Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gempar
Pagi itu, Nara menghirup udara segar yang masuk membuat pikirannya terasa jernih. Ia melangkah ke balkon, menikmati aroma embun yang masih melekat di tanaman. Senyum kecil tak lepas dari wajahnya ketika ia teringat kembali dengan misi menyisir kamar Ratu Athera. Lagi-lagi dia ditakdirkan bersama Arven secara kebetulan, lantaran kuncinya ada pada laki-laki itu. Nara jadi berfikir, apakah ini yang dinamakan jodoh? Hehehehe, Nara geli sendiri memikirkannya.
Nara celingak-celinguk melihat situasi sekitar kamarnya. Aman. Pelayan tidak nampak batang hidungnya.
"Pangeran Arven, aku ingin bertemu."
Hening.
"Uto, gue pengen ketemu sama lo."
Hening juga. Sampai tiga kali Nara memanggil, tak kunjung Arven datang menemuinya secara tiba-tiba dan rahasia.
Nara berdiri dengan tangannya bertumpu di pinggul sambil sesekali menghela napas panjang. Biasanya, kalau ia memanggil nama Arven, laki-laki itu akan muncul dengan cepat seperti bayangan yang selalu siaga. Tapi pagi ini, setelah beberapa kali mencoba, tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
"Tumben banget nggak nongol," gumam Nara sambil mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Rasa penasaran mulai menguasainya, apalagi ia punya urusan penting yang harus dibicarakan dengan pangeran itu.
Ia akhirnya memutuskan untuk mencari Arven sendiri. Dengan langkah cepat, Nara menyusuri setiap bagian istana. Di setiap ruangan yang dilewatinya, ia melongokkan kepala berharap menemukan sosok pangeran itu. Tetapi hasilnya nihil.
Dimana dia? keluh Nara, sembari mencoba mengingat kebiasaan Arven. Dia orang yang sulit ditebak, tetapi Nara tahu ia tidak mungkin pergi jauh tanpa alasan.
Perjalanannya membawanya keluar ke halaman belakang istana. Udara di sana terasa lebih sejuk, ditemani suara gemericik air dari kolam kecil yang berada di sudut taman. Mata Nara menyapu setiap penjuru, mencari-cari tanda keberadaan sang Pangeran bayangan. Andai saja ia punya kemampuan seperti Arven, pasti sudah ia endus energinya agar cepat ditemukan.
Akhirnya, pandangannya tertuju pada pendopo kayu yang berada di sisi belakang istana. Dari kejauhan, ia bisa melihat sesosok pria yang sedang duduk di sana, tampak asyik menikmati secangkir teh sambil berbicara dengan Kasim. Tak lama Kasim pun pergi menemui Raja.
"Ketemu juga," gumam Nara lega, meski sedikit kesal karena harus mencarinya sejauh ini. Ia melangkah mendekat dengan penuh percaya diri setelah melihat Arven sudah sendirian. Ia tidak peduli apakah akan mengganggu ketenangan pria itu atau tidak. Ketika jaraknya hanya tinggal beberapa meter, Arven mengangkat kepala, menatapnya dengan senyum tipis yang khas. Eitsss, dia bukan menatap Nara ternyata, tapi menyambut panggilan dari seorang gadis.
Langkah Nara praktis terhenti.
Di pendopo itu, selain Arven, ada sosok gadis lain yang menghampirinya. Gadis itu mengenakan gaun sederhana namun anggun, dengan rambut panjang yang tergerai rapi. Nara berdiri di tempatnya, diam-diam memperhatikan.
Raut wajah Arven berubah, senyum tipis khasnya kini tampak lebih hangat. Mereka mulai berbicara, dan meski Nara tak bisa mendengar percakapannya, ia bisa melihat dari gerak tubuh mereka bahwa pembicaraan itu penting.
Ada sesuatu yang aneh di dada Nara. Bukan rasa marah atau kecewa, tapi semacam dorongan untuk tidak mengganggu. Ia memandang keduanya dari kejauhan, berusaha membaca situasi. Gadis itu tampak menunduk sesekali, seakan menghormati Arven. Sementara Arven tetap duduk dengan posisi santai, namun jelas menunjukkan bahwa ia memberi perhatian penuh pada gadis tersebut.
"Mungkin bukan waktu yang tepat," pikir Nara sambil menggigit bibir bawahnya.
Niat Nara untuk berbicara langsung dengan Arven perlahan surut. Ia melangkah mundur, berusaha tidak mengeluarkan suara yang bisa menarik perhatian mereka. Baginya, percakapan itu tampak penting, meski ia tidak tahu apa yang sedang dibahas. Nara memutuskan untuk menunggu kesempatan lain.
Dengan langkah pelan, ia kembali ke arah taman untuk mengalihkan pikirannya sambil mengingat-ingat detail rencana lain yang bisa ia lakukan tanpa melibatkan Arven untuk sementara.
Tiba-tiba,
"Nara," suara tegas namun sedikit lelah memanggil namanya, membuat Nara berhenti melangkah. Ia menoleh dan mendapati Raze berdiri tak jauh darinya. Wajah pria itu terlihat sedikit suram, dengan kerutan tipis di dahinya yang menandakan ia sedang banyak pikiran. Nara menyipitkan mata, mencoba membaca suasana.
"Pangeran Raze? Sedang apa kau di sini?" tanyanya hati-hati, tak ingin langsung menyentuh topik yang mungkin membuat suasana semakin berat.
Raze menarik napas dalam sebelum menjawab. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan di sini, Nara?" ucapnya. Tak lama, mata Raze menangkap keberadaan Arven, seketika pria itu sedikit mengerti. Raze menduga kalau Nara sedang mengintai Arven karena penasaran dengan sosok Pangeran di Kerajaan ini selain dirinya.
"Aku hanya mencari udara segar."
"Udara segar? Di sini hanya ada pasangan yang sedang di mabuk cinta. Tidak ada udara segar di sini."
"Di mabuk cinta ya? Hmmm, itu artinya Pangeran Arven mungkin saja jadi pemenang sayembara diantara kalian. Sedangkan Pangeran Raze ku lihat seperti sedang banyak pikiran. Apakah ini karena masalah Junto?" Ujar Nara membuat Raze tersentak.
Astaga, aku tadinya hanya ingin membuat Nara tidak tertarik dengan bocah tua itu, tapi malah aku yang dibuat kepikiran dengan sayembara. Arrggh.. apa itu tadi? Junto? Aku tidak bisa berhenti memikirkan konspirasi yang dia buat. Bahkan aku tidak diberi kesempatan melihatnya sebelum di eksekusi.
"Pangeran Raze," Seru seorang prajurit. Nara dan Raze menoleh ke arahnya.
Prajurit itu menatap Raze dengan tegas, memberikan hormat singkat sebelum berbicara. "Maaf Pangeran, Anda tidak diperkenankan bertemu dengan siapapun."
Raze mengerutkan kening, jelas tidak senang dengan perintah itu. "Bukankah aku hanya dilarang menghadiri pertemuan dan berinteraksi dengan para bangsawan? Nara bukan bangsawan," protesnya melirik Nara yang kini hanya diam, bingung dengan situasi tersebut.
Prajurit itu tetap berdiri tegak, suara tidak berubah ketika menjawab.
"Benar Pangeran, tetapi Nona Nara sudah dianggap orang penting oleh Yang Mulia Raja. Itu berarti, perintah larangan berinteraksi juga berlaku padanya."
Mata Raze menyipit, menatap prajurit itu dengan tatap tak percaya. "Jadi sekarang aku bahkan tidak boleh berbicara dengan orang yang bukan bangsawan, hanya karena mereka dianggap penting? tanyanya tajam. Prajurit itu hanya mengangguk tanpa emosi, membuat Raze menghela nafas berat.
Saat perdebatan antara Raze dan prajurit itu berlangsung, susana mendadak berubah. Para pelayan dan prajurit yang berlalu lalang mulai menunjukkan gelagat seperti ada kegemparan. Beberapa diantara nya bahkan berbisik-bisik dengan wajah tegang. Nara menangkap sekilas kata Junto, tewas, dalam obrolan samar mereka. Ada semacam kegelisahan yang merambat cepat, seperti api yang menjalar ke seluruh penjuru istana. Ia melirik Raze yang juga tampak menyadari perubahan suasana tersebut, meskipun masih berdiri dengan ekspresi datar.
Belum sempat Nara bertanya, seorang prajurit lain datang tergesa-gesa. Nafasnya tersengal-sengal.
"Maaf, Pangeran Raze, Nona Nara… kami baru saja menerima kabar," katanya, suaranya tertahan seolah berat untuk menyampaikan. Nara dan Raze langsung menoleh.
"Apa yang terjadi?” tanya Raze cepat, nadanya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.
"Junto… dia ditemukan tewas di penjara bawah tanah sebelum eksekusi sempat dilaksanakan," ucap prajurit itu akhirnya.
.
.
Bersambung.