Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran
Evelin merasakan wajahnya memanas saat mata Gunner menatapnya. Dia merasa terpojok dan malu, ingin menghilang dari situasi itu. Dengan cepat, dia beranjak, berbalik dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
Namun, langkahnya terhenti ketika Gunner berlari ke hadapannya dan menghalangi jalan. "Evelin, tunggu!" katanya dengan nada yang tidak terlalu keras, namun penuh otoritas.
Evelin merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tidak ingin berhadapan dengan Gunner, tidak ingin melihat mata yang selalu membuat dia jatuh cinta. Dia mencoba menghindar, tapi Gunner mengikuti gerakannya.
Malam itu, cahaya lampu jalan memantulkan bayangan Gunner di wajah Evelin yang pucat. Dia menunduk, rambut basahnya jatuh ke bahu, menutupi wajahnya yang malu.
Gunner memegang tangan Evelin, khawatir. "Evelin, apa yang terjadi? Berenang di musim dingin sangat berbahaya. Kamu bisa sakit!" suaranya lembut namun penuh kecemasan.
Evelin tetap diam, tidak berani menatap Gunner. Kenangan masa lalu mereka terus menghantui pikirannya. Cara dia memeluk Gunner dalam sebuah jaket dan kehangatan dada kokoh pria itu, tiba-tiba bermunculan seperti sebuah memori yang baru terpasang setelah lama hilang.
Dia merasa tidak tahan dengan ketidak tahuan Gunner. Dengan memori Gunner yang bahkan tidak mengenalnya setelah lima tahun. Kenapa pria itu begitu bodoh dalam mengingat wajah seseorang? Dia merasa kesal, entah pada Gunner atau pada dirinya sendiri yang tidak bisa jujur.
Evelin menatap mata Gunner, perasaannya campur aduk. Salju jatuh di sekitar mereka, menciptakan suasana magis namun menyakitkan.
"Senior, apa kamu benar-benar tidak ingat padaku?" Evelin bertanya dengan suara lembut, mata mereka tetap bertemu.
Gunner menggelengkan kepala, wajahnya penuh kecemasan. "Apa yang aku lakukan, Evelin? Beritahu aku."
Evelin menarik napas dalam-dalam, kata-kata tergantung di bibirnya. Salju terus jatuh, membasahi wajah mereka. Di antara waktu itu, dia tiba-tiba menarik tangan Gunner, membawanya menjauhi kerumunan orang. Teman-teman Gunner terlihat bingung, namun memilih untuk tidak ikut campur. Mereka saling menatap, heran dengan perilaku Evelin yang tiba-tiba.
Evelin membawa Gunner ke taman yang sepi, salju menutupi jalanan. Cahaya lampu taman memantulkan bayangan mereka. Suara salju jatuh dan napas mereka menjadi satu-satunya suara.
"Evelin, apa kamu mabuk?"
Evelin mendongak, matanya menyimpan kekesalan dan kesedihan yang dalam. Dia merengut, suara napasnya terdengar terengah-engah. Gunner menatapnya dengan mata bingung, tidak mengerti apa yang terjadi.
"Apa yang salah, Evelin?" Gunner bertanya dengan suara lembut, mencoba memahami.
Evelin menunduk kembali, rambutnya jatuh ke wajahnya seperti tirai yang menyembunyikan kesedihannya. "Kau bilang kau akan pergi ke Australia setelah lulus, kan?" katanya dengan suara rapuh. "Aku harap kita tidak pernah bertemu sebelum itu."
Gunner terkejut, matanya membesar. Dia merasa seolah-olah dipukul oleh kejutan yang tak terduga. "Evelin, apa yang terjadi? Apa yang membuatmu berkata seperti itu?" suaranya penuh keheranan dan kecemasan.
Kesunyian tegang mengelilingi mereka, hanya terdengar suara salju jatuh yang memperkuat kesan emosional. Gunner merasa kehilangan kontrol, berusaha memahami apa yang terjadi antara mereka. Evelin tetap diam, menyembunyikan rasa sakitnya di balik kesunyian.
Dia tiba-tiba mendecak keras, matanya memancarkan amarah dan kesedihan. Dia mendorong pundak Gunner dengan kekuatan yang tak terduga, menyudutkannya ke tembok. Gunner terkejut, wajahnya pucat, namun dia tidak memberontak.
"Apa... apa yang terjadi, Evelin?" Gunner bertanya dengan suara terguncang.
Evelin menatapnya dengan mata berapi. "Lima tahun, Gunner! Aku mencarimu selama lima tahun. Aku menemukanmu, dan kau tidak ingat aku?!" suaranya pecah, air matanya mengalir.
Gunner terlihat bingung, matanya membesar. "Mencariku? Lima tahun? Aku tidak mengerti..."
"Kau benar-benar tidak ingat, ya?"
Evelin menunduk, bayangan kesedihan meliputi wajahnya seperti awan gelap. Genggaman tangannya melemah, Gunner merasakan kekosongan yang mendalam. "Maka ingatkan aku lagi. Apa kita memang pernah bertemu?" Gunner bertanya, suaranya terdengar putus asa dan penuh keheranan. Kesunyian mengelilingi mereka, hanya terdengar suara nafas yang terengah-engah.
Evelin tetap menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Kau yang menyelamatkanku dari traumaku, rasa putus asa dan rasa bersalahku." Dia berhenti sejenak, napasnya terdengar terengah-engah. "Aku mencarimu selama lima tahun! Aku tidak pernah putus asa untuk menemukanmu. Tapi kau, kau bahkan tidak mengenalku. Apa kebaikan yang kau berikan hanya sebuah kebiasaan yang memang sering kau lakukan pada orang lain?"
Ketika kepalan Evelin melemah dan jatuh, Gunner memeluknya dengan hangat. Meskipun ingatannya masih kosong, hatinya tidak tahan melihat Evelin terlihat sedemikian menyedihkan. Dengan lembut, dia menepuk kepala Evelin, berusaha menenangkan. "Aku harap itu tidak benar, Evelin. Aku tidak mau kau terlibat dengan pria sepertiku. Jikapun itu benar, aku harap kau bisa segera melupakannya dan hidup dengan baik."
Evelin terperangah, mata lembutnya berkilat dengan kekecewaan. "Apa semua perjuanganku untuk menemukanmu hanya berakhir dengan penolakan?" Suaranya bergetar.
Evelin mendorong Gunner dengan kuat, berdiri tegak di hadapannya. Matanya berkilat dengan amarah dan kesedihan. "Lupakan apa yang aku katakan, senior. Aku minta maaf atas kesalahanku... Menemukanmu, menyukaimu dan mempercayaimu."
Evelin melarikan diri dengan cepat, meninggalkan Gunner yang masih terpaku. "Evelin!" Gunner berseru, namun langkahnya terhenti, terikat oleh keraguan dan kesadaran atas kesalahannya.
Evelin lenyap dalam pandangan, meninggalkan Gunner yang terpaku dalam kejutan dan penyesalan. Dia memijat dahinya, mencoba mengerti kesalahannya. Dengan nafas dalam, dia berbalik dan kembali pada teman-temannya.
"Gunner, siapa gadis tadi?" teman-temannya bertanya bersamaan, nada ejekan terdengar jelas. "Apa yang kau lakukan kali ini untuk membuatnya tergila-gila?"
Gunner menghela nafas dalam, matanya memandang jauh. Dia tidak membalas ejekan teman-temannya, seolah membiarkan kesedihannya mengalahkan kekesalannya. Dia berjalan dan masuk kembali ke dalam bar. Semua temannya di tinggalkan begitu saja, menatap dengan linglung memperhatikan kepergian Gunner.
"Hei, Gunner! Kitakan habis minum tadi, kau mau minum lagi?"
"Iya!"
Gunner masuk ke dalam bar, duduk di bangku yang sama, dan memesan minuman keras. Dia meneguknya dengan cepat, berusaha menghilangkan rasa sakit. Wanita-wanita yang sebelumnya terpikat padanya kini mendekat lagi, "Gunner, kamu kembali untuk kami?"
Gunner, yang biasanya menerima pendekatan dan membuat godaan panas, kini hanya terdiam murung di kursi depan. Dia tidak membuat tanggapan dan hanya sibuk meneguk alkohol. bahkan, saat ponselnya berdering dan nomor pacarnya muncul di layar, dia tampak tidak peduli
Saat semua wanita itu ikut duduk di kursi yang sama dengannya, dia menoleh dengan mata kabur. Wajah Gunner terlihat lemah, bahkan cahaya lampu tidak mampu menembus kabut alkohol.
"Gunner, kau baik-baik saja? Mau memesan kamar denganku?" Salah satu di antara mereka mulai melingkarkan tangannya di leher Gunner, dan dia tidak menolak. Terlalu mabuk untuk berpikir jernih.
"Ugh.. Aku akan pulang."
Gunner bangun, melangkah dengan susah payah. Pusing hebat menghantam kepalanya. Wanita-wanita itu mendekat, memapahnya dengan kasih sayang. "Gunner, kau tidak bisa mengemudi. Tidur di sini, kita akan menjagamu."
"Tidak. Aku akan tidur di asrama malam ini."
Gunner menolak bantuan, melangkah dengan tegang. Saat mencapai ambang pintu, ingatan tentang gadis kecil muncul, membebani kepalanya. Dia ingat wajah manisnya, saat dia hendak melompat dari gedung rumah sakit.
Gunner memijat dahinya dengan kuat, mencoba mengusir kenangan aneh. Namun, langkahnya lemah. Wanita-wanita itu menyusul, memapahnya ke kamar pribadi di bar.
"Berhenti menolak, Gunner. Kau tidak biasanya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
Gunner tidak membuat tanggapan. Dalam pikirannya terus tergambar setiap ekspresi yang tergambar di wajah Evelin. Cara gadis itu marah, sedih dan kesakitan. Semuanya tergambar dengan jelas dan tidak dapat di hilangkan.