Sequel: Presdir Tampan Itu Suamiku
Sebuah kesalahpahaman membuat Deya Kanza, gadis 21 tahun itu memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Namun setelah 4 tahun berlalu Deya dipertemukan kembali dengan sang mantan.
Devan Aksara, pemuda tampan 22 tahun itu menyadari kesalahannya setelah sang kekasih pergi jauh. Namun tiba-tiba kesempatan pun datang, dia bertekad untuk mengejar kembali cintanya Deya.
Apakah cinta mereka akan bersemi kembali atau malah berakhir selamanya? ikutin kisahnya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ucy81, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Licik
Devan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dalam benaknya dia terus bertanya-tanya tentang ucapan Deya di telepon.
"Kenapa kami harus bertemu di panti asuhan? Apa jangan-jangan Deya berasal dari panti asuhan itu?" tanya Devan sembari fokus menatap jalanan yang tampak ramai.
Setelah berkendara kurang dari 20 menit, Devan pun mulai menepikan kendaraannya memasuki halaman rumah panti asuhan tersebut berada. Lalu dia turun dari mobil.
"Devan!" seru Agni melambaikan tangannya.
Sontak Devan mendelik melihat keberadaan Agni. Kenapa dia juga di sini? Dimana Deya? Batinnya sembari mencari keberadaan Deya.
"Kamu cari apa?" tanya Agni berpura-pura tidak tahu. Namun dalam hatinya dia tahu persis Devan sedang mencari Deya.
"Apa kamu melihat Riya?" tanya Devan.
"Tidak", jawab Agni malas.
Kemudian Devan buru-buru menghubungi Deya, namun Agni langsung menahannya. "Aku hampir lupa! Tadi Riya titip pesan, katanya kalau ketemu sama kamu dia minta kamu tolong bantuin aku saja. Dia ada urusan mendadak."
Devan langsung menelisik ke dalam netra Agni. Dia mendapati wanita yang dijodohkan dengan dirinya itu telah berbohong. "Em, maaf. Saya - "
"Non Agni, silakan masuk! Anak-anak panti sudah menunggu di dalam", sela salah satu pengurus panti.
"Ayo masuk", ajak Agni pada Devan
Merasa sungkan pada pengurus panti, Devan pun terpaksa mengikuti Agni. "Ayo", balasnya sembari berjalan mengikuti langkah pengurus panti.
*-*
Sementara di tempat berbeda, Deya baru saja keluar dari rumah Agni.
Semoga aku mendapat petunjuk lewat bi Inem. Batin Deya. Lalu dia berjalan menuju mobilnya di parkir.
"Non Riya sudah mau pulang?" tanya pak Joko yang kebetulan melihat Deya membuka pintu mobilnya.
"Iya pak", sahut Deya dengan ramah. "Pak Joko sudah lama kerja di sini?"
Sontak pak Joko membisu mendengar pertanyaan Deya. "Maaf non. Bapak masih ada urusan", jawabnya buru-buru menghindar.
Gelagat aneh pak Joko membuat Deya sedikit curiga. Em, jangan-jamgan semua pelayan di rumah ini telah di ancam. Batin Deya. Lalu dia masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya meninggalkan halaman rumah Agni. Namun baru saja beberapa menit mobil Deya menjauhi rumah Agni, ponselnya berdering.
"Halo paman", sahutnya kala sebuah handsfree telah menempel ditelinganya.
"Apa? Paman sudah di kota ini? Kenapa mendadak?" kaget Deya kala mendengar ucapan sang paman dari seberang telepon.
"Oke, kalau gitu Deya ke bandara sekarang."
Deya bergegas memutar balik arah kendaraannya menuju bandara. Namun di tengah perjalanan ada mobil yang tiba-tiba menghadang. Kemudian empat orang pria bertubuh tegap keluar dari dalam mobil. Di tangan salah seorang pria memegang sebuah alat pemukul.
"Keluar!" teriak pria berkumis tipis.
Dengan cepat tangan Deya menyambar ponselnya dan menekan kontak terakhir yang menghubunginya.
"Paman, Deya di hadang 4 orang berpakaian hitam. Mungkin agak terlambat menjemput paman!"
"Kamu sekarang dimana?" tanya Givan panik.
"Di jalan kemuning. Nanti Deya share lok."
"Oke, berhati-hatilah."
Baru saja Deya mengirimkan lokasinya pada sang paman, sebuah pukulan keras mendarat di kaca mobil Deya. Sontak Deya terjingkat mendengarnya.
"Turun!" titah pria berkumis tipis itu.
Deya turun dari mobil seraya menghela nafas berat. "Ada urusan apa?"
"Ikut dengan patuh atau - ?"
Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, Deya telah melayangkan kaki jenjangnya hingga mengenai wajah ke empat pria itu. Dalam sekejap empat pria itu pun tergeletak di aspal dan kaca mata hitam yang mereka kenakan terlepas.
"Tampaknya kamu suka cara kekerasan!" sinis pria berambut cepak. Lalu dia mengangkat tangannya memberi isyarat pada tiga rekannya agar menyerang secara bersama.
"Eh, tunggu dulu!" teriak Deya dengan merentangkan kedua tangannya ke depan.
Pria berambut cepak itu pun tersenyum sinis. "Apa sekarang kamu merasa takut? Tapi sudah terlambat", ucapnya sembari melanjutkan niatnya menyerang Deya.
"Tunggu dulu!" pekik Deya kembali.
"Apa kau pikir bisa mengelabui kami?" ketus pria berkumis tipis.
Dengan ragu Deya mengarahkan jarinya pada celana pria berambut cepak. "Itu resleting kamu!" katanya dengan membuang pandangannya.
Sontak pria itu menyentuh resletingnya. Dengan malu dia pun menaikkannya ke atas. "Cukup! Apa kalian pikir ini lucu?" ketusnya kala melihat reaksi rekannya yang menutupi senyuman mereka.
"Lain kali saat enak-enak jangan lupa tutup gorden om!" sindir Deya yang membuat pria berkumis tipis itu marah.
"Aku tahu kau cuma ingin menunda waktu! Jangan harap kau bisa lolos!" kesalnya seraya mendekati Deya.
Sontak Deya menyemprotkan sesuatu ke mata pria tersebut. Lalu dengan cepat dia melakukannya juga pada tiga pria berikutnya secara bergantian, hingga membuat pandangan mereka semua buta.
Tak lama kemudian terdengar suara sirene polisi, namun ke empat pria tersebut sudah tidak dapat meloloskan diri.
"Jangan bergerak!" titah pak polisi sembari menahan ke empat pria tersebut.
"Apakah anda baik-baik saja?" tanya salah satu polisi pada Deya.
"Iya, pak", sahut Deya ramah.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kami tetap akan membawa mbanya sebagai saksi."
"Silakan pak. Saya siap!"
Pak polisi menggiring ke empat pria ke dalam mobil dengan terheran-heran. "Bagaimana bisa seorang gadis tidak kenapa-napa saat menghadapi empat orang pria bertubuh tegap seperti ini?" tanya polisi itu pada rekannya.
"Dia licik pak!" sahut pria berkumis tipis.
"Diam! Saya tidak bertanya padamu!" ketus pak polisi.
Kemudian mereka semua berangkat menuju kantor polisi.
Setelah 1 jam berlalu dan semua urusan di kantor polisi selesai, Deya pun memutuskan untuk pulang ke apartemennya.
"Sepertinya paman Agni mulai mencurigaiku? Aku harus segera memberitahukan hal ini pada paman Givan", gumamnya kala baru saja masuk ke dalam mobil.
Pelacakan lokasi para mahasiswi yang menjadi korban penipuan group Thompson membuat Deya di incar oleh pengusaha kotor itu. Kini dia lebih berhati-hati saat membantu melacak keberadaan mahasiswi lainnya.
Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke ponsel Deya. Agni mengirimkan bukti penyerahan sisa uang 80 juta pada panti asuhan, sesuai permintaan hacker yang Deya sebutkan.
"Oh, iya aku hampir lupa uang 20 juta dari Agni! Sebaiknya aku berikan pada mahasiswi yang jadi korban saja", lanjutnya bergumam. Lalu dia menjalankan kendaraannya menuju kediaman Priyanka.
*-*
Di tempat berbeda Devan dan Agni baru saja berpamitan pada seluruh penghuni panti asuhan.
"Sekali lagi terimakasih atas sumbangsihnya pak, bu. Ini adalah kali pertama kami menerima sumbangan dalam jumlah besar. Semoga berkah."
"Amin. Sama-sama pak. Kalau begitu kami pamit dulu", sahut Agni ramah.
"Baik bu, pak. Silakan berkunjung jika ada waktu."
"Baik pak", balas Agni dengan memaksakan senyum diwajahnya. Tidak akan! Cukup ini yang pertama dan yang terakhir aku datang kemari! Dan yang penting Devan sudah melihat apa yang aku lakukan hari ini. Batin Agni.
Sementara Devan tampak senang selama berada di sana. Dia tidak menolak saat anak-anak kecil itu terus menempel padanya.
"Sampai ketemu lagi kakak tampan!" seru anak-anak tersebut seraya melambaikan tangannya.
Devan pun membalas dengan tersenyum lebar. Lalu dia melambaikan tangannya. "Sampai ketemu lagi", katanya bahagia. Baru saja Devan duduk di bangku kemudi ponselnya berdering. "Mama", gumamnya kala melihat nama kontak yang muncul di layar ponselnya.
maaf baru sempat mampir.. lagi sibuk revisi soalnya