Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Ke semula
Di kediaman Oma, suasana pagi terasa berbeda. Kekhawatiran memenuhi suasa pagi di rumah Oma. Ana tidak kembali sejak dibawa oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai bibinya. Telepon Auriga juga tidak bisa dihubungi, dan ia menghilang entah ke mana setelah bermain tenis meja.
Oma duduk gelisah di ruang makan. Ponsel Ana tergeletak di atas nakas di kamarnya, bersama barang-barang lain yang masih tertata rapi. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ana berniat pergi jauh. Kekhawatiran Oma memuncak, ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak semalaman memikirkan nasib gadis itu.
Sampai tiba-tiba pagi itu, wanita tua yang semalam mengaku sebagai bibi Ana datang kembali. Ia menyapa satpam rumah dengan sopan, senyum ramahnya meyakinkan dengan menceritakan sesuai narasi yang Ode berikan. Oma menyambutnya dengan baik, meski perasaan cemas tidak juga mereda.
“Maaf, Bu. Saya datang lagi karena ada pesan dari kakek Ana. Beliau mencari Ana dan memintanya pulang segera ke kampung. Saya diutus untuk memastikan Ana berangkat dengan selamat,” ujar wanita itu dengan suara yang dibuat penuh keyakinan, seperti yang sudah diatur Ode sebelumnya.
Oma mengerutkan kening, hatinya belum tenang. “Tapi Ana di mana sekarang? Mengapa tidak berpamitan dulu dengan saya?” tanyanya penuh curiga.
“Subuh tadi Ana sudah langsung berangkat ke terminal, Bu. Ia menitipkan salam dan mohon maaf tidak sempat berpamitan. Katanya takut mengganggu istirahat Oma,” jawab wanita itu dengan nada yang terdengar meyakinkan, meski dalam hatinya sedikit gugup.
Sementara itu, di luar rumah, Ode terus mondar-mandir di dekat mobilnya, berharap Auriga masih lama pulang. Ia sudah memastikan semua berjalan sesuai rencana, yang penting Abel pergi dari sana.
Abel sempat menghubunginya, memastikan Ode menyelesaikan segalanya dengan baik.
“Gue nggak tega, Ode. Oma orang baik. Jangan sampai dia khawatir terus gara-gara gue,” ucap Abel melalui telepon, suaranya terdengar berat.
“Udah, gue urus. Lo tenang aja,” jawab Ode singkat sebelum memutus panggilan.
Di dalam, Oma masih tampak ragu, tapi ia tidak ingin mempersulit situasi memilih mempercayai saja.
Sampai Wanita tua itu kemudian berpamitan, membawa tas Ana dan ponsel yang diberikan Auriga. “Terima kasih sudah menjaga Ana, Bu. Saya akan mengurus semuanya sekarang,” katanya sambil tersenyum ramah.
Wanita itu berjalan keluar menuju mobil Ode yang sudah menunggu. Ode membuka pintu, membiarkannya masuk tanpa berkata apa-apa. Saat mobil mulai melaju, Ode menghela napas lega.
Setelah beberapa kilometer, mobil berhenti di sebuah jalan kecil dekat warung sederhana. Wanita itu turun dengan memberikan tas Ana dan ponselnya pada Ode, Ode pun segera memberikan amplop berisi uang sebagai upah.
“Makasih, ya, Bu. Udah bantu,” katanya dingin sebelum berlalu.
Wanita itu mengangguk tanpa banyak bicara, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Ode yang kini hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa ada masalah yang tersisa.
***
Lalu di tempat lain, Ban belakang mobil Auriga kempes dan sepertinya ada kerusakan mesin lain juga, membuatnya terpaksa berhenti di pinggir jalan dan menunggu kedatangan mekanik dari bengkel kepercayaan keluarganya. Dia duduk di dalam mobil, menggenggam setir dengan wajah yang memancarkan kebingungan.
“Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?” pikirnya berulang kali.
Auriga mengingat saat terakhir bertemu Sahara. Dia merasa sangat mengantuk, kepalanya berat, hingga akhirnya tertidur begitu saja. Lalu kemudian, dia terbangun pagi tadi karena panggilan telepon dari Mahendra, rekan bisnisnya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres semalam. Bagaimana mungkin dia bisa tidur begitu pulas di mobil seperti itu.
Kecurigaan muncul di benaknya. Apakah dia dirampok? Dihipnotis? Tapi anehnya, tidak ada barang berharga yang hilang. Semua masih utuh. Dompet, ponsel, bahkan jam tangan di pergelangan tangannya tetap ada. Namun ada satu hal yang mengusiknya CCTV mobilnya rusak. Layar monitor kecil di dashboard hanya menunjukkan layar hitam. Auriga tidak tahu apakah ini murni kerusakan teknis atau ada sesuatu yang lebih serius.
Saat mekanik tiba dan mulai mengurusi mobilnya, Auriga mencoba mengumpulkan ingatannya, tapi tetap saja terasa kabur. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam ingatannya, tidak mau lama-lama di sana ia memutuskan untuk memanggil taksi dan segera pulang ke rumah Oma.
Di sepanjang perjalanan, kebingungan masih membayangi pikirannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari malam hingga pagi semua itu seakan tidak pernah sampai ke telinganya. Rasanya seperti dia berada dalam dunia yang terisolasi, terputus dari dunia nyata semalam.
Setibanya di rumah Oma, Auriga keluar dari taksi dengan langkah yang lelah. Dia tidak menemukan Oma di sana dan memutuskan segera masuk ke dalam kamarnya sebab dia merasa tidak enak badan sekali hari ini.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, dia mengambil ponselnya yang bergetar di atas meja itt, memunculkan panggilan masuk dari Mahendra.
Dengan napas berat, Auriga menjawab panggilan itu.
"Halo, Pak Mahen." Suaranya terdengar serak.
"Auriga, kamu di mana? Saya sudah menunggu," suara Mahendra terdengar hangat.
Auriga menghela napas. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa datang hari ini. Sepertinya kondisi saya sedang tidak baik. Kepala saya pusing, mungkin kurang istirahat."
Mahendra terdengar mengerti, tapi tetap khawatir. "Oh ya, Kalau begitu, istirahat saja dulu. Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau perlu, saya bisa minta dokter datang ke rumahmu."
"Terima kasih, Pak. Tapi tidak perlu, saya akan istirahat. Nanti saya kabari kalau sudah merasa lebih baik."
Percakapan berakhir, dan Auriga meletakkan ponselnya di meja. Dia memijat pelipisnya, mencoba mengingat lebih jauh tentang kejadian semalam, tapi tetap saja semuanya terasa kabur.
***
Di taman samping rumah, Mahendra duduk di bangku kayu, memperhatikan putrinya yang sibuk memantau perawatan kedua kucing kesayangannya, Pretty dan Lussy. Tukang salon hewan langganan mereka sibuk memotong kuku dan merapikan bulu kedua kucing itu, sementara Abel terus memberi arahan dengan serius.
"Papa nggak jadi keluar?" tanya Abel sambil melirik ke arah Mahendra.
Mahendra tersenyum kecil. "Teman papa kurang sehat, jadi hari ini papa nggak ke mana-mana."
Abel mengangguk tanpa tahu siapa teman yang papanya maksud, dia tidak terlalu penasaran tentang siapa teman papanya. Sebaliknya, sebuah ide terlintas di kepalanya. "Kalau gitu, papa bisa temanin aku nonton."
Mahendra menatap putrinya dengan antusias. "Nonton? Ayo! Hari ini papa libur, apa aja yang kamu mau."
Abel tertawa kecil, lalu beralih ke kedua kucingnya. "Pretty, Lussy, mommy mau hangout dulu sama Grandpa. Nanti mommy beliin baju baru ya!"
Mahendra tertawa mendengar ucapan putrinya. Arabella memang sangat mencintai kedua anak bulunya itu, seperti mereka adalah bagian dari keluarganya.
"Always kayak sama sama anak sendiri," canda Mahendra.
"Ya iyalah, mereka kan anak mommy Abel yang cantik, kangen sekali di tinggal liburan lama!" sahut Abel sambil tersenyum bahagia.
Mahendra menggelengkan kepala sambil tersenyum hangat. "Ya udah, nanti Grandpa temenin belanja buat cucu bulunya.”
Abel tertawa lebih keras mendengar candaan sang papa Seolah tidak ada ruang untuk memikirkan hal-hal sedih di hidupnya.
hati² sama hati om 🤭😆
Gimana seremkn jika beneran Auriga buka semua kebenarannya sm pak mahendra....