Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Bella merasakan desakan dari tatapan Arnold yang seakan menembus pertahanannya. Dia mengatur napas, berusaha menjaga ketenangan. Senyumnya melemah sedikit, tapi dia tidak membiarkan kegelisahannya terlihat lebih jauh.
"Arnold," katanya, nada suaranya lebih lembut kali ini, "aku benar-benar tidak menyembunyikan apapun. Kamu tahu aku suka bersosialisasi, itu bagian dari diriku. Kalau aku terlalu sering keluar, itu hanya untuk menghindari kebosanan di rumah. Bukannya kamu senang melihat aku bahagia?"
Arnold mengerutkan kening, seakan mempertimbangkan kata-kata Bella. "Aku ingin kamu bahagia, Bella," jawabnya akhirnya. "Tapi kebahagiaan yang aku maksud bukan dengan cara seperti ini. Aku ingin ada rasa saling percaya di antara kita. Kalau kamu selalu menyembunyikan sesuatu, bagaimana aku bisa percaya padamu?"
Bella tersenyum lemah, lalu mencoba meraih tangan Arnold, menggenggamnya dengan manja. "Sayang, aku tidak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Mungkin aku harus lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Bagaimana kalau kita makan malam romantis besok? Aku akan memasak sendiri, seperti dulu waktu kita baru menikah."
Arnold tidak segera menjawab. Dia mengamati wajah Bella, mencari kebenaran di balik kata-katanya. "Kamu tahu aku tidak mudah diyakinkan, Bella," katanya dengan nada datar. "Tapi aku akan memberimu kesempatan. Jangan kecewakan aku lagi."
Bella mengangguk cepat, senyum kembali menghiasi wajahnya meskipun hati kecilnya berteriak panik. "Tentu saja, Papi. Kamu tidak akan kecewa," katanya, meskipun di benaknya dia sudah memikirkan langkah apa yang harus dia ambil untuk memastikan rahasianya tetap aman.
Arnold akhirnya berdiri, meraih jas yang terlipat di sofa. "Aku akan ke kantor lagi. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan."
Bella mengantarnya ke pintu dengan senyuman yang tampak tulus. Tapi begitu pintu tertutup, ekspresi di wajahnya berubah. Dia bersandar di dinding, menatap kosong ke lantai.
"Arnold mulai curiga," gumamnya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku harus lebih hati-hati. Ruben juga terlalu sembrono."
Bella kemudian melangkah menuju kamar, pikirannya penuh dengan strategi dan kekhawatiran. Dia tahu waktu tidak berpihak padanya, dan jika Arnold terus menyelidiki, segala rahasia yang dia coba lindungi bisa hancur dalam sekejap.
Bella duduk di tepi ranjang, jari-jarinya mengetik cepat di layar ponselnya. Pesan yang dikirimnya kepada Ruben penuh peringatan.
"Jangan menemuiku dulu. Arnold mulai curiga. Kita harus lebih berhati-hati."
Dia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponselnya di meja, mencoba mengatur napas. Namun, ponselnya segera berbunyi tanda balasan masuk. Dengan sedikit ragu, Bella membuka pesan dari Ruben.
"Tentu saja dia curiga. Aku yakin ini ulah anak tirimu dan kekasihnya itu. Mereka pasti sedang mencari cara untuk memisahkan kita."
Bella mendesah panjang, matanya menyipit membaca pesan itu. "Renaya dan Mario..." gumamnya, mengulang nama-nama itu dengan nada kesal. Dia tahu Ruben punya alasan kuat untuk mencurigai mereka, terutama Mario, yang selama ini terlihat terlalu protektif terhadap Renaya.
"Mereka tidak mungkin mengerti alasan kita melakukan ini," balas Bella akhirnya, mengetik dengan cepat. "Tapi untuk sekarang, jangan berbuat apa-apa yang bisa menimbulkan kecurigaan lebih lanjut. Aku akan cari cara untuk menenangkan Arnold."
Ruben membalas hampir seketika. "Kamu terlalu diam saja. Kalau aku, sudah dari dulu menyingkirkan Mario dari hidup anak tirimu itu."
Bella menelan ludah, merasakan desakan emosi yang membuat dadanya sesak. Dia tahu Ruben terlalu impulsif, tapi dia tidak bisa membiarkan kekacauan lebih lanjut terjadi. "Kamu tidak paham. Arnold tidak seperti orang lain. Sekali dia tahu sesuatu, dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan kebenaran. Kalau kamu bergerak tanpa rencana, semuanya bisa hancur."
Setelah mengirim pesan itu, Bella memandang layar ponselnya dengan tatapan gelisah. Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan? Semakin lama dia terjebak dalam permainan ini, semakin berisiko semuanya.
Tidak lama, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, Ruben menelepon.
"Kenapa kamu begitu takut dengan Arnold?" suara Ruben terdengar kasar di seberang sana. "Kalau dia mulai mencurigaimu, bukankah itu tanda bahwa kamu harus lebih cepat bertindak?"
Bella menggeleng meskipun Ruben tidak bisa melihatnya. "Ini bukan tentang bertindak cepat, Ruben. Ini tentang bertahan hidup. Aku tahu apa yang aku lakukan. Jadi, percayalah padaku."
Ruben mendesah keras. "Baiklah. Tapi aku tidak akan menunggu terlalu lama, Bella. Kalau ini semua terlalu rumit untukmu, aku bisa mengambil alih."
Bella menggigit bibirnya. "Jangan lakukan apa pun tanpa persetujuanku. Aku serius, Ruben."
**
**
**
Renaya duduk di sudut kantin kampus, memegang cangkir kopinya yang hampir dingin. Mata indahnya yang biasanya ceria kini tampak redup. Di hadapannya, Ivanka mengamati sahabatnya itu dengan alis berkerut, merasa ada sesuatu yang tak beres.
“Kamu kenapa, Ren?” tanya Ivanka lembut, mencoba memecah keheningan di antara mereka.
Renaya hanya menggelengkan kepala, menghindari tatapan Ivanka. Dia tidak ingin sahabatnya tahu apa yang sedang terjadi, tetapi Ivanka terlalu cerdik untuk dikelabui.
“Jangan bohong sama aku,” desak Ivanka, suaranya tegas tapi tidak menghakimi. “Aku tahu ada sesuatu yang nggak beres. Kamu nggak pernah murung begini kalau nggak ada alasan besar. Apa ini soal Daddy Mario?”
Renaya terdiam sejenak, jari-jarinya gemetar di atas cangkir kopi. Dia tahu Ivanka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan jawaban. Akhirnya, dengan napas panjang, dia mengangkat pandangannya, tatapannya penuh kebingungan dan keputusasaan.
“Van, aku sepertinya ingin menyudahi hubunganku dengan Daddy,” kata Renaya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah keramaian kantin.
Ivanka tertegun, matanya membesar karena terkejut. “Apa? Kenapa? Bukannya kamu selalu bilang kalau kamu nyaman sama dia?”
“Aku nyaman, Van. Tapi aku juga takut.” Renaya memainkan ujung lengan bajunya, mencoba menenangkan diri. “Daddy Mario terlalu... mengontrol. Dia nggak mau aku melakukan apa-apa tanpa izinnya. Bahkan bertemu Papi saja dia marah besar.”
Ivanka menghela napas panjang, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Ren, kalau kamu merasa dia terlalu mengontrol, mungkin memang lebih baik kamu pikirkan ulang hubungan ini. Tapi kenapa kamu bilang sepertinya dia nggak akan melepaskanmu?”
Renaya menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya, Van. Daddy Mario itu orang yang sangat dominan. Dia nggak pernah mengizinkan aku pergi dari hidupnya. Dia bilang aku miliknya, dan dia nggak akan pernah membiarkan aku pergi.”
Ivanka menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran. “Renaya, itu nggak sehat. Kamu nggak bisa hidup dalam hubungan seperti itu. Kamu butuh kebebasan, butuh ruang untuk jadi dirimu sendiri.”
“Tapi aku nggak tahu harus bagaimana,” ujar Renaya, suaranya bergetar. “Aku takut dia akan melakukan sesuatu kalau aku benar-benar memutuskan hubungan ini.”
Ivanka meraih tangan Renaya, menggenggamnya dengan erat. “Kamu nggak sendiri, Ren. Kalau kamu mau keluar dari hubungan ini, aku bakal bantu kamu. Kita bisa cari bantuan. Kamu nggak harus menghadapi ini sendirian.”
Renaya tersenyum kecil, meski air matanya mulai mengalir di pipi. “Terima kasih, Van. Aku cuma... Aku belum siap. Aku nggak tahu kapan waktu yang tepat.”
“Kapan pun kamu siap, aku ada buat kamu,” kata Ivanka dengan mantap. “Tapi kamu harus janji satu hal, Ren. Jangan biarkan dia membuatmu merasa terkurung. Kamu pantas untuk bahagia.”