Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melewatkan Hari Penting
Makan malam kali ini, Gita yang berinisiatif untuk memasaknya. Ayah dan ibu Gita sampai terheran-heran mendapati putri mereka yang biasanya hanya tertarik dengan hobby-nya itu, tadi terlihat sibuk di dapur.
Beberapa hidangan pun telah tersaji di atas meja. Awalnya kedua orang tua Gita meragukan hasil olahan putri mereka, namun setelah dicicipi, ternyata masakan Gita terasa lezat.
"Kayaknya ayah bakal dapet mantu bentar lagi," gumam ayah Gita.
"Hush! Ibu mau si Gita kuliah dan kerja dulu. Jangan ngomong macem-macem!" tukas ibu Gita.
"Ya habis tiba-tiba dia jadi lebih suka ngobrol, dan sekarang dia masak. Masak lho Bu! Enak lagi masaknnya! Pasti dia lagi persiapan jadi istri soleha!" seru ayah Gita menggebu-gebu.
"Om dan Tante tenang aja, Kak Gita masih jomblo," ujar Tini yang melintasi sepasang paruh baya itu kala hendak mengambilkan piring.
"Alhamdulillah, Gita jomblo," ucap ibu Gita lega.
"Iya. Alhamdulillah belom ada yang mau sama dia." Ayah Gita ikut menimpali.
"Ayah sama Ibu ini aneh, anaknya masih jomblo kok malah seneng," protes Gita yang membawa lalapan ke meja makan.
Tini terbahak, sementara Gita merasakan keharuan menyelimuti hatinya.
Gadis yang masih memakai apron itu menatap anggota keluarganya satu per satu. Momen kebersamaan yang menyenangkan ini ... ingin gue jaga selamanya.
Karena setelah Tini menyusul bibik dan paman, kami bertiga sering kali merasa sedih setiap makan bersama di sini.
Apa gue akan bisa mencegah kecelakaan yang menewaskan Tini?
***
Gita merebahkan diri di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Ia keheningan memberinya ruang untuk berpikir dan meresapi kembali kejadian yang ia alami.
"Kenapa ya, gue balik ke tahun ini? Terus, gimana dengan diri gue yang di tahun 2024?" gumamnya.
Apakah gue yang jatuh dari lantai empat waktu itu langsung meninggal di tempat, sambil mikirin kehidupan gue saat SMA ya ... makanya kelempar ke dimensi waktu ini?
Tapi ... kayaknya waktu itu, gue cuman pengen makan seblak prasmanan di warung yang baru buka deh.
Aneh.
Gita lalu bangkit dan beranjak ke meja belajarnya. Mencoba menuliskan runtutan kejadian yang ia alami dan orang-orang yang kini terlibat dengannya.
Masa SMA udah lama banget, ada banyak hal yang gue lupa.
Ada juga kejadian yang terlewat tanpa gue tau, karena kecenderungan gue yang menarik diri dari sekitar.
Eh bentar ... kata Tini, gue berubah sejak beberapa bulan ini, kan? Coba gue tanya kapan tepatnya hal itu terjadi.
Gita pun berjalan ke kamar Tini. Beruntung, ternyata gadis SMP itu masih bangun dan tengah membaca komik Topeng Kaca.
"Tin, waktu Kamu bilang kalau aku jadi semakin pendiam itu mulai kapan, ya?" tanya Gita sambil duduk di tepi tempat tidur.
Tini memutar kursinya dan menghadap Gita.
"Sekarang udah mau pertengahan semester, bentar aku itung." Tini tampak menggerakkan jemarinya.
"Udah sekitar empat bulanan, Kak. Bahkan Kak Gita melewatkan momen class meeting dan pembagian raport. Padahal sebelumnya, Kak Gita sempat bilang, akan ada lomba lukis yang jurinya seniman lulusan Pelita," tutur Tini.
Gita tercenung, ia lupa akan hal ini. Sepertinya, gue harus menyentuh, melihat sesuatu atau seseorang yang menjadi stimulan terkait ingatan tertentu. Bendanya aja gue gak inget.
"Eh tunggu, tunggu. Jadi, aku gak ikutan class meeting sama sekali, ya?" tanya Gita. Kalau gitu, apa ini setelah kajadian yang disebutkan sama Tomy?
"Iya," jawab Tini, "Kak, apa terjadi sesuatu? Aku inget Kak Gita gak mau keluar kamar, meski udah waktunya makan. Terus ... kalau dipikir-pikir, kejadian buku sketsa rusak itu terjadi sewaktu Kak Gita udah mulai masuk sekolah, sudah naik di kelas dua, atau jangan-jangan ... Kakak sebenarnya udah di-bully sejak kelas satu?"
Gita memijat keningnya. "Justru itu aku gak terlalu inget, Tin."
Tini menautkan alisnya. Gimana bisa Kak Gita yang ngalamin sendiri gak inget, sedangkan aku aja masih inget kalau dia keliatan ketakutan untuk ke sekolah? Atau Kak Gita trauma ya? Gak mau inget dan jadi beneran lupa?
"Setau Kamu, apa ada sesuatu yang terjadi waktu hari terakhir aku ke sekolah? Maksudku ... waktu hari terakhir ujian ... ya, sekitar itu," tanya Gita, mengingat perkataan Tomy di kantin tadi siang.
Tini menggaruk-garuk kepalanya. Ini kak Gita jadinya mau melupakan, atau mengingat kejadian buruk, ya? Aku takut salah nih. Tapi jawab aja kali ya, sebisa aku.
"Eum ... seinget aku, waktu hari terahir ujian kenaikan kelas itu, Kak Gita kayak banyak bengong. Aku kira Kakak kecapean aja, gak lama Kakak pun keliatan biasa lagi. Tapi, Kak Gita sama sekali gak mau bahas soal ujian atau apapun tentang sekolah, dan seperti yang aku cerita tadi, Kakak bahkan gak mau dateng class meeting, buku raport Kakak aja, cuma bibi yang ambil, Kakak gak ikut dateng," tutur Tini panjang lebar.
Gadis SMP itu merasa seperti menceritakan kisah Gita pada orang lain, namun ia tidak keberatan. Hanya saja ia sedikit bingung dengan sepupunya tersebut.
Tiba-tiba Tini teringat sesuatu. "Ah iya, Kak, mumpung inget, aku mau balikin majalah punya Kak Gita yang pernah aku pinjem," ucap Tini seraya mengambil majalah Ceritaku edisi lama dan menyerahkannya pada Gita.
Sesuatu dari majalah itu jatuh ke lantai, dan Gita pun mengambilnya. "Apaan ini?" gumamnya.
Tini menggedikkan bahu, "Gak tau, aku lupa. Tapi kayaknya penting, jadi aku selipin lagi aja di dalam majalah."
Gita menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian ia kembali ke kamarnya. Karena ia merasa kepalanya sedikit berat, yang ia pikir itu disebabkan oleh rasa kantuk.
"Majalah Ceritaku ... ah iya gue kan tadi baru beli edisi terbaru majalah ini. Pengen baca, tapi kok kayaknya udah lelah banget," gumam Gita saat duduk kembali di kamarnya.
Ia kemudian melihat-lihat cover majalah edisi lama yang ia tadi dikembalikan Tini. Di sini masih ada tulisan karya Denting Hening, dia belum hiatus saat ini. Ah, gue jadi kangen pengen baca.
Gita lalu membaca cerita yang ditulis Denting Hening, dengan antusias. Seiring ia membaca, ada ingatan yang samar-samar hinggap. Tentang dirinya yang dahulu sedang menikmati isi cerita tersebut di sekolah.
Usai tiba di akhir kalimat, Gita melihat kembali profil sang penulis yang diletakkan di bagian bawah cerita bersambung tersebut. Tidak ada foto di sana, hanya biodata singkat, tapi kemudian Gita teringat sebuah wajah.
Gue kan gak kenal Denting, barusan yang gue inget muka siapa ya? Gue merasa kagum, apa jangan-jangan gue pernah ketemu sama Denting di sekolah? Yuli kan bilang kalau di sekolah ada penulis. Apa itu beneran dia?
Gita mengecek tanggal terbit majalah di tangannya dan mengerutkan alis. Ini ... terbit gak lama sebelum libur sekolah. Artinya .... ini gue beli waktu lagi ujian kenaikan kelas.
Seketika Gita merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Apa ini? Kenapa gue jadi berdebar-debar.
Entah mengapa Gita merasakan ledakan antusiasme ketika mengingat lagi tanggal tersebut, hari terakhir ujian. Hari di mana ia terbayang kembali akan sosok dirinya yang tengah membaca cerita bersambung karya Denting Hening.
"Gue seneng banget padahal hari itu," gumam Gita.
Eh kenapa ini kok gue ngomong tanpa gue niatin? Apa ini ingatan diri gue yang remaja?
Gita lalu membuka kembali lembar majalah tersebut dan mengambil secarik kertas terlipat yang tadi sempat jatuh di kamar Tini.
Gita kembali merasa berdebar-debar, ketika membuka lipatan kertas itu yang ternyata berisi sebuah notes dan tanda-tangan sang penulis kesayangan.
"Kak Denting, apa Kakak baik-baik aja? Kenapa sejak terakhir kita ketemu ... Kakak gak lanjutin tulisan di majalah?" tanya suara 'Gita'.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/