Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 DITANDAI BAHKAN SEBELUM BERTINDAK
Sepuluh menit kemudian, Louis keluar dari klub Kesehatan. Masih kurang 25 menit lagi, untuk ujian di hari kelima diadakan. Dia memang tak berniat masuk ke kelas sejak awal. Sebagai siswi pertukaran dia memiliki hak untuk tidak mengikuti ujian bulanan. Maka dari itu dia langsung pergi ke ruangan Dewan Kedisiplinan.
Tok tok tok
Tanpa menunggu dibukakan pintu, Louis membuka pintu sendiri, dan langsung masuk begitu saja.
Kedua orang didalam seketika memusatkan perhatian pada pintu masuk.
Louis berjalan masuk tanpa mengatakan apa-apa. Dia hanya bicara, saat akan duduk. "Ketua, aku sudah selesai," katanya melapor dengan singkat.
"Hmm, kau kembali lebih cepat dari jadwal, bagaimana disana?" tanya Evan basa-basi.
"Semuanya lancar, mereka awalnya meremehkan kita, tapi saat aku membuktikannya dengan kemampuan ku. Mereka malah berniat merekrut ku," jawab Louis.
"Kau tolak."
"Jelas. Aku sudah susah-susah merencanakan untuk pulang awal. Kenapa aku harus tinggal lebih lama."
"Itu tak seperti dirimu," kata Evan penuh lelucon.
Louis tak menjawab, faktanya dia hanya ingin cepat pulang. Itulah kenapa dia membuat gebrakan agar mereka diam. Tapi sesuatu yang merepotkan malah terjadi, mereka berniat menahannya, benar-benar menyebalkan.
"Bukannya kau benci sekolah disini," kata Evan lagi.
"Ketua, kan tahu," balas Louis lemah.
Evan menggelengkan kepala, dia berkata degan nada menggoda, "Apa, aku tidak tahu."
"Evan, senang sekali melihat leluconku, ya."
Evan terkekeh, dia memang senang sekali melihat Louis yang biasanya acuh, menjadi lebih manusiawi karena seorang gadis.
"Kau kenapa diam, Gan," kata Louis mencoba mengalihkan topik.
"Jangan bicara padaku," bentak Gandi dengan melotot tajam.
"Apasih," balas Louis tak mengerti.
Gandi memalingkan muka marah. Dia tak akan memaafkan Louis dengan mudah kali ini.
"Kau marah," tebak Louis.
Gandi pura-pura tuli, selain tak peka, Louis rupanya, "Bodoh," kutuk nya dalam hati.
"Terserahlah," ucap Louis acuh. Terlalu lelah menghadapi sikap tak jelas Gandi. Dia lalu mengeluarkan isi tas yang sebelumnya dia bawa. "Aku membawakan teh Chamomile," dia mengambil satu gelas, menyerahkannya langsung pada Evan, "Ketua, cobalah. Ini teh yang enak. Aku sudah mencobanya tadi."
Gandi diam-diam melirik sekilas, teh di atas meja.
"Kau kembali, hanya membawa ini," kata Evan ragu. Jika hanya bungkusan teh mentah maka itu mungkin. Tapi teh dalam cup yang masih hangat. Tak mungkin kan Louis repot-repot membawa tas khusus dari luar negeri kesini. Atau sekedar menyeduhkan mereka 8 gelas teh. Itu sama sekali bukan gayanya.
"Iya, eh, tidak. Aku mendapatkannya dari klub Kesehatan," hampir saja Louis keceplosan. Sesungguhnya dia tidak membawa oleh-oleh apapun. Pikirannya hanya tertuju pada barang-barang kesukaan gadisnya. Sehingga melupakan yang lain.
Evan menatap gelas teh ditangannya, dia berkata, "Mereka membuat ini."
"Ketua, tidak tahu," kata Louis heran.
Evan diam, dia memang tidak tahu. Sebelumnya dia memang menduga akan ada perubahan dengan bergabungnya murid baru. Tapi tidak disangkanya itu akan secepat ini.
Matanya menatap lama, pada gelas di tangannya. Teh nya hangat, meski tutupnya tak dibuka, aromanya sudah tercium harum.
Dengan tenang Evan mendekatkannya pada indra penciumannya, menikmati aromanya yang menenangkan, lalu tanpa tergesa-gesa menyeruputnya dalam satu sesapan. Dia tidak langsung menelannya, membiarkan cairan teh tinggal lama di rongga mulutnya, baru kemudian menelannya. Benar saja, rasa yang tertinggal di lidah bukanlah teh biasa.
Evan pernah minum teh Chamomile, tapi sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan teh ini. Rasanya mungkin mirip tapi entah kenapa berbeda, dan perubahan di tubuhnya yang langsung terasa, Gadis itu memang tak terduga.
"Aria mengeluarkan teh ini tiga hari lalu. Bagaimana mungkin Dewan Kedisiplinan tidak tahu," kata Louis saat melihat ketuanya hanya diam.
Mendengar nama gadis asing disebutkan, memunculkan rasa penasaran Gandi.
"Siapa Aria?" tanya Gandi. Seketika dia melupakan aksi marahnya tadi.
Louis memasang wajah aneh, "Aria, anggota baru klub Kesehatan."
"Ha, jadi itu nama murid baru," seru Gandi terkejud.
Mendengar itu ekspresi Evan tidak berubah. Sejak awal dia sudah menduga siapa yang membuat teh ini.
"Kau baru tahu."
Gandi menggaruk kepala, "Selama ini kami hanya menyebutnya murid baru-"
Louis mengangguk paham, pantas saja, tapi seperti ada yang salah disini.
"-Jadi namanya, Aria. Kenapa juga aku baru sadar, kalau aku tidak tahu namanya, haihhh. Ketua apa kamu mengetahuinya?"
Evan tak menjawab, hanya meliriknya dengan santai.
"Tunggu, kenapa kalian sering menyebutnya."
"Ya, itu bukannya karena ketua yang-" Gandi tak melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba otaknya mengingat sesuatu, "Hei, aku sedang marah, kenapa aku bicara padamu," dia mendengus kesal.
Gandi berdiri berniat untuk pergi, baru dua langkah dia kembali lagi, bukan untuk bicara pada Louis. Tapi mengambil satu gelas teh di atas meja. Setelahnya dia benar-benar pergi, keluar dari ruangan.
"Apa-apan dia itu," kata Louis. Dia mengalihkan pandangan pada Evan, lalu berkata, "Ketua apa ya-"
Evan mengabaikannya, memilih sibuk dengan bacaannya yang tertunda. Masalah murid baru selalu mengusiknya.
"Aria, ya," batinnya menggumamkan nama.
Hanya dua tipe nama yang membuatnya sampai menyebutnya dalam hati. Yang pertama adalah musuhnya sejak awal, yang kedua adalah musuhnya yang menghalangi jalannya dimasa depan. Sejauh ini tidak ada yang ketiga, jadi entah Aria musuhnya sejak awal atau akan menjadi musuhnya dikemudian hari.
...----------------...
Di tempat lainnya.
Orang lain juga sedang membicarakan teh Chamomile, tapi tak ada suasana gembira sedikitpun, melainkan kemarahan dan kebencian.
'Prang'
Sebuah gelas dilemparkan ke lantai menimbulkan suara yang nyaring.
Ekspresi dingin masih menghiasi wajah Cecilia, memecahkan gelas tak cukup meredakan emosinya. Dia pikir teh Chamomile yang dikeluarkan klub Kesehatan hanyalah sebuah lelucon. Seperti usaha-usaha mereka sebelumnya untuk mempertahankan klub. Tak akan ada membuat perubahan apapun. Tapi sampai tiga hari telah berlalu. Nama klub Kesehatan semakin menjadi baik, dengan teh yang katanya merupakan obat ampuh, yang bisa menyembuhkan penyakit.
Cecilia pikir itu hanya omong kosong, dia yakin klub Kesehatan hanya menyebarkan rumor, yang membuat orang tersugesti, sampai kemudian dia merasakan sendiri.
Akhir-akhir ini cuaca memang aneh. Bulan yang seharusnya menunjukkan musim kemarau. Berubah menjadi penghujan. Suhu menjadi sangat panas. Hingga tubuh seseorang tidak tahan untuk jatuh sakit. Termasuk dirinya.
Tapi saat dia mencoba teh milik klub Kesehatan. Tubuhnya tiba-tiba menjadi sehat. Tidak masalah jika yang mengeluarkan teh bermanfaat ini adalah orang lain. Tapi jika itu klub Kesehatan. Maka itu adalah masalah besar.
Jika sampai klub Kesehatan bangkit. Maka klub Palang Merah akan kembali tertindas. Mereka akan kembali menjadi cabang yang tidak penting. Dana sekolah akan menjadi hak klub Kesehatan sepenuhnya.
Dia tak bisa membiarkan hal itu terjadi.
"Kita tak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Orang-orang mulai mempercayai klub kesehatan lagi. Dan itu tidak bagus untuk klub kita."
Tiga orang yang sebelumnya menunduk mengangkat kepala mereka.
Salah satunya ragu-ragu saat bicara, "Mungkin ini hanya akan terjadi sesaat saja. Karena kebetulan semua orang sedang dalam masa ujian. Sehingga mereka sangat membutuhkan teh ini."
Gadis itu bernama Jinan, wakil klub Palang Merah. Sayangnya posisinya hampir jarang disadari orang lain bahkan sudah terlupakan. Karena semua hanya tahu, Cecilia pemegang kuasa atas segala yang terjadi di klub.
"Bahkan jika ini hanya sesaat, aku tak akan membiarkannya," kata Cecilia lantang.
Jinan yang baru saja bicara menjadi pucat.
Melihat ekspresi Jinan yang tidak benar, Cecilia dengan cepat merubah ekspresinya, dengan senyuman palsu, dia berkata lembut, "Aku tidak marah padamu. Aku hanya mengkhawatirkan klub kita. Kalian tahu kan bagaimana dulu klub Palang Merah diabaikan. Sekarang kita bisa mengangkat kepala kita tinggi-tinggi. Bagaimana aku tega membiarkan orang lain menganggap kita remeh lagi."