Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20: Forest not for Rest
Di dalam mobil yang terus melaju, Wira tertidur dengan kepala bersandar pada bahu Nora. Wajahnya tampak lelap, menunjukkan kelelahan setelah semalaman berjaga. Nora tetap diam, membiarkan Wira beristirahat. Flora yang duduk di samping mereka memperhatikan adegan itu dengan senyuman kecil.
“Nora, apakah Wira tidak tidur tadi malam?” tanya Flora dengan nada lembut.
Nora mengangguk pelan. “Benar, dia berjaga semalaman, mengawasi kita semua.”
Farah, yang duduk di depan bersama ayahnya, menoleh ke belakang dan memperhatikan Wira dan Nora. Dengan nada polos, dia bertanya, “Kak Nora, apa kamu pacar Kak Wira?”
Mendengar itu, Nora tersenyum, tetapi wajahnya sedikit memerah. “Ah, bukan, Farah. Aku hanya temannya.”
Namun, Flora yang awalnya tersenyum kini memasang ekspresi masam, tampak terganggu dengan pertanyaan Farah. Rama ikut menyahut sambil tersenyum kecil. “Tapi kalian terlihat cocok, tahu. Sepertinya kalian memiliki banyak kesamaan.”
Flora melirik tajam ke arah Rama, ekspresinya semakin masam.
Nora tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Tidak juga, Paman. Aku dan Wira sangat berbeda. Misalnya, kalau aku tidak ada, Wira pasti akan memilih jalur kapal untuk lebih cepat sampai, meskipun harus menggunakan cara apapun. Karena itu memang lebih efektif.”
Rama mengernyit penasaran. “Kalau begitu, apa alasan dia memilih lewat hutan?”
Nora terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Akhirnya, dia berkata pelan, “Itu karena... Ah, sepertinya aku tidak bisa mengatakannya.”
Namun, dalam hatinya, Nora menyimpan sebuah pemikiran. Itu karena Wira mulai percaya bahwa kebaikan adalah kekuatan. Di dunia yang kacau ini, kemanusiaan harus dipertahankan. Benar kan, Wira?
Beberapa jam kemudian tim Wira akhirnya tiba di titik terakhir di mana mobil tidak lagi bisa melintas. Mereka semua turun, memandangi jalan setapak kecil yang mengarah ke dalam hutan lebat. Pepohonan besar berdiri menjulang, menutupi cahaya matahari dan menciptakan suasana yang dingin meskipun masih siang.
Wira menatap jalan itu dengan alis mengernyit. “Jadi, ini kah jalan masuknya?” tanyanya pada Pak Rama.
Pak Rama mengangguk. “Benar. Kalau kita terus berjalan, di tengah hutan sana ada sebuah camp. Kita bisa berhenti di sana jika merasa lelah.”
Flora memandang hutan itu dengan cemas. Bahkan dari luar, suasananya sudah terasa mencekam. “Hutan ini benar-benar... mengerikan,” gumamnya.
Nora merapatkan jaketnya sambil memperhatikan sekeliling. Meyrin memegang erat tangan Flora, sedangkan Farah menggenggam tangan ayahnya.
Wira menghela napas dan berkata tegas, “Baiklah. Ambil semua barang yang bisa kita bawa dan tinggalkan sisanya. Ucapkan selamat tinggal pada mobil ini. Ayo kita mulai.”
Tanpa banyak bicara lagi, tim Wira mulai memasuki hutan, dipandu oleh Pak Rama.
Mereka menyusuri jalan setapak yang tampaknya sering dilalui orang-orang sebelumnya. Namun, suasana tetap terasa mencekam. Angin dingin berembus, membawa suara dedaunan yang bergesekan. Di belakang Pak Rama, Wira berjalan dengan mata awas, mengawasi Farah yang dituntun oleh ayahnya. Tepat di belakang Wira, Flora menggandeng Meyrin, berusaha menenangkan anak kecil itu. Nora dan Bima berada di barisan paling belakang, menjaga kelompok mereka tetap terkawal.
Wira akhirnya membuka suara. “Pak Rama, berapa lama kita akan melewati hutan ini?”
Pak Rama menjawab sambil terus berjalan. “Mungkin sekitar delapan sampai sembilan jam jika kita berjalan tanpa henti.”
Wira menggeram pelan. “Sialan. Itu lama sekali.”
Flora menoleh ke arah Pak Rama. “Paman Rama, kau bilang tadi ada camp survivor di tengah hutan ini, kan?”
Pak Rama mengangguk. “Ya, memang ada camp. Tapi saya tidak tahu apakah camp itu masih bertahan atau sudah ditinggalkan.”
Wira menyeringai kecil. “Camp di tengah hutan? Itu tindakan yang cukup cerdas.”
Flora memiringkan kepalanya. “Cerdas? Kenapa begitu?”
Wira menatap Flora sebentar sebelum melanjutkan berjalan. “Yah, mungkin nanti kau akan melihat alasannya.”
Percakapan mereka terhenti, digantikan oleh suara angin dan kicauan burung yang sesekali terdengar. Setelah berjalan cukup lama, mereka akhirnya tiba di pinggir sungai kecil dengan aliran yang jernih.
Pak Rama berhenti dan berkata, “Kita bisa beristirahat sebentar di sini. Jangan khawatir, campnya sudah dekat. Untuk mencapai jembatan nanti, kita hanya perlu menyusuri sungai ini ke arah hulu, searah dengan camp.”
Flora meregangkan badannya, bersyukur atas istirahat yang diberikan. “Ahhh... akhirnya kita bisa bersantai sebentar,” katanya dengan senyum lega.
Mereka semua duduk di tepi sungai, menikmati sisa perbekalan yang tinggal beberapa potong roti. Di tengah suasana santai itu, Meyrin yang sedari tadi hanya diam akhirnya memberanikan diri menghampiri Farah.
Farah, yang sedang duduk di dekat ayahnya, memperhatikan Meyrin dengan sedikit ragu. Ketika Meyrin mendekat, Farah tersenyum canggung dan berkata, “Ah... h-halo.”
Meyrin membalas senyuman itu dengan malu-malu. “Hi... Mm, nama kamu Farah, ya? Aku Meyrin. Salam kenal.”
Farah yang mulai merasa nyaman tersenyum lebih lebar. “Halo, Meyrin. Mmm... Apa kamu takut padaku?” tanyanya dengan nada polos.
Meyrin menggeleng cepat. “Ah, tidak, tidak. Aku malah senang karena sepertinya aku punya teman baru.”
Farah tertawa kecil. “Hahaha, aku juga senang! Aku jadi punya teman lagi.”
Keduanya mulai bercakap-cakap dengan santai, saling bertukar cerita kecil meskipun suasananya sedikit canggung. Dari kejauhan, Wira yang sedang duduk di tepi sungai tetap mengamati Farah dengan tatapan tajam, memastikan bahwa dia tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan.
Bima, yang duduk tak jauh dari Wira, menoleh dan berkata pelan, “Kau tidak pernah santai, ya?”
Wira hanya mengangkat bahu, matanya tidak lepas dari Farah. “Kewaspadaan adalah senjata terbaik, Bima.”, Bima tertawa kecil, lalu menatap ke arah hutan yang semakin gelap.
Setelah mengisi tenaga dan perut sebentar, tim Wira melanjutkan perjalanan menyusuri sungai ke arah hulu. Malam kini telah sepenuhnya menyelimuti hutan, memaksa mereka mengandalkan penerangan dari senter yang dibawa Rizki. Cahaya senter itu memantul di antara pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak, menambah suasana mencekam di sekitar mereka.
Mereka berjalan saling berdekatan, memastikan tidak ada yang terpisah. Angin malam dingin menusuk kulit, dan suara gemerisik daun sesekali membuat mereka menoleh waspada.
Setelah berjalan cukup lama, Wira, yang sudah mulai lelah, bertanya, “Hei, Pak Rama, apakah kita sudah hampir sampai?”
Pak Rama terdiam sejenak, lalu menghentikan langkahnya. Semua orang ikut berhenti, menatapnya dengan penuh tanya.
“Ada apa, Paman?” Wira bertanya dengan nada serius.
Pak Rama tampak ragu. “Ini aneh... Seharusnya campnya ada di sekitar sini. Kalau campnya masih ada, harusnya kita sudah melihat cahaya terang yang biasanya dinyalakan di malam hari.”
Wira mengerutkan kening dan berbisik dengan nada sedikit menggoda, “Jangan-jangan kau lupa jalan, Paman?”
Pak Rama menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Memang di sini seharusnya.”
Tiba-tiba, sebuah cahaya terang dari lampu sorot menghantam wajah mereka, membuat mereka semua terkejut dan refleks menutupi mata. Suara berat seorang pria terdengar dari arah sorotan.
“Berhenti! Siapa kalian?”
Sekelompok orang bersenjata muncul dari balik kegelapan, senapan mereka diarahkan ke kelompok Wira.
Wira mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa mereka tidak berniat melawan. “Tenang, kami semua survivor.”
Pria yang memimpin kelompok itu mempersempit matanya, tetap mengarahkan senjatanya. “Kenapa kalian datang ke sini?”
Nora melangkah maju dengan pelan, menunjukkan sikap tenang namun penuh kehati-hatian. “Maafkan kami, Pak. Kami hanya ingin melewati Sungai Serayu. Untuk itu, kami harus menggunakan jembatan yang ada di tengah hutan ini.”
Pak Rama menambahkan, “Saya mendengar ada camp survivor di sini. Bolehkah kami mampir sebentar untuk beristirahat? Perjalanan kami cukup jauh.”
Pria itu memandangi kelompok mereka satu per satu, memastikan tidak ada yang mencurigakan. Sementara itu, Wira memikirkan situasi mereka dengan cepat. Jika mereka tidak diizinkan mampir ke camp, malam ini akan menjadi sangat berbahaya, mereka berada di tengah hutan tanpa cukup makanan dan perlindungan.
Wira akhirnya membuka suara, mencoba menawarkan jalan lain. Dengan senyuman kecil yang penuh percaya diri, ia berkata, “Hei, Tuan. Bolehkah aku tahu apa yang membuat kalian kesusahan? Kami bisa membantu jika itu memungkinkan.”
Pria itu tampak mempertimbangkan kata-kata Wira. Ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada timnya untuk menurunkan senjata mereka. “Hmph... Semuanya, turunkan senjata. Sepertinya mereka memang manusia.”
Setelah memastikan situasi lebih aman, pria itu melanjutkan, “Baiklah, kalau begitu, ikuti kami! Jangan coba-coba macam-macam.”
Setelah beberapa menit berjalan menuju camp, Wira melangkah mendekati Farah yang berjalan di samping ayahnya. Dengan suara pelan namun tegas, Wira berbisik, “Farah, jangan sampai kau terluka atau bahkan tergores sedikitpun.”
Farah menatap Wira dengan bingung. “Hmm? Kenapa?”
Wira tetap tenang, tetapi suaranya menunjukkan keseriusan. “Turuti saja. Kalau kau patuh, ayahmu tidak akan dalam bahaya.”
Farah, yang tidak benar-benar memahami maksud Wira, hanya mengangguk patuh.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah camp yang tersembunyi di tengah hutan. Camp itu dikelilingi dinding kayu tinggi yang dibangun rapat, memberikan perlindungan dari bahaya luar. Pria yang memimpin mereka berhenti di depan gerbang besar dan berkata, “Masuklah.”
Ketika gerbang dibuka, kelompok Wira melangkah masuk. Mereka langsung disambut pemandangan yang muram. Orang-orang di dalam camp tampak lemah dan lesu, wajah mereka penuh kelelahan dan keputusasaan. Kondisi camp sederhana, dengan tenda-tenda usang dan penerangan seadanya dari obor.
Wira memperhatikan dengan seksama, matanya membaca situasi tanpa melewatkan satu detail pun. Camp ini tidak baik-baik saja, pikirnya.
Kelompok Wira dipandu menuju sebuah bangunan kecil yang menjadi tempat pemimpin camp berada. Pria itu berkata, “Masuklah,” sebelum membuka pintu.
Di dalam ruangan sederhana itu, seorang pria tua duduk di kursi kayu yang terlihat hampir sama tuanya dengan dirinya. Penerangan dari obor memberikan bayangan di wajahnya, memperlihatkan raut wajah yang keras tetapi hangat.
Pria itu menyambut mereka dengan ramah. “Selamat datang di camp saya, Arcadia. Perkenalkan, nama saya Ronald. Saya pemimpin camp ini.”
Kelompok Wira memperkenalkan diri satu per satu. Setelah itu, Ronald menatap mereka dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Jadi, ada perlu apa kalian kemari?”
Pak Rama menjawab dengan sopan. “Maafkan kami yang sudah merepotkan, Pak Ronald. Kami sedang dalam perjalanan menuju Sungai Serayu dan harus melewati jembatan di hutan ini. Kami berharap bisa bermalam di sini sebelum melanjutkan perjalanan.”
Ronald mengangguk. “Begitu, ya? Ke mana tujuan kalian selanjutnya?”
Nora menjawab dengan nada hormat. “Kami menuju Kota Cakra, ke Camp Raflesia.”
Mendengar itu, Ronald tersenyum tipis. “Baiklah, saya mengerti. Hahaha. Beristirahatlah di sini. Maafkan tempat kami yang sederhana ini.”
Nora membungkukkan kepala dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih banyak, Pak.” Teman-temannya juga ikut membungkukkan kepala sebagai tanda hormat.
Namun, Wira yang dari tadi memperhatikan suasana camp membuka percakapan dengan serius. “Ngomong-ngomong, Pak Ronald, saya tidak bermaksud lancang, tetapi sepertinya kondisi di sini sedang tidak baik. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ronald tertawa kecil, meskipun terdengar pahit. “Terlihat sekali, ya? Memang benar, Tuan Wira. Kami sedang dalam kondisi yang sulit. Kelaparan melanda camp ini. Bahkan beberapa dari kami sudah wafat karena tidak ada cukup makanan.”
Bima mengerutkan kening, merasa bingung. “Tunggu... Bukankah di hutan ini banyak hewan liar? Dan kalian punya senapan. Bukankah seharusnya itu cukup untuk berburu?”
Ronald mengangguk, lalu menghela napas panjang. “Itu memang benar. Tetapi seperti yang kalian lihat, sebagian besar penghuni camp ini adalah perempuan dan anak-anak. Kami adalah para korban selamat yang melarikan diri dari kekacauan di luar sana. Sementara itu, jumlah pria dewasa di sini sangat sedikit.”
Ia melanjutkan dengan nada lebih rendah. “Dan sebenarnya... senjata kami tidak memiliki peluru. Itu hanya untuk gertakan.”
Wira langsung menatap Ronald tajam. “Hei, bukankah itu berbahaya? Kau mengatakan ini pada orang-orang yang baru kau temui!”
Ronald tersenyum kecil. “Hahaha tenang saja, Tuan Wira. Saya sudah hidup puluhan tahun. Saya tahu bagaimana membaca orang. Seperti yang saya katakan tadi, kebanyakan penghuni camp ini belum punya kemampuan berburu atau bertahan hidup. Jadi... kami masih bergantung pada cara-cara tradisional, seperti meramu di hutan.”
Mendengar itu, Wira tiba-tiba tersenyum. “Hahaha. Tenang saja, Pak Ronald. Kami tidak akan menjadi beban. Kami akan membantu kalian. Aku punya orang yang pandai berburu, seseorang yang pandai mengelola makanan, seorang ahli merancang senjata, dan tentu saja, seseorang yang sangat ahli dalam medis dan obat herbal. Kami akan membantu kalian sebaik mungkin.”
Mendengar itu, teman-teman Wira tersenyum, merasa bangga sekaligus terharu. Nora, khususnya, menatap Wira dengan penuh apresiasi.
Ronald tampak terkejut. “Tapi... bukankah kalian berencana melanjutkan perjalanan besok?”
Wira mengangguk mantap. “Itu tidak masalah. Kami akan memperpanjang waktu kami di sini selama satu hari. Setidaknya, kami ingin mengajari kalian beberapa hal agar kalian bisa lebih mandiri ke depannya.”
Mata Ronald sedikit berkaca-kaca. “Begitukah? Terima kasih banyak, Tuan-tuan dan Nona-nona. Saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan kalian.”
Wira tersenyum kecil. “Cukup bertahan hidup. Itu sudah lebih dari cukup.”
Setelah semua orang tertidur di tenda besar yang disediakan oleh Camp Arcadia, Wira tetap terjaga seperti biasa. Matanya menjaga Farah, memastikan gadis itu baik-baik saja. Namun, kali ini, Bima menepuk pundaknya dengan lembut.
“Kali ini aku yang berjaga. Kau tidurlah,” ujar Bima sambil tersenyum.
Wira balas tersenyum tipis. “Terima kasih, kau memang peka, tapi aku ingin keluar sebentar. Jalan-jalan.”
Bima mengangguk, memahami kebiasaan Wira yang sering memilih merenung sendirian. Wira beranjak keluar dari tenda, menghirup udara malam yang dingin dan sunyi. Langit cerah bertabur bintang, memberikan suasana yang damai namun kontras dengan kenyataan dunia yang sedang hancur.
Sambil berjalan, Wira bergumam pelan, “Hmm... kali ini aku berjalan di bawah keindahan langit dan di atas penderitaan.”
Suara lembut seorang wanita tiba-tiba memecah kesunyian. “Puitis sekali. Sepertinya kau adalah reinkarnasi Shakespeare.”
Wira menoleh dan melihat seorang wanita muda bersandar di salah satu bangunan sederhana camp. Wanita itu memiliki perawakan tinggi dengan aura yang penuh percaya diri.
Wira menyipitkan mata dan tersenyum kecil. “Bisa jadi. Mulutku adalah Shakespeare dan wajahku Alain Delon.”
Wanita itu tertawa lepas. Suaranya ringan, tetapi penuh kehangatan. Dia melangkah maju sehingga cahaya obor menyorot wajahnya. “Hahaha! Kau cukup menghibur, ya. Jadi, siapa namamu? Sepertinya kau salah satu tamu di sini. Perkenalkan, namaku Silvana.”
Wira mengangguk kecil. “Wira. Aku Wira.”
Silvana mendekat, berdiri tepat di hadapan Wira sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Hmm, sepertinya aku lebih tinggi darimu.”
Wira tertawa kecil, balas menatapnya tanpa gentar. “Ah, itu memang fakta. Tapi mungkin aku lebih pintar dan keren darimu.”
Silvana tersenyum lebar. “Oke, oke, aku menyerah. Ngomong-ngomong, terima kasih ya karena kalian bersedia membantu camp kami.”
Wira menatapnya dengan pandangan heran. “Terima kasih? Bagaimana kau tahu soal itu?”
Silvana menjawab santai. “Ayah memberitahuku. Jadi, aku tahu.”
Dalam hati, Wira langsung menyimpulkan. Jadi, dia anak Pak Ronald? Menarik.
Wira mengangguk. “Jadi kau putri Tuan Ronald?”
“Benar,” jawab Silvana dengan nada bangga. “Baiklah, Tuan Wira, sepertinya kau sedang berkeliling mengamati sekitar. Mari, aku temani. Kalau kau punya pertanyaan, akan aku jawab sebisaku.”
Wira tersenyum kecil. “Baiklah. Terima kasih, Nona Silvana.”
Keduanya mulai berjalan menyusuri area camp, mengamati setiap sudut yang terlihat suram namun tetap mempertahankan semangat hidup.
“Berapa banyak total orang yang tinggal di sini?” tanya Wira memecah keheningan.
“Saat ini ada 54 orang,” jawab Silvana tanpa ragu.
“Lalu ada berapa pria dewasa yang bisa menjaga camp ini?”
“Enam orang. Sisanya anak-anak dan wanita,” jawab Silvana dengan nada yang sedikit getir.
Wira mengangguk, menimbang informasi itu. “Kenapa kalian memilih untuk bersembunyi di hutan?”
Silvana menghela napas sebelum menjawab. “Walaupun di sini tidak ada listrik, kami mudah mendapatkan air. Selain itu, kami merasa lebih aman di sini.”
Wira mendengus. “Aman? Dari siapa?”
“Dari monster, tentu saja.”
Wira terdiam sejenak. “Monster, ya...”
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah tempat yang lebih tinggi. Dari sini, seluruh camp terlihat jelas. Silvana menunjuk ke arah timur, ke sebuah area yang tertutup bayangan gelap.
“Lihat ke sana,” ujar Silvana. “Itu pemakaman kami. Saat pertama kali datang, kami membawa 80 orang. Sekarang, hanya 54 yang tersisa.”
Wira mengikuti arah tunjuknya, menatap diam ke arah pemakaman. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, ia sudah memahami cerita di balik angka itu.
Silvana melanjutkan dengan suara yang terdengar seperti menyerah. “Ruo terlalu kuat. Kami tidak bisa mengalahkan mereka. Seperti yang kau lihat, camp ini sebenarnya lebih mirip kuburan daripada tempat berlindung. Kami sadar, sejak awal, ini hanyalah tempat untuk menunggu kematian. Kami sudah tidak lagi berharap”
Wira terdiam. Kata-kata itu terasa berat, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia mendongak ke langit malam yang penuh bintang, lalu menatap tanah di bawahnya.
“Silvana, bintang-bintang di atas itu indah, bukan?” tanyanya tiba-tiba.
Silvana mengerutkan dahi, bingung dengan arah pembicaraan Wira. “Ya, tentu saja.”
“Bintang itu biasa saja, sebenarnya,” lanjut Wira. “Yang membuat mereka indah adalah manusia yang bisa melihatnya. Sayangnya, aku tidak bisa melindungi bintang. Mustahil, kan? Tapi manusia... meskipun sering berbuat kesalahan, mereka adalah pencipta keindahan. Emosi dan perasaan mereka memberikan warna pada dunia.”
Silvana tertegun mendengar kata-kata Wira. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya terasa sangat serius dan tulus.
“Aku tidak bisa menerima kalau keindahan itu dicuri,” lanjut Wira. “Mereka Ruo dan Gougorr, datang dan dengan seenaknya mencuri emosi kita. Membuat kita tidak lebih dari boneka tanpa jiwa. Aku... sangat marah. Aku mungkin bukan yang terkuat atau terpintar, tapi aku sudah berjanji pada hatiku kalau diriku akan menjadi neraka bagi mereka.”
Silvana menatap Wira dalam diam. Mata Wira yang tajam seolah memancarkan api semangat yang membara. Untuk pertama kalinya, Silvana merasa ada secercah harapan.
“Hahaha, kau tidak bercanda, ya?” katanya sambil tersenyum kecil.
“Aku serius,” balas Wira singkat.
“Tapi, Ruo itu terlalu kuat. Bagaimana kau bisa mengalahkan mereka?”
Wira tersenyum tipis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Kekuatan yang besar menyimpan kelemahan yang besar. Mereka… bukan dewa.”.