NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bandara Soekarno-Hatta

Pagi adalah rekah mentari,

Juga tempat berkumpulnya embun di pepucuk daun.

Suasana pagi hari Selalu berikan semangat

Hangat terasa, lembut merasuk

Secangkir teh menambah suasana Menyaksikan mentari,

Menyapa hari tanda perjalanan hidup yang baru

Akan segera dimulai dalam sebuah simfoni.

***

Di tengah padatnya kota Jakarta, sebuah rumah megah nan elok berdiri. Rumah itu milik Mbah Dul, seorang kakek bijak dengan sejuta kebaikan. Suasana pagi itu hangat dan penuh keakraban. Hamzah dan Robi, dua sahabat yang telah dianggap seperti cucu oleh Mbah Dul, baru saja menyelesaikan sarapan pagi mereka.

Setelah mereka bertiga selesai menikmati hidangan, para pelayan datang untuk segera membersihkan meja makan. Hamzah dan Robi saling berpandangan, seolah mengisyaratkan bahwa saatnya untuk berpamitan. Dengan penuh rasa hormat, mereka mendekati Mbah Dul yang duduk tenang di kursi kayu.

“Mbah Dul, ini saya dan Robi mau izin ke kamar dulu,” ucap Hamzah dengan suara lembut.

Mbah Dul menatap keduanya dengan senyuman hangat. “Iya nak, sudah sekarang kalian segera ke kamar mengambil barang-barang kalian. Simbah tunggu di ruang depan ya,” sahutnya dengan nada penuh kasih.

“Iya Mbah Dul,” jawab Hamzah dan Robi secara bersamaan sebelum bergegas meninggalkan ruang makan.

Setelah sampai di dalam kamar, suasana menjadi sedikit tegang. Hamzah dan Robi mulai mengemas koper dan tas mereka yang sudah disiapkan sebelum sarapan. Koper-koper itu bukan hanya berisi pakaian, tetapi juga harapan dan impian yang siap dibawa menuju dunia baru.

Saat mereka keluar dari kamar, Pak Supri, sang sopir pribadi Mbah Dul yang setia, sudah menunggu di depan pintu. “Mana mas, biar saya yang bawa,” ucap Pak Supri sambil tersenyum ramah.

“Tidak usah pak, biar kami saja yang membawanya,” sahut Hamzah menolak dengan sopan.

“Sudah tidak apa-apa mas, lagian ini sudah tugas saya,” lanjut Pak Supri dengan nada tegas namun lembut.

Melihat keteguhan Pak Supri, Hamzah akhirnya mengizinkan. Sejurus kemudian, Pak Supri meraih koper mereka berdua dengan sigap. Hamzah dan Robi pun berjalan beriringan menuju ruang depan, hati mereka dipenuhi rasa syukur dan sedikit kecemasan akan petualangan yang akan datang. Sesampainya di ruang depan, mereka menemukan Mbah Dul sudah menunggu dengan sabar di sofa mewahnya. Ruang itu dipenuhi aroma kopi dan kue tradisional yang baru saja disajikan.

“Duduk sini nak,” ucap Mbah Dul sambil mengangguk ke arah tempat kosong di sampingnya.

“Iya mbah,” sahut Hamzah dan Robi bergantian sambil duduk berhadapan dengan Mbah Dul.

Mbah Dul memandang keduanya dengan tatapan penuh kasih sayang. “Barang-barang sudah siap semua?” tanyanya lembut.

“Alhamdulillah sudah mbah,” jawab Hamzah penuh rasa syukur.

Dengan suara bergetar karena emosi, Hamzah melanjutkan, “Mbah, ini saya dan Robi mengucapkan banyak terima kasih atas semua kebaikan Mbah Dul. Kita tidak bisa membalas semua kebaikan dari Mbah Dul. Semoga apa yang telah Mbah Dul lakukan dibalas oleh Allah. Sekali lagi terima kasih banyak Mbah.”

Mbah Dul tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. “Nak, semua ini hanyalah titipan dari Allah,” sahutnya bijak.

Ia kemudian melanjutkan dengan nada serius namun penuh perhatian. “Ini nanti biar Pak Supri yang mengantar kalian ke bandara. Pesan simbah kepada kalian berdua: jaga diri baik-baik di sana ya, sholatnya dijaga jangan lupa. Dan perlu kalian ingat, kondisi di sana berbeda dengan kondisi di sini. Jaga akhlak kalian, jangan sampai kalian ikut pergaulan yang tidak benar.”

“Iya mbah, pasti kita akan melaksanakan semua pesan dari simbah. Sekali lagi terima kasih banyak nggih Mbah Dul,” jawab Hamzah mewakili Robi yang mengangguk setuju.

“Iya nak sama-sama, simbah juga berterima kasih karena sudah mau menginap di rumah sederhana simbah,” balas Mbah Dul sambil menahan air mata haru.

Dengan hati yang berat namun penuh semangat, Hamzah dan Robi bersiap untuk meninggalkan rumah penuh kenangan itu walaupun dalam waktu yang singkat. Mereka tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang fisik; ini adalah perjalanan untuk mencari jati diri dan memahami makna kehidupan yang lebih dalam. Saat Pak Supri membawa koper mereka keluar rumah, Hamzah menoleh sekali lagi ke arah Mbah Dul. Dalam tatapannya tersimpan janji untuk selalu menjaga diri dan menghormati setiap pelajaran hidup yang telah diajarkan oleh Mbah Dul. Dengan langkah mantap menuju masa depan yang tak terduga, Hamzah dan Robi melangkah keluar dari rumah tersebut.

Pak Supri, sopir setia Mbah Dul, muncul dengan senyuman lebar. "Tuan, persiapan sudah selesai," ucapnya dengan nada ceria. Mbah Dul mengangguk, merasa lega mendengar kabar itu. "Iya pak, terima kasih banyak," balasnya sambil menghela napas.

Setelah itu, Pak Supri bergegas kembali menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Mbah Dul menatap Hamzah dan Robi, yang sudah tidak sabar untuk berangkat. "Nah Hamzah dan Nak Robi. Barang-barang kalian sudah siap? Sekarang waktunya kalian berangkat. Oh iya, nanti jika sudah sampai di sana dan bertemu dengan Taufik, simbah titip salam ya," katanya dengan penuh harapan.

"Iya mbah, pasti kita sampaikan," jawab Hamzah mewakili Robi yang hanya mengangguk setuju. Mbah Dul berdiri dari tempat duduknya, disusul oleh Hamzah dan Robi. Mereka bertiga berjalan keluar rumah menuju mobil.

Pak Supri membuka pintu mobil dengan sigap. "Sampai bertemu lagi ya, hati-hati di jalan," ucap Mbah Dul sambil melambaikan tangan.

"Iya mbah," sahut Hamzah dan Robi serentak sebelum mereka masuk ke dalam mobil.

“Assalamu’alaikum Mbah Dul,” sapa Hamzah dari dalam mobil sambil melambaikan tangan sekali lagi.

"Wa’alaikumussalam," balas Mbah Dul dengan senyuman hangat.

Dari posisi kemudi, Pak Supri bertanya, "Sudah siap?"

"Sudah Pak Supri," jawab Hamzah dan Robi serentak penuh semangat.

"Baiklah, mari kita berangkat," lanjut Pak Supri sambil menginjak pedal gas, mobil pun mulai melaju meninggalkan desa.

Di tengah perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta, Hamzah membuka tas kecilnya dengan cermat. "Paspor sudah, Visa Pelajar juga sudah, LoA juga sudah... apa lagi ya?" gumamnya sambil mengacak-acak isi tas.Robi yang melihatnya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Sedang mencari apa Zah?" tanyanya penasaran.

"Oh ini Rob, aku baru ngecek barang-barang penting. Sepertinya sudah semua," jawab Hamzah yakin.

Robi mengernyitkan dahi. "Beneran sudah semua? Mumpung masih di Indonesia jangan sampai ada yang tertinggal."

"Iya sudah semua kok Rob," sahut Hamzah meyakinkan temannya.

"Pak Supri," panggil Hamzah lagi. "Kita sampai ke bandara jam berapa ya pak?"

"InsyaAllah kalau tidak ada halangan lima belas menit lagi sampai mas," jawab Pak Supri sambil tetap fokus menyetir.

"Eh Rob, barang-barangmu juga sudah semua kan?" tanya Hamzah kembali. "Sudah Zah, tadi sudah aku cek semuanya," timpal Robi dengan percaya diri.

“Alhamdulillah kalau begitu,” ucap Hamzah lega.

Jalanan pagi itu cukup ramai karena banyak orang yang berangkat kerja. Mobil mereka tidak bisa melaju cepat seperti biasanya. Hamzah membuka kaca mobil dan mengamati suasana ibu kota dengan seksama. "Ibu kota begitu padat," gumamnya.

Beberapa saat kemudian, Pak Supri memberi tahu mereka, "Sebentar lagi kita sampai di lokasi mas."

"Iya pak, terima kasih banyak pak," sahut Hamzah penuh rasa syukur.

Tak lama setelah itu, mereka akhirnya tiba di bandara Soekarno-Hatta yang terlihat sangat ramai pada hari itu. Banyak orang berlalu-lalang dengan koper-koper besar di tangan mereka; suasana hiruk-pikuk bandara memang selalu menggambarkan kesibukan Jakarta sebagai pusat penerbangan utama Indonesia.

Bandara Soekarno-Hatta sendiri telah beroperasi sejak 1 Mei 1985 dan menggantikan Bandar Udara Kemayoran serta Halim Perdana Kusuma untuk penerbangan domestik di Jakarta Pusat dan Timur. Dengan segala kesibukan yang ada di sekeliling mereka, Hamzah dan Robi merasa bersemangat untuk memulai petualangan baru mereka di luar negeri.

Matahari mulai berjalan menuju takhtanya, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti area parkir bandara. Mobil mewah hitam meluncur pelan, suara mesin yang halus mengalun seiring dengan desiran angin pagi. Pak Supri, seorang pria paruh baya dengan wajah ramah dan penuh pengalaman, mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Ia menengok ke kanan dan kiri, matanya mencari tempat parkir yang masih kosong.

“Pak, itu di sana ada yang kosong!” seru Hamzah  dari belakang, sambil menunjuk ke arah sudut parkiran yang sepi.

Pak Supri mengikuti arah tunjuk Hamzah dan tersenyum. “Wah iya mas, itu ada yang kosong,” jawabnya dengan nada ceria. Dengan cepat, ia mengarahkan mobil menuju tempat tersebut. Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Supri keluar diikuti oleh Hamzah dan Robi. Mereka bertiga berjalan menuju bagasi untuk mengambil barang-barang mereka.

Setelah menurunkan barang bawaan Hamzah dan Robi, Pak Supri berpamitan. “Mas Hamzah dan Mas Robi, saya pamit dulu ya,” ucapnya sambil tersenyum.

“Lhoh pak, baru juga sampai. Langsung saja mau pergi?” tanya Hamzah dengan nada heran.

“Apa setelah ini Pak Supri mau nganterin Mbah Dul pergi?” timpal Robi penasaran.

“Sebenarnya tidak juga mas, sudah ada Pak Rozak supir selain saya,” jawab Pak Supri sambil mengangkat bahu.

“Nah, mendingan kita ngopi dulu pak,” usul Hamzah dengan semangat. “Toh ya masih jam ada waktu untuk ngopi dulu.”

“Iya Pak Supri, kita ngobrol-ngobrol dulu,” tambah Robi.

Pak Supri merasa sungkan untuk menolak ajakan tersebut. “Iya mas, lagian saya juga belum ngopi,” ucapnya canggung sambil tertawa kecil.

“Ya sudah, kita kesana yuk pak. Itu ada yang jual kopi,” ajak Hamzah sambil menunjukkan arah kantin dekat bandara.

“Iya mas,” jawab Pak Supri pendek.

Mereka bertiga melangkah menuju kantin yang ramai pengunjung. Setelah memesan dua gelas kopi hitam dan satu gelas cappuccino, mereka mencari tempat duduk yang masih kosong. Robi menunjuk bangku di sudut ruangan. “Duduk disitu saja,” katanya. Setelah mereka duduk, Hamzah membuka obrolan dengan pertanyaan sederhana. “Pak Supri ini aslinya orang mana?” tanyanya sambil menyeruput kopinya.

“Saya aslinya orang Solo mas,” jawab Pak Supri dengan bangga.

“Berarti keluarga bapak sekarang di Solo ya?” tanya Robi sembari menikmati cappuccino-nya.

“Ini keluarga saya tinggal di Jakarta mas, di rumah Mbah Dul,” sambung Pak Supri.

“Lhoh, maksudnya pak?” sahut Hamzah bingung.

“Jadi begini mas,” Pak Supri mulai bercerita dengan nada serius. “Dulu saya dan keluarga saya yaitu Bu Inem dan Amri ingin mencari pekerjaan di ibu kota. Namun kami tidak mendapatkan satu pekerjaan pun.”

Kedua pemuda itu terdiam mendengarkan cerita Pak Supri. Ia melanjutkan dengan penuh emosi. “Nah saat kami sudah pasrah, Allah memberikan jalan mas. Kami bertiga bertemu dengan Tuan Dul di pinggir jalan; beliau begitu iba melihat kami bertiga. Akhirnya beliau mengajak kami untuk tinggal dan bekerja di rumahnya.”

Dengan tatapan penuh harapan, Pak Supri melanjutkan kisahnya. “Dengan modal saya yang bisa menyetir mobil, saya dijadikan supir pribadi Tuan Dul. Istri saya, Bu Inem menjadi pembantu di rumah, dan Amri menjadi juru masak.”

Suasana kantin semakin ramai dengan suara gelak tawa pengunjung lain. Namun bagi mereka bertiga, momen ini terasa intim dan penuh makna. Dalam secangkir kopi yang hangat dan cerita hidup yang mengalir deras dari mulut Pak Supri, mereka merasakan kedekatan yang tak terduga—sebuah persahabatan baru terbentuk di antara mereka dalam perjalanan hidup masing-masing.

1
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!