Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebenarnya aku sudah lelah
Pagi yang masih gelap terasa sunyi di kamar Najiha. Gadis itu menggeliat di tempat tidurnya, mengerjap perlahan saat cahaya remang menyusup dari sela tirai.
“Hmmm...” gumamnya sambil membalikkan badan.
Namun, ia tersentak ketika mendapati wajah Haidar, suaminya, berbaring santai di sebelahnya. Matanya membelalak, napasnya tercekat sejenak sebelum akhirnya—
“AAAAAAAAAA!!!” teriaknya, menggema memenuhi kamar. Tanpa pikir panjang, ia mendorong tubuh Haidar hingga pria itu terjatuh ke lantai dengan suara berdebuk.
“Aduh! Sakit, tahu!” keluh Haidar sambil meringis, tangannya mengusap punggungnya yang terbentur.
“Ngapain lo masuk kamar gue?! Hah?!” seru Najiha panik, buru-buru merapikan kerudung yang melorot karena tidurnya.
Haidar, yang masih duduk di lantai sambil menahan sakit, memandang Najiha dengan ekspresi datar. “Ish... baru jam setengah lima, Naj. Masih gelap. Lo teriak-teriak bikin heboh,” ucapnya santai, lalu menambahkan, “Lagian, gue ini suami lo.”
Wajah Najiha memerah, setengah karena malu, setengah lagi karena kesal. “Terserah lo suami gue atau bukan! Lah, kenapa lo malah mau tidur lagi, hah?!”
Haidar kembali naik ke tempat tidur, tubuhnya terhempas dengan santai. “Masih ngantuk. Sholat ntaran aja,” jawabnya singkat sambil memejamkan mata.
Najiha mendengus kesal. “Astaghfirullah... bangun gak lo sekarang!” serunya sambil menyalakan lampu hingga ruangan terang benderang.
“Udah bangun, kok,” ucap Haidar malas, sambil menunjuk bagian tubuhnya yang masih tertutup selimut.
Wajah Najiha langsung memerah padam. “Astaghfirullahaladzim...” gumamnya, mengusap wajahnya yang kini penuh emosi. “Bangun buat sholat, bukan malah bangun yang lain!” hardiknya.
Haidar tertawa kecil, senyum jahil menghiasi wajahnya. “Ya udah, ayo, istriku. Sini peluk dulu biar semangat.”
“Abi!!! Haidar gak mau sholat, Bi!” teriak Najiha sekencang mungkin.
“Naj, ya udah nih, gue bangun! Jangan lebay,” sergah Haidar buru-buru sambil bangkit dari kasur. “Tapi lo sendiri kenapa gak sholat?”
“Gue haid,” jawab Najiha dengan nada datar.
“Oh...” Haidar hanya mengangguk paham sebelum melangkah menuju kamar mandi.
Namun ketukan keras di pintu mengejutkan Najiha.
Tok tok tok!
“Najiha! Haidar!” Suara berat Abi Ahmad terdengar dari balik pintu.
Najiha menarik napas panjang sebelum berjalan dengan langkah enggan untuk membuka pintu. Wajahnya tetap dingin dan datar saat ia berkata, “Abi, Najiha lagi haid,” ujarnya singkat, lalu berniat menutup pintu kembali.
“Najiha! Berani-beraninya kamu menutup pintu di depan abi tanpa izin?!” suara Abi Ahmad meninggi, membuat Najiha menghentikan gerakannya.
“Abi, Najiha capek. Mau istirahat,” balasnya dengan nada lesu, tanpa mengubah ekspresinya yang tetap datar.
Abi Ahmad mengangkat tangannya, jelas ingin memberi pelajaran. Namun, Ummi Lina cepat-cepat menahan. “Abi, jangan... Masih pagi. Tolong, sabar,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan.
Abi Ahmad menurunkan tangannya perlahan, wajahnya masih menyiratkan amarah yang tertahan. “Suruh Haidar sholat berjamaah di masjid. Suruh dia turun sekarang. Abi tunggu di bawah,” tegasnya sebelum berbalik meninggalkan kamar.
Najiha tetap berdiri terpaku di ambang pintu. Pikirannya berkecamuk, berusaha menenangkan emosi yang meluap. Perlahan, ia menutup pintu, lalu mengembuskan napas panjang.
“Haidar... Lo bikin hidup gue ribet,” gumamnya pelan.
Najiha mengetuk pintu kamar mandi dengan sedikit kesal. “Haidar! Cepetan mandinya, abi nunggu di bawah. Katanya mau sholat berjamaah di masjid!” ucapnya malas sambil menyandarkan kepala ke pintu.
“Iya, iya, ini udah kok,” sahut Haidar santai dari dalam.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, dan Haidar keluar. Najiha spontan membelalak.
“Haidar!!! Lo nggak pake baju!” seru Najiha sambil buru-buru menoleh dan berlari ke balkon, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Haidar tertawa kecil, jelas menikmati momen itu. “Yaelah, Naj. Gue kan suami lo. Santai aja.”
“Shut up!” hardik Najiha, mencoba menahan malu. “Jangan ucapin kata ‘suami’ lagi! Kepala gue langsung sakit setiap kali lo ngomong itu.”
Haidar terkekeh lagi, tapi kali ini ia melihat ada sesuatu yang lebih dalam di wajah Najiha. “Kenapa sih, Naj? Lo kayak gak terima gue...”
“Denger ya,” potong Najiha tajam, matanya memancarkan keseriusan yang jarang ia tunjukkan. “Di kampus, anggap aja kita gak ada hubungan sama sekali.”
“Tapi, Naj...”
“Plis, Haidar,” suara Najiha melembut, meski amarah yang ditahan masih jelas terasa. “Lo sendiri yang bilang mau bantu gue biar masalah gue selesai, kan? Jangan bikin hidup gue makin tertekan dengan pernikahan asal-asalan ini!” Ucapannya disertai isyarat tangan memohon, membuat Haidar terdiam.
Haidar menatap Najiha dalam-dalam, senyumnya lenyap, tergantikan dengan tatapan penuh pemikiran. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Hmmm, baiklah... Kalau itu yang bikin lo nyaman.”
Najiha mengangguk pelan, rasa lega sedikit muncul di dadanya. Namun, ekspresinya segera kembali dingin. “Sekarang cepetan ke bawah. Abi udah nunggu dari tadi.”
Tanpa banyak bicara lagi, Haidar mengenakan pakaian seadanya dan melangkah keluar kamar. Sebelum menutup pintu, ia menoleh, memberikan tatapan yang sulit diartikan kepada Najiha. “Lo bilang ini asal-asalan, tapi buat gue... Enggak.”
Najiha membeku sesaat, namun ia segera membuang muka. “Cepet, Haidar,” ucapnya datar.
Haidar pun pergi, meninggalkan Najiha yang berdiri terpaku di kamar. Pikirannya kembali penuh dengan perasaan yang tak ingin ia akui.
......................
Di ruang tamu, Abi Ahmad menunggu Haidar dengan senyum ramah. Ketika Haidar muncul dengan pakaian rapi, Abi Ahmad menyambutnya dengan nada lembut.
“Haidar, ayo kita berangkat ke masjid,” ucap Abi Ahmad dengan senyum tipis.
“I-iya, Bi,” jawab Haidar gugup, merasa canggung menghadapi sikap Abi yang begitu tenang. Ia melirik sekilas ke arah atas, seolah berharap Najiha ada di sana untuk menyelamatkannya dari suasana ini.
Mereka pun berjalan bersama menuju masjid. Sepanjang perjalanan, Abi Ahmad melirik Haidar dengan ekspresi penuh arti, membuat Haidar merasa semakin kikuk.
“Haidar,” panggil Abi Ahmad tiba-tiba, suaranya terdengar serius. “Bagaimana Najiha? Apa dia memperlakukan kamu dengan kasar?”
Haidar langsung menoleh kaget. Pertanyaan itu seperti tamparan yang datang tanpa peringatan. “H-hmm, nggak kok, Bi. Najiha baik kok,” jawabnya, meski nada bicaranya terdengar kaku.
Abi Ahmad memperhatikan Haidar dengan saksama, memastikan ada kejujuran di dalam jawabannya. Akhirnya, ia mengangguk dengan senyum kecil. “Ouh, alhamdulillah. Tapi kalau Najiha macem-macem sama kamu, bilang aja langsung ke Abi,” ucapnya sambil menepuk bahu Haidar pelan.
Haidar hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati, ia berpikir, Macem-macem? Kayaknya justru gue yang sering bikin dia kesal.
Sisa perjalanan mereka menuju masjid berlangsung dalam keheningan.
Setelah selesai sholat berjamaah di masjid, Abi Ahmad dan Haidar berjalan pulang. Langit pagi mulai memancarkan cahaya lembut, menambah suasana yang tenang.
“Haidar,” panggil Abi Ahmad dengan suara pelan, namun cukup membuat Haidar sedikit terkejut. “Abi ingin bicara sebentar.”
Haidar menelan ludah. “I-iya, Bi. Silakan.”
Mereka berhenti di depan rumah, berdiri di dekat taman kecil yang asri. Abi Ahmad menatap Haidar dengan sorot mata tegas namun penuh kebapakan.
“Abi tahu, mungkin pernikahan ini terasa mendadak buat kalian berdua. Tapi percayalah, Abi nggak asal memutuskan hal ini. Abi yakin kamu bakal bisa berubah sedikit demi sedikit, dan najiha insyaa Allaah akan bisa merubah kamu .”
Haidar terdiam, menunduk. Kata-kata Abi Ahmad terasa berat di hatinya, namun juga menyentuh sesuatu yang dalam.
“Tapi, Haidar,” lanjut Abi Ahmad, nada suaranya lebih serius. “Najiha adalah anak perempuan Abi yang keras kepala. Dia tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan jarang membuka hatinya. Itu sebabnya, kamu harus bersabar dan pelan-pelan memahami dia. Jangan menyerah kalau dia kadang sulit diajak bicara.”
Haidar mengangguk, mencoba menyerap setiap kata. “Iya, Bi. Saya ngerti. Saya juga bakal usaha in untuk kebahagiaan nya najiha.”
Abi Ahmad tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Haidar. “Itu yang Abi harapkan. Kalau ada apa-apa, jangan segan cerita ke Abi atau Ummi Lina. Kalian adalah keluarga sekarang. Jangan simpan semuanya sendiri.”
Haidar kembali mengangguk, kali ini dengan lebih yakin. “Iya, Bi. Terima kasih atas kepercayaannya.”
“Baik,” ucap Abi Ahmad sambil melangkah ke pintu. “Sekarang kita masuk. Najiha pasti udah bangun dan... mungkin udah mulai uring-uringan.”
Haidar terkekeh kecil, mengingat sikap Najiha tadi pagi. “Kayaknya iya, Bi.”
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Najiha sudah duduk sambil melipat tangannya di dada, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksabaran.
“Lama banget!” ucap Najiha datar.
Abi Ahmad hanya tersenyum. “Kamu harus bersyukur punya suami yang rajin sholat berjamaah.”
Najiha memutar bola matanya. “suami lagi, baru sekali dia sholat. lama juga sholat nya."ucap najiha ketus.
Haidar mendekat dengan senyum jahil di wajahnya. “shuttt, diem aja naj. "ucap Haidar berbisik.
kemudian berucap lagi, "Naj, lo kangen sama gue ya?”
Najiha langsung melempar bantal kecil ke arah Haidar. “Jangan ge-er!”