Kamila gadis yatim piatu mencintai Adzando sahabatnya dalam diam, hingga suatu malam keduanya terlibat dalam sebuah insiden.
Adzando seorang artis muda berbakat.
Tampan, kaya, dan populer. Itulah kata-kata yang tepat disematkan untuknya.
"Apapun yang kamu dengar dan kamu lihat, tolong percayalah padaku. Aku pasti akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan. Kumohon bersabarlah."
Karena skandal yang menimpanya, Adzando harus kehilangan karier yang ia bangun dengan susah payah, juga cintanya yang pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku, Do. Aku harus pergi. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai."
"Mila... Kamu di mana? Aku tidak akan berhenti mencarimu, aku pasti akan menemukanmu!"
Kerinduan yang sangat mendalam di antara keduanya, membuat mereka berharap bahwa suatu hari nanti bisa bertemu kembali dan bersatu.
Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Mari baca kisahnya hanya di sini ↙️
"Merindu Jodoh"
Kisah ini hanya kehaluan author semata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
...*...
Dear Zando
Bertemu denganmu adalah hal terindah dalam hidupku, tapi takdir berkata lain. Biarlah persahabatan kita, menjadi masa lalu yang indah, dan menjauhimu suatu keharusan bagiku.
Aku pamit dan semoga hari-harimu selalu dalam kebahagiaan. Aku berdoa semoga setelah ini, kamu menemukan cinta sejatimu di masa depan.
Terimakasih atas waktumu, dan ketulusanmu padaku. Maafkan aku yang selalu merepotkanmu, dan terimakasih atas segalanya.
Semoga kita dipertemukan di akhir takdir yang baik.
^^^Kamila^^^
"Ninooo....!!!"
Mendengar namanya diteriakkan, Nino langsung melesak masuk ke dalam kamar dengan wajah bingung. Ia terkesiap menyaksikan sahabatnya jatuh berlutut di lantai dengan kepala tertunduk. Tangan kanannya memegang selembar kertas yang ia tak tahu apa isinya.
"Kenapa kamu pergi, Mil?" Zando terisak, hingga bahunya bergetar hebat.
"Apa yang terjadi, Do? Di mana Kamila?"
"Dia pergi, No. Kamila sudah pergi," gumam Zando lirih.
Kemudian ia meringkuk di lantai, sambil terus menggumamkan nama Kamila.
Nino merasa terenyuh dengan apa yang menimpa sahabatnya. Lalu ia keluar dari kamar dan menghampiri Pak Ustad.
"Maaf, Pak Ustad sepertinya sahabat saya tidak jadi menikah. Ternyata terjadi miskomunikasi di antara mereka. Maaf, sudah mengganggu waktu Anda sekalian." Nino mengatupkan kedua tangannya.
"Oh, tidak apa-apa, Mas. Tidak masalah buat kami. Kalau begitu kami permisi."
Sebelum kedua orang itu pergi, Nino memberikan amplop yang sedianya akan diberikan setelah akad nikah selesai. Akan tetapi, ternyata kenyataan tak seindah harapan, dan Nino tetap memberikannya sebagai permintaan maaf.
"Terimakasih, Mas. Seharusnya tidak perlu repot-repot, toh acaranya tidak jadi."
"Tidak apa-apa, Pak. Mungkin sudah menjadi rejeki Bapak."
"Baiklah, ini saya terima ya, Mas. Kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga menjadi barokah. Kami permisi, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Nino membalas salam lalu menghela nafas lega.
"Huuuft ...!"
Nino menghembuskan nafas kasar, sambil mengacak rambutnya. Kemudian ia bergegas kembali ke kamar, dan mendekati Zando. Ia mengambil kertas yang ada di tangan sahabatnya itu, lalu membacanya.
Nino membekap mulutnya, matanya mulai berembun. Ia berusaha agar tidak menumpahkan airmatanya. Kemudian pandangannya beralih ke arah meja, lalu menghampirinya.
"Cek atas nama Tuan Moreno? Apa pria itu ada hubungannya dengan kepergian Kamila? Syaaalaaan!" Nino menggebrak meja.
"Do, jangan hanya meratapi kepergian Kamila, ayo kita susul dia, semoga belum jauh."
Zando langsung terbangun dan berdiri. Lalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Selanjutnya tanpa banyak drama mereka segera meninggalkan apartemen yang ditinggali Kamila.
.
.
.
Sementara Kamila sendiri, saat ini telah sampai di apartemen temannya. Lebih tepatnya juniornya di rumah sakit.
Tok tok tok
Ceklek
"Dokter Kamila .... Anda...?" Gadis itu menutup mulutnya yang terganga, karena tak menyangka dokter cantik yang merupakan seniornya itu akan datang ke apartemennya.
"Assalamualaikum, Dokter Aruni."
"Waalaikumsalam, Dokter Kamila. Mari, silakan masuk!"
Kamila lantas masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu.
"Maaf, jika kedatangan saya mengganggumu. Tapi saya memang tidak tahu lagi harus ke mana."
"Maaf, Dok. Sebenarnya ada apa?"
"Jangan panggil saya dokter lagi, karena saya sudah resign dari rumah sakit tempat kita bekerja."
"Haahhh ...? Anda serius, Dok?"
"Iya, dan saya juga sudah mengabari yang lain lewat group chat. Bolehkah saya menumpang semalam di sini, sebelum besok saya akan pulang kampung?"
"Boleh-boleh, besok saya antar Dokter Kamila ke terminal. Ada kok, bus yang berangkat pagi."
"Terimakasih."
"Maaf, Dok, kalau saya kepo. Tapi kenapa Dokter Kamila memilih resign jika hanya akan pulang kampung?"
Kamila menarik nafas berat. Lalu menjawab, "Saya pulang kampung, karena orangtua menjodohkan saya dengan pria pilihan mereka."
"Astaga, Dokter! Hari gini masih ada aja perjodohan. Ck!"
"Oh ya, boleh saya titip koper saya ini di sini? Isinya hanya pakaian tidak seberapa, tapi kalau Dokter Aruni mau, pake aja. Atau disumbangkan ke panti asuhan."
"Baiklah, itu bisa diatur. Oh ya, apa Dokter Kamila sudah makan?"
Kamila menggelengkan kepala. Sebenarnya lapar, tapi ia ingin segera tidur agar besok, bisa bangun pagi dan segera pergi.
"Ya udah, kita makan dulu aja ya, Dok."
"Tidak perlu, saya ingin segera tidur, supaya besok tidak telat bangun pagi."
"Baiklah, kalau begitu kemauan Anda."
Kamila bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan berganti baju tidur, setelah selesai ia langsung merebahkan dirinya di atas ranjang bersisian dengan Dokter Aruni.
.
.
.
Nino memacu kendaraannya menyusuri jalanan. Pemuda itu nampak fokus menatap ke depan, sedang Zando duduk di sampingnya dengan gelisah. Ia mengarahkan pandangannya keluar jendela, yang sengaja tidak ditutup, agar bisa leluasa mengamati jalanan, atau orang-orang yang berlalu-lalang.
"Kita cari ke mana duluan, No?" tanya Zando.
"Kita cari ke bandara, kalau tidak ada, baru kita ke stasiun dan terminal."
"Mana mungkin dia ke bandara, sedangkan dia pernah bilang takut naik pesawat?"
Nino terdiam, otaknya berpikir dengan cepat untuk mengambil keputusan.
"Kita ke terminal dulu, kalau tidak ada baru nanti ke stasiun."
Nino lantas memacu mobilnya menuju terminal. Tak butuh waktu lama mereka sampai di terminal. Nino langsung turun diikuti Zando di belakangnya. Mereka kemudian mendatangi agen bus yang ke arah kampung Kamila.
"Maaf, Pak. Apakah ada gadis ini membeli tiket di sini?" tanya Nino sambil memperlihatkan foto Kamila di ponsel Zando.
"Waaah... Tidak ada, Mas. Kalau mbaknya yang seperti di dalam ponsel itu. Soalnya kadang mereka juga membeli tiket tidak mesti pakai nama sesuai KTP."
"Baiklah, Pak. Terimakasih."
Nino segera berlalu dari sana. Dia tidak langsung kembali ke mobil, melainkan berjalan menyusuri area terminal. Bahkan toilet dan mushola tak luput dari penyusurannya. Sedangkan Zando hanya mengekor dari belakang.
"Ke mana kamu, Mila? Kenapa kamu mengambil keputusan sendiri tanpa memberitahuku?" Zando menundukkan badannya, dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya.
"Kita ke mana lagi, No?"
"Coba kita ke stasiun, siapa tahu dia mau naik kereta."
Mereka kembali ke mobil dan Nino langsung tancap gas menuju ke stasiun, sementara Zando hanya diam saja sambil memperhatikan sekeliling.
"Kamu tahu gak, siapa kira-kira teman-teman Kamila?"
"Aku tidak tahu, gak pernah bertanya juga."
"Minimal, meskipun satu orang, pasti punya temanlah, Do!"
Zando hanya mengedikkan bahunya, sebab meski dekat dengan Kamila, mereka tidak pernah membicarakan teman mereka jika sedang bersama. Kamila lebih banyak jadi pendengar daripada berbicara. Selebihnya Zando yang selalu meramaikan suasana, dengan candaan dan tingkahnya yang konyol.
Mereka segera turun dari mobil, begitu sampai di stasiun. Dan mereka pun melakukan hal yang sama, dengan apa yang dilakukannya di terminal.
Keduanya terlihat frustasi, lalu duduk di bangku sambil menenggak air mineral karena haus.
Merasa tidak mendapatkan hasil, mereka memutuskan untuk pulang.
"Kita pulang aja, mungkin Kamila sudah pulang menggunakan bus, atau bisa jadi dia memilih jalur lain, agar keberadaannya tidak terlacak."
"Ya, kamu benar. Kalau begitu antar aku ke rumah sakit. Siapa tahu dia ada di sana. Aku lupa kalau hari ini dia shift malam."
"Shift malam...? Astaga Zando! Kamu ini benar-bener ngerjain orang, ya!"
"Ya, maaf. Aku tadi panik, jadi tidak bisa mikir."
Meskipun kesal tapi Nino tetap mengantar Zando ke rumah sakit, tempat Kamila bekerja. Karena bagaimanapun juga, ia tidak akan tega membiarkan artisnya itu berkeliaran sendiri, apalagi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
Setiba di rumah sakit, Zando segera menghampiri resepsionis yang bertugas.
"Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Dokter Kamila?"
"Dokter Kamila? Hari ini beliau sudah mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri?"
"Iya, benar. Tapi Anda bisa bertanya langsung pada direktur kami. Kebetulan beliau masih ada di sini."
"Terimakasih."
Zando dan Nino bergegas menemui direktur rumah sakit di ruangannya.
Tok tok tok..
Di dalam Dokter Alissa mengerutkan dahinya, lalu mempersilakan masuk.
Zando masuk diikuti Nino, lalu mengucap salam.
"Assalamualaikum, Dokter cantik!"
"Waalaikumsalam ... Abang?"
Dokter Alissa beranjak dari kursinya, lantas memeluk keponakannya dengan antusias.
"Apa kabar, Sayang? Tumben ke sini? Kenapa tidak ke rumah aja? Udah lama loh, Abang gak main ke rumah Tante."
Zando mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus menjawab apa. Selama ini jadwalnya begitu padat. Jangankan berkunjung ke tempat saudara yang lain, datang ke tempat kakaknya sendiri pun tidak sempat.
"Kabar abang baik kok, Tante. Maaf, sebenarnya kedatangan abang ke sini, karena ingin bertanya tentang Dokter Kamila. Benarkah dia resign dari sini?"
"Iya, benar. Abang kenal sama Dokter Kamila?"
"Iya, dia teman abang. Kalau boleh tahu apa alasan dia resign tante?"
"Eemmm ... sebenarnya informasi ini tidak boleh--"
"Tolonglah, Tante! Please ... Ini menyangkut masa depan abang, Tante!"
Dokter Alissa tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Dia resign karena ingin pulang kampung, dan menerima perjodohan dari orangtuanya."
"Apa ... ?" Zando dan Nino memekik kaget. Selanjutnya Zando merasa lemas seluruh badannya serasa tak bertulang.
.
.
.
absen saja..😁😁
jederrr... Ikhsan menjatuhkan minunan dan makanan yg berada di tangannya.. syok berat🤣🤣🤣
.. aahhh... lama lama aku demo beneran ini/Scream//Scream/