmu, tapi karena kamu adalah manusia biasa, tubuhmu belum bisa beradaptasi dengan energi itu dan mengalami kontradiksi yang menyebabkan rasa sakit di dadamu, juga tubuhmu yang terasa panas." Sambung Alena.

Alberd terdiam, mencerna informasi itu. “Jadi... relik itu yang menyelamatkanku. Tapi kalau begitu, aku juga telah membuat relik itu hilang...” ucapnya, nada suaranya dipenuhi rasa bersalah. “Harta keluargamu... lenyap karena aku...”

“Tidak, Alberd.” Alena segera membalas, tangannya membelai wajah Alberd dengan lembut. “Aku yakin semua ini bukan kesalahanmu. Relik itu melebur ke dalam tubuhmu untuk tujuan yang lebih besar. Keluargaku adalah keturunan peramal, ramalan mereka tak pernah sekalipun meleset, mereka telah meramalkan kehancuran klan Shevani jauh sebelum perang besar terjadi. Relik itu mungkin memang telah ditakdirkan untuk menyelamatkanmu, karena kamu adalah orang yang disebut dalam ramalan, orang yang akan membebaskanku dari segel.”

“Ramalan itu benar-benar mengatakan tentangku?” Alberd menatap Alena, matanya dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus keterkejutan.

Alena mengangguk. “Iya, leluhurku mengatakan bahwa aku harus membantu orang yang ditakdirkan membuka segel itu. Tapi ramalan mereka tidak bisa menjelaskan apa yang akan terjadi setelah itu. Yang mereka tahu hanyalah bahwa kamu adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar.”

"Jadi begitu, aku mulai paham sekarang." balas Alberd.

Alena merenung sejenak, lalu berkata,

"Ini hanya spekulasiku, tapi kemungkinan apa yang dimaksud dengan 'yang ditakdirkan' adalah sesuatu yang lebih dari sekedar membuka segel. Dan ini menjelaskan alasan mengapa relik itu melebur ke dalam tubuhmu. Mungkin kamu adalah orang yang akan mengubah takdir banyak orang." pungkas Alena.

"Tapi leluhurku tidak mampu meramal lebih jauh tentang itu, mereka hanya bisa meramalkan kehancuran klan dan juga tentang dirimu yang akan memecah segel. Apa yang akan terjadi setelahnya adalah rahasia langit, dan apa yang akan kamu jalani kedepannya mungkin akan berat dan penuh bahaya."

Alberd kembali terdiam, merenungkan kata-kata Alena. Setelah beberapa saat, dia bertanya, “Kalau begitu, mungkinkah energi relik itu akan memberiku kekuatan suatu hari nanti? Aku ingin memiliki kekuatan... agar aku bisa melindungimu, keluargaku, dan semua orang yang aku sayangi.”

Alena tersenyum lembut, matanya menatap Alberd penuh keyakinan. “Mungkin saja. Tapi kamu harus ingat, Alberd, kekuatan besar selalu datang dengan tanggung jawab yang besar pula. Jika suatu hari nanti kamu benar-benar membangkitkan kekuatan itu, maka tanggung jawabmu bukan hanya untukku atau keluargamu. Kamu harus melindungi semua orang yang membutuhkanmu.”

Alberd menatap Alena dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku akan mengingat kata-katamu, Alena.”

Alena tersenyum lalu berkata,

"Apapun yang akan terjadi nantinya, seberat apapun, seberbahaya apapun itu, kita akan hadapi semuanya bersama, aku akan selalu menemanimu. Takdir apapun yang menunggu kita kedepannya."

Mereka terdiam sejenak, hanya suara angin yang berhembus di antara mereka. Alena terus membelai kepala Alberd, sementara Alberd merasakan ketenangan setelah mendengar ucapan terakhir Alena, dia pun perlahan memejamkan mata.

Chapter 18: Alena Yang Gelisah

Sementara itu, Alena menatap langit senja yang mulai meredup. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, memancarkan warna oranye keemasan yang berpadu dengan semburat ungu dan merah di cakrawala. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma dedaunan dan kesejukan yang menenangkan, namun pikirannya tetap dipenuhi kegelisahan.

Dia bergumam dalam hati, "Serangan pemburu vampir waktu itu tidak sesederhana kelihatannya. Aku sengaja membiarkannya hidup untuk mencari tahu alasan di balik keberaniannya melawan seorang vampir murni sepertiku. Tidak mungkin dia bertindak sendirian... pasti ada kekuatan besar yang mendukungnya."

Alena menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Tindakanku ini memang penuh resiko. Tapi jika aku bisa memancing dan membongkar siapa yang berada di balik layar, aku mungkin bisa menyingkirkan ancaman yang jauh lebih besar di masa depan."

Matanya kembali menatap ke arah langit, yang kini perlahan berganti warna menjadi biru kelam. "Mungkinkah ini adalah ulah organisasi pemburu vampir? Kalau memang benar... situasinya akan menjadi sangat berbahaya, bukan hanya untukku, tapi juga untuk Alberd dan keluarganya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku harus lebih berhati-hati."

Tatapannya beralih ke Alberd yang tertidur di pangkuannya, napasnya perlahan terdengar lebih tenang. Cahaya senja terakhir memantul lembut di wajah Alberd, memberikan kesan damai di tengah bayang bayang ancaman yang mengintai. Alena menggenggam tangan Alberd dengan lembut.

"Aku akan melindungimu, Alberd. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu atau keluargamu terluka karena ini."

Hampir dua jam berlalu.

Alberd yang tertidur di pangkuan Alena perlahan membuka matanya. Pandangannya bertemu dengan wajah lembut Alena yang tampak menatapnya dengan kehangatan.

"Alena, berapa lama aku tidur?" tanya Alberd, suaranya masih terdengar serak setelah bangun.

"Sekitar dua jam," balas Alena singkat sambil tersenyum.

Alberd bangkit perlahan dari pangkuan Alena dan duduk di sampingnya. Dia menatap Alena dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Aku tertidur cukup lama, dan kamu terus menjagaku. Pahamu pasti keram karena aku. Maafkan aku, Alena."

Alena hanya tersenyum lembut.

"Aku baik-baik saja, Alberd. Kamu terlalu meremehkan vampir sepertiku."

Alberd tertawa kecil, sedikit malu, lalu berdiri sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Alena bangun.

"Terima kasih, Alena. Ngomong-ngomong, aku baru sadar sesuatu... Sejak kejadian di gua itu, aku tidak pernah digigit nyamuk lagi. Padahal dulu mereka selalu menyerangku. Dan sepertinya, nyamuk juga tidak berani mendekatimu."

Alena tertawa kecil sambil meraih tangannya.

"Mungkin energi relik yang ada di tubuhmu membuat makhluk kecil seperti mereka takut mendekatimu. Sedangkan untukku... memangnya ada nyamuk yang berani menggigit vampir?"

Mereka berdua tertawa ringan, suasana mulai terasa santai. Alberd menggenggam tangan Alena dengan erat dan menatapnya.

"Oh ya, Alena, aku ingin mengajakmu makan malam sebelum kita pulang ke apartemen. Bagaimana?"

Alena mengangguk setuju.

"Baiklah. Ayo kita pergi."

Mereka berjalan menuju mobil Alberd, Alberd mengganti pakaiannya didalam mobil, lalu mereka bergegas pergi.

Chapter 19: Makan Malam Romantis

Setibanya di restoran, Alberd memesan ruangan VIP. Mereka diantar oleh pelayan menuju balkon di lantai tiga, tempat meja makan telah dihias dengan sangat romantis. Di tengah meja, sebuah candle holder yang elegan dengan lilin yang menyala lembut menjadi pusat perhatian. Cahaya lampu-lampu kecil berwarna-warni yang menggantung di sekeliling balkon menciptakan suasana hangat dan intim.

Alberd menarik kursi untuk Alena dengan penuh perhatian.

"Silakan duduk, Tuan Puteri," katanya dengan nada menggoda.

Alena tersenyum, menatap Alberd sejenak sebelum duduk.

"Tempat ini sangat indah... pasti sangat mahal," ucapnya pelan.

Alberd hanya tertawa kecil.

"Itu bukan masalah. Bahkan jika kamu meminta bulan, aku akan mengambilkannya untukmu."

Alena tertawa mendengar jawaban itu.

"Bulan itu tinggi, Alberd. Kamu yakin bisa mengambilnya?"

"Maksudku... aku akan mengambilkan kue bulan untukmu," balas Alberd cepat, lalu bergumam dalam hati, "Semoga dia tidak tahu aku takut ketinggian."

Tak lama kemudian, dua pelayan masuk membawa makanan yang telah dipesan. Lobster besar berwarna kemerahan, steak yang masih berasap, dan dua gelas kopi caramel disusun rapi di atas meja.

"Silakan, Tuan dan Nyonya," kata salah satu pelayan dengan sopan sebelum meninggalkan ruangan.

Alena memandangi hidangan di meja dengan takjub.

"Ini... lobster besar dan steak. Apa kamu yakin kita bisa menghabiskan semuanya?" tanyanya dengan ragu.

"Makan saja semampu kita," balas Alberd santai. "Ayo, kita mulai."

Mereka menikmati makanan dengan tenang, sesekali bercanda di sela-sela gigitan. Alberd, dengan wajah jahil, menyodorkan capit lobster ke arah Alena.

"Hiyaa...!" godanya.

"Ahh... jangan, Alberd!" seru Alena, tertawa kecil sambil menghindar.

Setelah selesai makan, mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah ayunan yang terletak di balkon. Ayunan itu bergoyang perlahan, didorong lembut oleh kaki mereka.

"Apa kamu ingin lebih dekat ke bulan itu? Aku bisa membantumu," ujar Alena sambil menunjuk bulan yang kini mulai tinggi di langit malam.

"Tidak, terima kasih. Aku lebih suka di dekatmu daripada bulan," jawab Alberd sambil tersenyum. Dia kemudian berbisik dalam hati.

"Alena, aku tau kamu bisa terbang, jika aku menjawab dengan ragu ragu, kamu mungkin akan benar benar membawaku kesana".

Alena menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut.

"Alberd, besok pagi kamu akan ke kampus, kan?"

"Iya," jawab Alberd. "Aku akan pergi bersama Nina. Dia baru saja masuk universitas tahun ini. Kamu tidak apa-apa tinggal sendiri di apartemen?"

"Tentu saja. Aku baik-baik saja," jawab Alena sambil tersenyum menenangkan.

Setelah makan malam yang indah, mereka kembali ke apartemen. Sesampainya di sana, mereka bergantian mandi sebelum akhirnya berbaring bersama di ranjang yang sama. Lampu kamar telah dimatikan, menyisakan keheningan yang nyaman.

"Selamat malam, Alberd," ucap Alena lembut sambil memeluknya.

"Selamat malam, Alena," balas Alberd sambil memejamkan mata.

1
Wulan Sari
critanya sangat menarik lho jadi kebayang bayang terus seandainya kenyataan giman
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
John Smith-Kun: Terima kasih, kebetulan ini novel pertama yang saya tulis, syukurlah klo ceritanya menarik
total 1 replies
Siti Masrifah
cerita nya bagus
John Smith-Kun: Thank u👍
total 1 replies
Author Risa Jey
Sebenarnya ceritanya bagus, ringan dan cocok untuk dibaca di waktu santai. Cuma aku bacanya capek, karena terlalu panjang. Satu bab cukup 1000 kata lebih saja, agar pas. Paling panjang 1500 kata. Kamu menulis di bab yang isinya memuat dua atau tiga chapter? ini terlalu panjang. Satu chapter, kamu buat saja jadi satu bab, jadi pas.

Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.

Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.

Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
John Smith-Kun: Untuk sifat asli Alena ada di bab 15 dan terima kasih atas sarannya
Author Risa Jey: 5.

Pengen lanjut baca tapi capek, gimana dong penulis 😭😭😭
total 5 replies
Dear_Dream
Jujur aja, cerita ini salah satu yang paling seru yang pernah gue baca!
Siti Masrifah: mampir di cerita ku kak
John Smith-Kun: Terima kasih🙏
total 2 replies
John Smith-Kun
Catatan Penulis:
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.

Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!