NovelToon NovelToon
Misi Berdarah Di Akademi

Misi Berdarah Di Akademi

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Identitas Tersembunyi
Popularitas:807
Nilai: 5
Nama Author: Garl4doR

Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.

Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.

Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.

Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 : Bounty? Kayak bajak laut aja

Blok 2 Pusat Perbelanjaan, Akademi Debocyle.

Langit pagi yang pucat menyinari lorong-lorong pusat perbelanjaan di blok 2. Bangunan-bangunan yang dulunya ramai kini terasa sunyi. Hanya suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan bisikan para siswa yang menjadi pengisi keheningan.

Charissa menarik napas panjang, tangannya memegang erat tas selempangnya. Ia menoleh ke Vella yang berjalan cepat di sampingnya.

"Kau yakin kita aman di sini?" bisiknya dengan nada setengah bercanda, tetapi ada nada cemas di balik suaranya.

Vella mengangguk singkat, matanya melirik sekeliling seperti elang. "Untuk sekarang, ya. Untungnya, teman kita di sini mau membantu."

Mereka berdua telah berhasil lolos dari kejaran dua siswa eksekutif semalam. Teman sekolah mereka yang bekerja di toko elektronik di pusat perbelanjaan ini menawarkan tempat persembunyian sementara, meski risikonya besar.

Saat mereka melewati papan informasi di tengah atrium, langkah Charissa mendadak terhenti.

"Eh, Vella, lihat ini," katanya, menunjuk sebuah pamflet yang baru ditempel.

Bounty: 1.000 Poin Kredit untuk Penangkapan Anggota Fluttergeist!

Mata Vella menyipit membaca tulisan itu. Di bawahnya ada tambahan:

Target: Anggota grup investigasi ilegal yang dikenal sebagai Fluttergeist. Laporan langsung ke siswa eksekutif untuk klaim hadiah.

Charissa memutar bola matanya. "Wow, mereka serius banget, ya. Mereka benar-benar mau menangkap kita."

Vella merogoh ponselnya dengan cepat. "Kita harus memberitahu Alvaro."

Saat ia mengetik pesan, bisikan samar dari kelompok siswa di dekat mereka mengganggu fokusnya.

"Dengar-dengar, ada korban lagi... kali ini di asrama blok 7."

"Korban ketiga? Serem banget. Mereka bilang pelakunya kayak monster."

Vella berhenti mengetik dan menatap Charissa dengan tatapan serius.

"Kita harus bertindak cepat," katanya sebelum akhirnya menekan tombol kirim pada ponselnya. Pesan itu hanya satu kalimat, tetapi cukup jelas.

Alvaro, ada bounty untuk kita. Dan korban baru jatuh lagi. Kita harus berkumpul secepatnya.

***

Di hutan hitam, Alvaro dan Gale menyantap sarapan yang telah disediakan. Sepertinya itu adalah hasil berburu kemarin, daging Megashelt yang masih hangat. Walau nikmat tapi sungguh masih terasa kurang jika tidak ada Heather.

Gadis itu membuat Alvaro khawatir, pasti berat beban mental yang ia pikul kemarin mengingat ia harus mengorbankan beberapa anjingnya untuk menyelamatkannya.

"Kau tidak melihat Heather?" Tanya Alvaro pada Gale.

Gale menggeleng dan menghetikan suapannya, merasa bersalah karena kecerobohannya melawan monster membuat beberapa nyawa melayang. Ia mengeratkan genggamannya.

Ponsel Alvaro bergetar, ia pun segera membaca pesan yang masuk. Alvaro membaca pesan dari Vella dengan dahi berkerut. Isi pesannya sederhana, namun penuh dengan kecemasan yang terselubung.

Ia meletakkan ponselnya di meja kayu dengan napas panjang. "Situasi semakin buruk. Kita harus segera keluar dari sini."

Gale menegakkan tubuhnya, menatap Alvaro dengan serius. "Tapi bagaimana dengan Heather? Kita tidak bisa meninggalkannya di sini sendirian, apalagi setelah apa yang terjadi kemarin."

Namun, pikiran tentang tekanan magis Hutan Hitam membuat keduanya terdiam sejenak. Mereka tahu betul kekuatan magis hutan ini mampu melemahkan mereka secara fisik.

"Tekanan hutan masih terasa,” gumam Gale sambil melirik ke luar jendela kabin. Daun-daun besar yang bergoyang dihembus angin terlihat normal, tapi hawa dingin yang menusuk jelas berbeda. “kemarin saja kita hampir tak selamat tanpa bantuan Heather. Sebaiknya kau peringati anggota untuk tetap waspada selagi kita mencari jalan keluar. Kita tak bisa keluar hutan ini tanpa bantuan Heather."

Arahan dari Gale diikuti Alvaro dengan teliti. Selesai mengetik ia mengirimnya. Lalu menaruh harapan semoga anggota lain bisa selamat.

***

Latania menarik napas panjang, berusaha mengabaikan rasa takut yang menjalari tubuhnya. Senapan laras panjang yang tergantung di bahunya memberatkan langkahnya, tapi itu lebih baik daripada masuk tanpa perlindungan. Gedung siswa eksekutif berdiri megah di siang bolong, dengan penjagaan ketat di beberapa sudut. Namun, ia tahu ada celah di sistem keamanan mereka—sudah ia pelajari dengan cermat selama berhari-hari.

"Tenang,” bisiknya pada diri sendiri, tangannya meraih kait jendela kecil di sisi gedung. Dengan gerakan cekatan, ia memanjat masuk, mendarat di dalam sebuah koridor yang sepi.

Aroma bahan pembersih yang menyengat menyambutnya, bercampur dengan bau aneh yang tidak ia kenali. Ia mengabaikannya, fokus pada tujuan. Ruangan tempat mereka menyimpan jenazah korban ada di lantai dua, dan berdasarkan pengamatannya sebelumnya, hanya ada dua siswa eksekutif yang berjaga siang ini.

Dengan langkah hati-hati, Latania menyelinap di sepanjang lorong, senapannya kini sudah berada dalam genggaman. Ia berhenti sejenak di depan sebuah pintu bercat putih kusam. Bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya bahkan sebelum ia membuka pintu.

"Ini dia,” gumamnya, menekan pelan gagang pintu dan mendorongnya sedikit demi sedikit.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil di sudut. Beberapa meja berjejer rapi, masing-masing diisi dengan sesuatu yang ditutupi kain putih. Tapi ada satu meja di ujung ruangan yang tampak kosong, kain putihnya tergeletak begitu saja di lantai.

"Seharusnya ada jenazah di sini…” pikir Latania, keningnya berkerut. Ia mendekati meja kosong itu, mencoba memeriksa tanda-tanda yang ditinggalkan. Namun, sebelum ia bisa menganalisis lebih jauh, suara pelan yang seperti tarikan napas berat terdengar di belakangnya.

Refleks, ia berbalik dengan senapan terangkat, matanya mencari sumber suara. Dari bayangan di sudut ruangan, sesosok tubuh muncul perlahan. Sosok itu mengenakan ikat kepala yang lusuh, tubuhnya membungkuk dengan gerakan yang tidak wajar, seperti boneka yang ditarik paksa oleh benang tak terlihat.

“M-Mayat hidup?” Latania bergumam, napasnya tercekat.

Sosok itu menyerbu dengan kecepatan yang tidak ia duga. Latania berguling ke samping, menghindari cakarannya yang nyaris menyentuh wajahnya. Ia menarik pelatuk senapannya, menembakkan peluru besi bulat ke arah sosok itu. Peluru pertama melesat, menghantam bahunya, tapi tidak cukup untuk menghentikannya.

“Kenapa kau masih bergerak, brengsek?” teriak Latania, menembakkan peluru kedua. Kali ini, peluru itu menghantam kaki sosok tersebut, membuatnya terhuyung dan jatuh ke lantai.

Namun, makhluk itu terus merangkak ke arahnya, meski dengan kecepatan lebih lambat. Latania menggeram, menarik pelatuk untuk ketiga kalinya. Peluru terakhir menghantam kepala makhluk itu, dan kali ini, ia berhenti bergerak sepenuhnya.

Latania terengah-engah, menatap mayat hidup yang kini terkapar di lantai dengan darah hitam yang mengalir dari kepalanya. Ia melangkah mundur, memegangi senapannya dengan tangan gemetar.

“Apa-apaan ini…? Apa yang sebenarnya terjadi di akademi ini?” bisiknya. Namun, ia tahu tidak ada waktu untuk berdiam diri. Ia harus segera keluar dari sini sebelum ada yang menyadari keberadaannya.

Latania melangkah keluar ruangan, pikiran penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Tapi satu hal kini pasti: ancaman di Akademi Debocyle jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.

***

Zaela berdiri di depan ruangan jenazah dengan ekspresi yang sulit dibaca. Bau busuk yang menyengat dari dalam ruangan membuat beberapa siswa eksekutif di belakangnya menahan napas atau menutup hidung. Namun, Zaela tetap tenang, hanya mengarahkan pandangan tajam ke salah satu siswa yang melapor.

"Jelaskan lagi. Kau bilang ada mayat hidup di dalam?” tanyanya dingin.

Siswa itu, seorang lelaki bertubuh kecil dengan rambut rapi, mengangguk gugup. “I-iya, Nona Zaela. Saya tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, tapi kami menemukan salah satu jenazah… bangkit dan menyerang. Ketika kami tiba, makhluk itu sudah mati kembali, kepalanya hancur.”

Zaela menyipitkan matanya, lalu melangkah masuk ke ruangan. Udara dingin dan lembap menyelimuti tempat itu, bercampur dengan bau darah dan sesuatu yang seperti logam berkarat. Ia berjalan mendekati mayat yang disebutkan, melihat bekas luka di kepala makhluk itu. Darah hitam yang sudah mulai membentuk genangan kecil lengket di lantai.

“Kalian tidak tahu apa-apa soal ini?” tanyanya sambil menoleh pada dua siswa eksekutif lain yang berdiri di ambang pintu.

Mereka saling pandang sebelum menggeleng serempak. Salah satu dari mereka, seorang gadis berambut pendek, menjawab dengan suara pelan, “Tidak, Nona. Kami tidak pernah mendengar tentang jenazah yang bangkit seperti ini. Kami juga tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.”

Zaela menghela napas dalam-dalam, menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. “Jadi bukan hanya kalian membiarkan seseorang menyusup ke gedung ini, tapi kalian juga tidak bisa menjaga jenazah dengan benar.” Suaranya terdengar tajam, membuat semua orang di ruangan itu menunduk ketakutan.

Ia melanjutkan pemeriksaannya, pandangannya tertuju pada sesuatu yang mengilap di lantai, tidak jauh dari mayat itu. Zaela berjongkok, meraih benda kecil itu dengan ujung jarinya. Sebuah peluru besi bulat. Matanya menyipit, dan kemarahan di wajahnya semakin jelas terlihat.

“Peluru ini… hanya satu orang yang membawa jenis ini di akademi.” Ia berdiri, tangannya mengepal kuat sambil menatap benda itu. “Latania.”

Zaela tidak perlu berpikir lama untuk menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab. Ia mengenali tanda tangan dari aksi gegabah ini. Tim Fluttergeist, kelompok pemberontak kecil yang terus-menerus menyusahkan mereka.

"Panggil seluruh siswa eksekutif,” perintah Zaela, suaranya dingin seperti pisau. “Aku ingin mereka memperketat penjagaan dan mencari setiap anggota Fluttergeist. Aku tidak peduli bagaimana kalian menemukannya, tapi aku ingin laporan secepatnya.”

Siswa-siswa di sekitarnya hanya bisa mengangguk, tergesa-gesa meninggalkan ruangan untuk melaksanakan perintahnya. Zaela menatap peluru di tangannya sekali lagi, giginya terkatup rapat.

“Fluttergeist…” bisiknya penuh kebencian. “Kalian sudah terlalu jauh."

Dengan langkah tegas, Zaela meninggalkan ruangan. Pikirannya dipenuhi rencana untuk menangkap mereka, terutama Latania. Ia tahu ini bukan hanya soal pelanggaran biasa. Ini adalah penghinaan langsung kepada otoritasnya, dan ia tidak akan membiarkan mereka lolos.

1
Luna de queso🌙🧀
Dialog yang autentik memberikan kehidupan pada cerita.
Garl4doR: Baguslah kalau kamu suka :3 Trims buat apresiasinya ya :) stay tune untuk bab² selanjutnya/Grin/
total 1 replies
emi_sunflower_skr
Aku terpukau dengan keindahan kata-kata yang kamu gunakan! 👏
Garl4doR: Terima kasih/Smile/ Author ini jadi semangat karena komen mu/Smirk/ Terus berkembang adalah prinsip mimin/Applaud/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!