Dilahirkan sebagai salah satu tokoh yang ditakdirkan mati muda dan hanya namanya yang muncul dalam prologue sebuah novel, Axillion memutuskan untuk mengubah hidupnya.
Dunia ini memiliki sihir?—oh, luar biasa.
Dunia ini luas dan indah?—bagus sekali.
Dunia ini punya Gate dan monster?—wah, berbahaya juga.
Dia adalah Pangeran Pertama Kekaisaran terbesar di dunia ini?—Ini masalahnya!! Dia tidak ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang Kaisar yang bertangung jawab akan hidup semua orang, menghadapi para rubah. licik dalam politik berbahaya serta tidak bisa ke mana-mana.
Axillion hanya ingin menjadi seorang Pangeran yang hidup santai, mewah dan bebas. Tapi, kenapa itu begitu sulit??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razux Tian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
"Kakek, Ayah, Ibu, aku sudah bisa menggunakan Aura sekarang." Berujar pelan, seulas senyum memenuhi wajah tampan Lucius. Berdiri menatap tiga makam di depan, dia mencabut pedang di pinggangnya dan mengaktifkan Aura.
Swoosh.
Suara desir terdengar jelas bersumber dari pedang di tangan Lucius. Cahaya biru tiba-tiba muncul membungkus seluruh pedang di tangannya. Bagaikan api, cahaya tersebut bergerak liar namun masih tidak terkontrol.
"Aku bukan lagi pedang yang cacat," Lucius tahu tidak akan ada yang menjawab segala ucapannya. Tapi, dia benar-benar ingin menunjukkan pada keluarga tercinta apa yang telah dicapainya. "—aku telah menjadi pedang yang utuh."
Tetap keheningan yang membalas setiap ucapan Lucius.
"Kakek, Ayah, Ibu," panggil Lucius dengan pelan. Matanya terarah menatap pedang Aura di tangan. "Aku melihat—matahari."
Wajah Axilliion terbayang jelas di pikiran Lucius. Beliau yang lebih bersinar daripada matahari di atas langit—matahari sesungguhnya di dunia ini. Dia tahu, Pangeran Pertama lah yang menyembuhkan kelainan Mana Clog yang dideritanya.
"Beliau menagatakan aku luar biasa," lanjut Lucius dan kembali menoleh pada tiga makam di depan. Menelan ludah, dengan hati yang berdebar, dia tersenyum bahagia. "Beliau mengatakan bahwa aku kelak bisa menjadi pedang terkuat di Kekaisaran."
Sejak kehilangan keluarganya, tidak ada seorangpun yang mengatakan kata-kata itu dan percaya akan kemampuannya. Bahkan, meski dia terus berusaha dan berpikiran positif, lubuk terdalam hatinya tahu, dia memang tidak mungkin menjadi seperti itu. Namun, di sanalah Axillion berdiri. Mengatakan kata-kata yang menjadi penopang hidupnya—dia bisa menjadi pedang terkuat di Kekaisaran.
"Aku ingin menjadi pedang beliau," tertawa kecil, Lucius mengangkat kepala menatap matahari siang di atasnya. Untuk Axillion yang mengakui dirinya, Lucius ingin melayaninya. Bersama Axillion, dia percaya, dia bisa mencapai mimpinya. "Aku ingin menjadi pedang yang akan selalu melindungi matahari sesungguhnya di dunia ini."
Menurunkan kepala, pandangan mata Lucius kembali menatap ketiga makam keluarganya. "Jadi, lihatlah aku dari alam sana sambil tersenyum," mata hitamnya bersinar penuh keberanian dan keyakinan. Senyum lebar penuh keyakinan memenuhi wajah tampannya. "—aku adalah pedang terkuat Kekaisaran di masa depan.
...****************...
"Apa ini?" tanya Owen pada Axillion yang dengan bangga memberikan sebuah cincin emas polos padanya.
"Cincin emas, Ayahanda," jawab Axillion sambil tertawa. "Masa anda tidak tahu?"
"Aku tahu," balas Owen, dia tidak terganggu sedikitpun dengan pertanyaan kurang ajar Axillion. "Aku hanya ingin tahu, kenapa kau memberikan cincin itu padaku?"
Axillion tersenyum. "Ayahanda telah berkerja keras. Jadi, saya menghadiahkan sesuatu pada anda. Anggap saja sebagai bukti bakti seorang anak."
Owen tidak mengatakan apapun, dia menatap Axillion dan berdecak pelan. "Jika ingin menunjukkan bakti, maka bantu aku mengurus Kekaisaran."
Axillion menggaruk kepala yang tidak gatal dan menoleh menatap Lilia yang ada di samping Owen. Tertawa sekali lagi, dia berusaha mengubah topik pembicaraan. "Cincin ini sepasang dengan cincin Ibunda, Ayahanda."
Mendengar penjelasan Axillion, Owen menoleh menatap Lilia. Sekarang cincin emas polos tersebut terasa spesial di matanya. "Benarkah?"
Lilia tersenyum dan mengangguk kepala. Mengangkat tangan kanannya, dia memperlihatkan cincin emas serupa di jari manisnya.
"Baiklah," mengambil cincin tersebut, dia menyerahkannya pada Lilia. Tersenyum, mata hijau identik dengan Axillion menatap istri ketiganya penuh kasih sayang. "Pakaikan padaku, Lily."
Lilia tertawa mendengar permintaan Owen. Tidak menolak, dia segera menerima cincin tersebut dan memakaikannya pada jari manis sang suami.
"Dengan begitu, saya mensahkan anda berdua sebagai pasangan suami-istri," ujar Axillion tiba-tiba. Berdiri, dia tersenyum jahil pada kedua orang tuanya. "Pengantin pria dipersilahkan mencium pengantin wanita."
Lilia tertawa keras melihat tingkah Axillion. "Jangan sembarangan, Xion."
Namun, Owen yang ada di samping Lilia tidak begitu. Dia mendekatkan wajahnya pada wajah Lilia dan mencium singkat bibir di depan mata.
"Ahh! Ayahanda!! Jangan bermesraan di depan mata saya!" berteriak panik, Axillion menutup kedua mata dengan telapak tangannya. "Saya sudah mengatakan berkali-kali! Saya tidak mau melihat adegan seperti itu!!"
Owen mendengus tidak peduli pada protes Axillion, seulas senyum memenuhi wajahnya melihat wajah merah padam Lilia yang terlihat jelas menahan malu.
Mengangkat tangan kanan yang terkepal, Lilia memukul pelan dada Owen. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi ekspresi wajahnya yang malu-malu membuat sang suami tertawa keras.
"Ayahanda, Ibunda," panggil Axillion yang masih menutup mata. "Apakah anda berdua sudah selesai bermesraan?"
"Jangan berkata seperti itu, Xion." Jawab Lilia cepat. Dia menoleh kepada Axillion dan berusaha menenangkan diri. Sungguh sulit memiliki suami yang tidak tahu malu dan anak yang suka menggoda seperti ini.
"Baiklah," menurunkan kedua tangan yang menutup matanya, Axillion menatap Lilia yang masih terlihat malu dan juga Owen yang tidak peduli. "Ayahanda," panggilnya pelan. "Berhentilah menggoda Ibunda."
Seperti biasa, Owen mendengus tidak peduli dengan ucapan Axillion. Baginya ucapan putra mereka itu adalah angin yang berlalu.
Kembali duduk, Axillion menatap kedua orang tuanya dan berpesan. "Jangan pernah lepaskan cincin tersebut, Ayahanda, Ibunda. Tidak peduli saat mandi maupun tidur."
Owen dan Lilia tidak mengerti maksud ucapan Axillion. Tapi mereka berdua juga tidak bertanya banyak. Putra mereka adalah orang yang melakukan sesuatu dengan tujuan jelas. Jadi, jika dia meminta mereka untuk tidak melepaskan cincin tersebut, mereka akan menurutinya.
"Baiklah." Balas Lilia tersenyum, sedangkan Owen, dia hanya mengangguk kepala pelan.
Puas dengan kepastian dari kedua orang tuanya, Axillion tersenyum puas. Mengangguk kepala, dia kemudian menyadarkan punggung pada sofa dan menutup mata. Hari yang tenang dan damai bersama kedua orang tuanya, bercanda dan tertawa—hidup seperti inilah yang diinginkannya.
Tok-tok-tok.
Suara ketukan tiba-tiba terdengar dan membuat Axillion membuka mata. Menoleh pada pintu kamarnya yang tertutup, dia mendengar suara Susan. "Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu dan Pangeran Axillion, ada seorang Knight yang menerobos masuk ke Istana Sapphire."
Kerutan muncul di dahi Axillion. Knight menerobos masuk? Pada siang hari seperti ini?
"Knight tersebut mengatakan ingin bertemu dengan anda, Yang Mulia Pangeran Axillion." Lanjut Susan lagi.
"Siapa?" tanya Axillion bingung. Ingin bertemu dengannya hingga menerobos masuk Istana Sapphire, siapa orang bodoh itu?
"Seorang Knight dari Blue Royal Knight, bernama" jawab Susan pelan. "—Lucius Hart Eldmald."
...****************...