Kejadian pilu pun tak terduga menimpa Bjorn, para polisi menuduh dia sebagai kaki tangan seorang kriminal dan akhirnya ditembak mati secara tragis.
Bjorn yang tidak tahu alasannya mengapa dirinya harus mati pun terbangun dari kematiannya, tetapi ini bukanlah Akhirat.. Melainkan dunia Kayangan tempat berkumpulnya legenda-legenda mitologi dunia.
Walau sulit menerima kenyataan kalau dirinya telah mati dan berada di dunia yang berbeda, Bjorn mulai membiasakan hidup baru nya dirumah sederhana bersama orang-orang yang menerima nya dengan hangat. Mencoba melupakan masa lalunya sebagai seorang petarung.
Sampai saat desa yang ia tinggali, dibantai habis oleh tentara bezirah hitam misterius. Bjorn yang mengutuk tindakan tersebut menjadi menggila, dan memutuskan untuk berkelana memecahkan teka-teki dunia ini.
Perjalanan panjangnya pun dimulai ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
(REVISI BERLANJUT)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudha Lavera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(OSC) Theo Dubois, The glare thug
Seekor rusa meminum air yang jernih dari aliran air terjun yang mencipratkan airnya kecil-kecil ke tepi sungai. Dua burung kecil berdansa di hidung Theo.
Theo sedang tertidur pingsan dibebatuan besar, bongkahan batu besar itu mengganjal jalur air yang terjun. Mata nya sedikit ia buka perlahan, burung-burung itu saling berkicau di antara hidung dan dahi Theo yang sedang berbaring.
Kedua burung itu terbang pergi setelah membangunkan Theo dari pingsannya. Sedikit kebingungan dengan pemandangan alam yang hijau disekitarnya, Theo terkejut setelah menunduk kebawah, menyadari kalau dirinya sedang duduk diatas bebatuan tebing air terjun yang tinggi.
"Apa-apaan mimpi ini, nyata sekali" Ucapnya sambil bangun berdiri.
Dia terus menatapi air yang jatuh dari tebing curam tempat ia berdiri "Kalau aku melompat kebawah sana, sudah pasti aku akan terbangun dari mimpi ini" Ucapnya meyakinkan.
Theo mengambil aba-aba, merenggangkan tubuhnya. Memutar-mutar sendi lengannya dan berjongkok lalu bangun beberapa kali "Baiklah, pemanasannya sudah selesai" Theo mengambil langkah mundur beberapa kaki.
Berlari ke ujung tebing dan melompat kebawah air terjun "Mari kita bangun!" Ucap nya.
Air yang menyambutnya terjun dari bawah terlonjak deras keatas, dalamnya sungai itu membuat Theo kesulitan berenang dengan tekanan air terjun yang kuat kian mendorongnya ke bawah "Sial, mimpi ini terlalu nyata!" Bersusah payah ia mengendalikan tubuhnya didalam air.
Dia mengangkat tubuhnya yang basah kuyup keatas tepi rerumputan, dengan napas terengah dia menjatuhkan diri ke tanah sambil mengelap turun air diwajahnya dengan telapak tangan "Mimpi konyol macam apa ini"
Mencoba menstabilkan napasnya, Theo tersadar sesuatu, telapak tangannya memakai cincin permata bercahaya terang "Apa-apaan ini?" Sambil menarik cincin itu lepas sekuat tenaga, namun cincin itu tak bisa ia lepaskan dari jari manis nya sampai merasa kesal.
"Ah, terserah. Aku coba berkeliling saja sebentar, sampai aku bangun dari mimpi ini" Ucapnya bangun memasuki hutan rimbun di belakang tubuhnya.
****
Pepohonan yang menyelimutinya dari matahari ini sungguh terasa nyata, hawa sejuk dan nyanyian burung yang merdu membuatnya tak yakin kalau dia sedang berada didalam mimpi. Ya memang sudah jelas dia sedang tidak bermimpi.
Theo memanjat satu pohon apel, dan memetik beberapa buah sambil memakannya diatas pohon dengan santai "Apel disini juga manis sekali, orang mimpi mana yang bisa merasakan rasa makanan" Kesal Theo menggelengkan kepalanya setelah menangkap beberapa fakta.
Dari sudut lain terdengar suara bisik yang mengganggu pendengaran Theo, mengintip dari atas pohon. Dia melihat ada sepasang Goblin kerdil pria dan wanita, mengambil ancang-ancang untuk memburu seekor rusa di depannya dengan tombak jelek terbuat dari batu lancip yang di ikat di ranting kayu.
"Hei, kalian sedang apa?" Tanya lantang Theo, dua Goblin itu terkejut panik, suara itu akan membuat rusa buruan-nya kabur. Pertanyaan dari Theo tadi memancing perhatian rusa.
Hewan berkaki empat itu menoleh menatap Theo. Dan memperhatikan tuju mata Theo mengarah, rusa itu merujuk pandang pada dua Goblin dibelakangnya. Dia pun sadar kalau dirinya terancam dan berlari kencang pergi.
Goblin-goblin itu menengadah kesal "Sialan kau, kami tidak bisa makan malam, ini karena ulahmu!" Ucap salah satu Goblin itu mencaci.
Theo terdiam bingung dengan Goblin pemarah ini.
Goblin satunya lagi menepuk bahu temannya, mencoba menenangkan dengan nada lembut "Sudah.. sudah, tak apa, ayo kita cari di tempat lain" Ucapnya membujuk.
Theo melompat turun, berjalan mendekati mereka berdua, sambil mengunyah buah apel di tangannya dan satu tangannya lagi dimasukkan ke kantung jaket kulit nya.
"Aku orang baru disini, mimpi yang membawa ku kemari.."
"..Namaku Theo Dubois, kalau kalian?" Tanya Theo memandang tunduk kewajah mereka yang kerdil.
"Persetan kau, siapa yang peduli kau dari mana dan siapa namamu" Ucap salah satu Goblin yang masih belum bisa menurunkan emosinya.
"Nama dia Mesael, dan nama ku Mapier, senang berkenalan denganmu" Ucap Mapier sambil memijat bahu Mesael disebelahnya yang masih kesal.
"Oh, yang laki-laki ramah" Theo mengangkat alisnya tinggi.
Mesael dan Mapier adalah Goblin bersaudara kembar, mereka memiliki sifat yang bertolak belakang, sesuai dengan responnya, Mesael adalah Goblin wanita yang pemarah, sedangkan saudaranya si Mapier adalah Goblin pria yang penyabar.
Theo mengangguk sambil mengambil satu gigitan buah apelnya "Rusa itu untuk makan malam?" Dia bertanya sambil memperhatikan rusa yang masih berlari menjauh.
"Benar, sangat sulit bagi kami untuk berburu, itu karena kami adalah monster yang begitu lemah di hutan ini" Balas Mapier.
Theo melirik pada tombak jelek yang Mesael pegang "Sini, aku pinjam" Menyodorkan sebelah tangan meminta.
"Apa! Kau mau memeras-ku juga?" Jawab Mesael.
"Sudahlah, dia hanya bilang pinjam" Sahut Mapier. Dengan wajah enggan Mesael memberikan satu-satunya tombak yang ia punya.
Theo mengayunkan tombak ringan itu naik turun, memastikan berat ranting kayu yang diikatkan batu lancip itu, lalu mata nya membidik. Mengambil satu gigitan apelnya dan membuang buah itu sembarang.
Melakukan kuda-kuda di kakinya dan menarik dalam napasnya sampai menggembungkan pipi, kemudian Theo melempar tajam ranting kayu yang dianggap tombak itu kedepan, melesat kencang mengejar rusa yang tengah berlari, tombak itu tepat sasaran mengenai kaki rusa dan melumpuhkannya.
"Nah, sekarang makan malamnya sudah ada" Ucap Theo menerawang pandangan dengan jari-jari terlipat diatas alisnya.
Mesael dan Mapier kegirangan, berlari senang menuju rusa yang sudah lumpuh itu. Melihat mereka berdua sudah mendapatkan apa yang mereka buru, Theo mendesah puas "Dasar, mengucapkan terima kasih saja tidak" Ucap Theo menggeleng dengan senyum dan membalikkan badannya.
Dia menghampiri pohon apel yang sebelumnya ia naiki, mencengkram anak ranting kayu dan mencoba memanjat pohon itu lagi, ketika menaikan satu kaki nya. Dari belakang tubuh nya ada yang memanggil, dan dia menoleh dengan tangan yang masih mencengkram pohon.
"Terimakasih buruan-nya, Bos. Ayo kita santap bersama rusa pemberianmu ini" Ucap Mesael dan Mapier menunduk berterimakasih seraya bersama-sama menggotong rusa yang ukurannya lebih besar dari tubuh mereka.
Dengan senyum gembira Theo membalas "Kalian memanggilku Bos?"
"Bagi kami, orang yang sudah memberikan hasil buruan-nya pada kami, sudah selayaknya menjadi Bos"
Dengan setengah tubuh yang masih menggantung dipohon, Theo memincingkan mata nya.. Dalam hatinya berkata dengan tersenyum lebar "Bukan mimpi pun tak masalah"
****
Mereka bertiga berjalan berbaris, Theo yang memimpin jalan beberapa kali mengoreksi nyanyian Mesael dan Mapier "Bukan begitu, nada kalian kurang tinggi" Ucapnya mengoreksi sambil memimpin jalan.
Mereka berdua menyanyikan lagu yang baru saja Theo buat. Dengan wajah ceria, dua Goblin itu menyanyikan "Bos Theo~ pria paling kuat~ pria paling baik~" Theo mendalami lagu itu sambil jalan terpejam, mengangguk-anggukan kepalanya dengan bangga "Benar, suara kalian boleh juga" Ucap pria berambut pirang ini yang menyukai perannya sebagai Bos.
Ketika sudah menyiapkan tempat untuk bermalam, Mesael dan Mapier ditugaskan untuk menguliti rusa itu sampai bersih, mereka berencana untuk memanggang bersama daging rusa itu saat malam. Theo meninggalkan mereka, mencari beberapa kayu kering untuk dijadikan api unggun.
"Mapier, kalau kita punya Bos seperti dia, kita tidak akan kelaparan lagi" Ucap Mesael yang duduk memotong-motong daging rusa segar disamping saudaranya.
"Benar sekali, Mesael. Walaupun dia manusia, Bos Theo tidak memperlakukan kami seperti monster, aku tak peduli dia itu apa. Yang jelas.."
"Yang jelas dia itu pria sejati" Mesael menyela.
Mapier tertawa kecil "Tampaknya kau sangat menyukai Bos, awalnya kau mencaci dia dengan kata-kata tak sopan"
"Diamlah, aku sudah tak ingat soal itu"
Beberapa saat kemudian, Theo kembali ke tempat Mapier dan Mesael dari dalam semak hutan, sebelah tangannya menggendong beberapa ranting kayu kering yang siap dibakar, dan sebelah tangannya lagi menarik seutas tali panjang.
Pria berambut pirang gondrong itu menjatuhkan tumpukan kayu nya ke tanah "Kalian tahu cara menyalakan api 'kan? Aku tak bisa menghidupkan api tanpa korek" Ucap Theo sambil mengelap keringat yang menetes di dagunya.
"Kau mencari kayu dimana, Bos? Keringatmu bercucuran" Tanya Mapier.
"Bos, tali di tanganmu itu apa?" Tanya Mesael.
"Ah, ini.." Theo menarik talinya keluar dari semak-semak.
Tali itu menarik monster Lizardman yang mengikat kencang tangannya seperti borgol, monster yang memiliki perawakan seperti Reptil ini berjalan dengan kedua kaki nya dan mengeluarkan ekspresi murung sambil berjalan mendekat.
"Kadal ini tadi mencoba merampasku, kemudian aku beberapa kali menghajarnya dengan tongkat kayu. Setelah babak belur dia berteriak sambil berlari, aku pikir akan mengenyangkan jika kita menambah menu makanan kita, jadi aku menangkapnya dan membawanya kesini"
"Hah?! Kau berniat memakan Lizardman?!" Ucap Mesael.
"Memangnya kenapa?" Tanya balik Theo.
"Jelas dagingnya tidak akan enak, dia itu monster seperti kami" Sahur Mapier.
"Oh, tidak enak? Jadi lebih baik kita apakan?" Theo menoleh ke belakang, ternyata monster Lizardman itu sudah terkapar pingsan, tentu saja. Mendengar dirinya akan dimasak membuat dirinya syok ketakutan.
Mesael mengintip dari balik tubuh Theo "Eh? Pingsan?"
Malam hari membutakan sepanjang pandangan hutan, Theo nampak lahap memakan daging bakarnya bersama Mapier dan Mesael dengan sela-sela obrolan dan tawa yang meramaikan suasana malam mereka.
Lizardman bernama Moku itu bangun dari pingsannya. Hal pertama yang ia pastikan adalah meraba seluruh tubuhnya berharap tak ada bagian tubuhnya yang hilang dimasak. Ia mendesah lega bahwa dirinya baik-baik saja.
Theo, Mesael, dan Mapier. Melempar pandang tajam pada Moku, dirinya merasa canggung dan menelan liur beberapa kali. "Kau! Beraninya kau menantang Bos kami!" Mesael bangkit dari duduknya, menggertak dengan wajah yang benar-benar dekat dengan Moku.
"Ampuni aku" Ucap Moku meringkal ketakutan.
Perut Moku berbunyi kelaparan "..Maaf, itu tak sengaja"
"Sudahlah, Mesael.." Ucap Theo dari duduknya melerai.
"Hei kadal. Perutmu keroncongan, ayo ikut makan bersama, kami tak akan bisa menghabiskan daging rusa sebanyak ini" Sambungnya.
Moku mengintipkan matanya yang terpejam, dengan sedikit takut dia menyeret tubuhnya mendekati Theo "Ba-baik, terimakasih tawarannya" Mengambil satu daging bakar dari api unggun.
Mesael masih menatap tajam mata Moku dengan bringas "Sudah lah, Mesael. Jangan buat dia takut" Ucap Theo.
Moku adalah spesies monster dari keluarga sejenis Kadal, memiliki rambut hitam dan moncong yang dihiasi gerigi gigi tajam. Tubuhnya dipenuhi sisik keras seperti buaya dan memakai pakaian compang-camping. Meskipun kepribadiannya seperti pecundang, dia bertahan hidup dengan menakut-nakuti manusia yang masuk kedalam hutan untuk mencari beberapa tanaman herbal. Kemudian dia meminta mangsanya untuk meninggalkan bekal makanan mereka.
Theo menanyakan bagaimana cara Moku mendapatkan makan, setelah ia jelaskan. Theo malah menanggapi nya dengan tawa yang terbahak-bahak "Aduh! Lucunya.." Ucap Theo sambil beberapa kali mengusap air mata karena tertawa.
"Kau itu berandalan yang menarik, dan kau sama sekali tidak berniat menyakiti manusia meski mereka adalah penduduk biasa, dengan cakar dan kulitmu yang keras, kau bisa saja merampas hidup mereka dengan paksa.."
"..Pantas saja kau selalu kelaparan.. Mulai sekarang, kau tak perlu khawatir soal perutmu, kita akan makan bersama seperti ini setiap hari" Ucap Theo.
Moku terharu, meletakan dagingnya ke tanah dan membungkuk sujud berterimakasih dengan mata yang berkaca-kaca "Terimakasih.. Bos" Ucap Moku gemetar haru.
"Dan jangan lupa untuk hapalkan lagu kami" Sahut Mapier.
Theo kembali tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk tanah.
****
Pagi yang menuju sedikit siang itu kembali menyinari hutan "Bos.. Bos.." Panggil Mapier membangunkan Theo yang tertidur beralaskan kain hangat ditanah.
Api unggun yang sudah padam itu masih mengeluarkan asap tipis dari kayu-kayu yang sudah menjadi arang. Mesael membongkar kayu-kayu gosong itu dan sibuk memilih-milih salah satu kayu dengan bingung dan ragu, mengambil dan membandingkan di dua tangannya.
"Ya..? Ada apa Mapier?" Jawab kantuk Theo merenggangkan tubuhnya.
Ragu-ragu Mapier memberi tahu "Moku.. di culik" Ucapnya lirih tak sanggup menatap Theo.
Theo yang sudah membungkus mulutnya dengan telapak tangan, tak jadi menguap, matanya melirik pelan-pelan dengan raut terkejut "Diculik? Baru tadi malam dia makan dan tidur bersama kami, bagaimana bisa saat pagi dia sudah diculik?"
Mapier menjelaskan "Dia bangun pagi sekali, dan pergi tanpa berpamitan, kemudian aku menyusulnya dan menanyakan ingin pergi kemana. Dia bilang dia ingin pergi mengambil air bersih di sungai air terjun untuk Bos minum, karena dia semalaman memperhatikan Bos tidak meminum apapun setelah makan. Lalu aku dan Mesael memutuskan untuk ikut bersamanya membantu mengambil air.."
"..saat menadahkan air kedalam kendi, seekor monster Ogre raksasa muncul dari dalam gua dibalik air terjun. Ogre besar itu menghampiri Moku dan merebut kendinya, lalu dipecahkan kendi itu sampai hancur berkeping-keping. Ogre itu bilang tak ada siapapun yang boleh mengambil air di wilayahnya. Moku kesal dengan ke-egoisan Ogre itu lalu dia mencaci nya dengan kata-kata buruk, monster besar itu semakin murka dan memukuli Moku, Mesael mencoba membela Moku dengan tombaknya. Namun tombak milik Mesael dihancurkan Ogre itu dengan mudahnya.. Kami tak ada pilihan lain selain lari, saat berlari aku sempat menoleh ke belakang, monster itu mengangkut tubuh Moku, membawanya masuk kedalam gua di balik air terjun itu.."
Mesael yang masih sibuk memilih kayu bekas itu beberapa kali melemparkan kayu yang menurutnya tak cocok "Sudahlah Mesael, arang kayu itu tak akan bisa melukai Ogre besar itu" Ucap Mapier menoleh mendesak.
"Babi besar itu merusak tombak ku, aku akan Membuatnya menyesal" Sahut Mesael.
Theo menggaruk-garuk rambut gondrongnya yang kusut, monster besar ini pasti musuh yang kuat, dia memikirkan bagaimana cara melawan monster berbadan besar itu tanpa senjata yang layak, kebetulan keahlian Theo adalah mengaplikasikan senjata. Sungguh sulit jika datang kesana dengan tangan kosong.
"Ayo. Mapier, Mesael.. Lupakan kayu gosong itu, senjata seperti itu bahkan untuk memburu kelinci saja tak bisa" Ajak Theo sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju air terjun.
....
Theo merenung sejenak setelah menatapi bayangan wajahnya dari pantulan air jernih di sungai mengalir dari air terjun itu, menurunkan pinggulnya.. Mesael dan Mapier bingung, apa yang akan Bosnya lakukan.
Kedua tangan Theo menadah masuk kedalam air, lalu membasuh wajahnya dengan air bersih itu, menadahkan lagi air itu dan memasukannya kedalam mulut, berkumur-berkumur dan disemburkannya dengan sengaja ke air sungai itu "TIDAK ENAK! AIR BERSIH INI SANGAT BURUK UNTUK DIMINUM! PALINGAN JUGA PENUNGGU AIR TERJUN INI CUMA TAHI, MUNGKIN SELANJUTNYA AKU BISA MENCUCI PANTAT-KU SETELAH MEMBUANG KOTORAN DENGAN AIR INI JUGA" Ucap lantang Theo.
Air terjun itu meleburkan airnya, menghujani Theo dan anak buahnya. Sesosok monster besar melompat kehadapannya dengan dentuman tanah yang menyulitkan kaki berpijak.
Wajah Ogre itu terpampang jelas, napas kesalnya mengeluarkan uap, emosinya meledak-ledak, dia mencabut dua golok besar dari belakang punggungnya, lalu di asahkan golok besar di kedua tangannya itu sampai mengeluarkan percikan api "Kau bilang aku tahi? Bau badanmu bahkan lebih busuk dari tahi!" Ucap kesal Ogre.
Mesael dan Mapier memundurkan langkahnya gemetar, berlindung dibalik tubuh Bosnya, Theo melirik sebelah mata kepada mereka, berkata bisik "Menjauhlah" Tangan Theo mengusir. Dua goblin itu mengangguk paham dengan biji keringatnya, dan berlari berlindung dibalik pepohonan.
"Hei! Ogre jelek, jangan kau pikir aku takut karena tubuhmu lebih besar dariku, aku ingin kau bebaskan anak buahku" Ucap Theo
"Anak buahmu?" Balas Ogre itu, nada kesal nya belum bisa memudar.
"Ya, Lizardman yang kau pukuli tadi pagi"
"Kalau aku tidak mau?"
"Kalau kau tidak mau, aku akan menjambak rambutmu dan memasukan kepalamu kedalam sungai sampai kau kehabisan napas" Jawab Theo.
"Pria mungil seperti mu, bahkan tubuhmu hanya sedikit lebih tinggi dari pusar ku.. Kalau kau benar-benar menginginkan si pencuri itu, minimal tanganmu harus hilang satu sebagai gantinya" Ogre itu berjalan mendekat, mengangkat tinggi goloknya.
Golok itu ia hantamkan ke tempat Theo berdiri "Ow, sial" Theo kebingungan cara melawannya.
Theo berpindah, lompat berguling menyamping dengan cepat, tanah tempatnya berpijak tadi meninggalkan bekas berlubang. "Kekuatan nya gila sekali"
Golok itu kembali mengincar Theo, kali ini goloknya di ayunkan menyamping mengarah leher Theo, dengan reflek spontan dia menundukan kepalanya rendah menghindar. Golok itu menyabet pepohonan di belakangnya, Mesael dan Mapier meringkal ketakutan saat pohon tempatnya berlindung tertebang setinggi beberapa inchi dari kepala mereka.
"Sial, sulitnya" Theo melipat rambutnya ke sebelah telinga.
"Andai aku punya golok sebesar itu, mungkin akan lebih mudah menghadapinya" Tanpa Theo sadari sedikitpun, cincin yang melingkari jari manisnya itu mengeluarkan cahaya.. Cahaya ditangannya kian jelas. Ogre itu kembali mengarah kepala Theo, mengayunkan goloknya menyamping.
"Ah! lagi-lagi kepala" Theo mencoba berlari menghindar, tapi.. "Eh?!" Dia tersandung jatuh, golok itu melewati tubuhnya yang merangkak di tanah. telat di sadari sebelah tangannya sudah memegangi golok yang sama besarnya dengan golok milik Ogre, alasan dia tersandung jatuh karena golok yang ia pegang cukup berat.
Theo bangun dan melihat golok itu sudah di genggamannya "Sejak kapan--" Lalu matanya mendelik ke tangan Ogre besar yang masih marah itu, kedua tangan monster itu masih memegangi dua goloknya utuh "Ini bukan golok dia?! Milik siapa ini" Theo malah semakin terkejut.
Monster besar itu kembali menyabet Theo, kali ini dengan dua tangan sekaligus "Ow sial!" Theo tak sempat menghindar dan memejamkan matanya.
Namun mata dan naluri nya berbeda, ketika mengintipkan matanya, sambil memegangi golok dengan kedua tangannya, dia sudah dengan spontan menahan serangan itu, menggunakan goloknya yang entah muncul dari mana.
Masa bodoh dari mana golok ini, gumamnya. Dia membelokan mata tajam goloknya, mendobrak sekuat tenaga, goloknya beradu mengeluarkan percikan api, tergesek menekan, Ogre itu terdorong mundur.
Pria berambut pirang ini maju percaya diri, kemampuannya menggunakan senjata memang bukan bualan semata, Theo menyeret goloknya yang berat, mendekati monster berwajah garang itu dengan balasan muka tengil.
Mereka berdua bertarung sengit di tepian air sungai, golok-golok mereka selalu memercikan api saat beradu. Meski hanya menggunakan satu senjata saja, Theo mampu mengimbangi gerakan Ogre itu.
Sang Ogre mengatur napasnya yang jengah "Namaku Myokolenko, anak dari Myokitopo"
Theo mengangkat sebelah alis bingung, kenapa tiba-tiba dia menyebutkan nama nya? Goloknya di rendahkan "Namaku Theo Dubois, anak dari Josie Louin"
Myokolenko menunduk dan menggeleng kepalanya "Tidak, bukan seperti itu, yang harus kau sebutkan adalah nama ayahmu" Ucapnya mengkoreksi.
"Masa bodoh, ngatur" Balas Theo.
Ogre kekar itu menarik napas panjang "Mari kita akhiri ini" Kemudian Theo ikut menarik napasnya panjang, lalu menyimpan udara di pipinya sampai menggembung.
Mereka berdua lari berhadapan, Myokolenko menyerang membabi buta. Setiap kali musuhnya menyerang, Theo meliukan tubuhnya, gerakan gesit yang hanya terlihat seperti menghindar itu secara tak kasat mata diam-diam menyayat pergelangan kedua tangan dan kaki Myokolenko.
Pergerakannya lumpuh, kedua tangan Myokolenko terasa nyeri memaksakan genggaman kedua goloknya, rasa sakit itu melepaskan senjatanya dari tangannya, pergelangan kakinya dibasahi darah yang mengalir, sakit di kakinya membuatnya tak bisa berdiri dengan sempurna, dia terpaksa menjatuhkan lututnya ke tanah "Sial, aku sudah seperti orang mati" Ucapnya kesal tak bisa berbuat apa-apa.
Kedua tangan Theo menggenggam golok besarnya, di angkatnya tinggi-tinggi seraya matanya menatap mata Myokolenko yang tengah berlutut tanpa bisa memberi balasan apa-apa di hadapannya.
Theo mengayunkan kencang goloknya ke wajah Myokolenko, dengan sengaja serangan itu ia hentikan tepat sebelum menyentuh wajah musuhnya, hembusan dari ayunan senjata itu meniup rambut-rambut Myokolenko terkibas, tak sanggup menatap senjata yang akan mengenai wajahnya, Myokolenko menutup rapat matanya dengan alis yang terlipat.
Kemudian pelan-pelan dibuka lagi mata yang ia tutup, bintik keringat jatuh dari dahi Myokolenko, menelan dalam liurnya.
Golok besar Theo ditarik kembali, dan ditancapkan kedalam tanah, melipat kedua tangannya bersilang, dengan kepala sedikit terangkat dia menatap rendah Myokolenko yang sudah tak bisa melawan "Segitu saja dariku" Ucap tegas Theo.
Menarik napasnya panjang, Pria gondrong dengan rambut kuning berkilau itu memanggil kedua anak buahnya "Mesael! Mapier! Bawa keluar Moku dari dalam gua itu" Kemudian Mesael dan Mapier berlari melompat ke dalam sungai, mereka berenang masuk kedalam gua yang dipagari air terjun itu. Tak lama mereka berdua berenang kembali sambil memikul tubuh Moku yang masih pingsan terkulai.
"Bagus, ayo kita kembali" Ucap Theo melonggarkan tangannya yang terlipat silang, memutar balik tubuhnya, mereka berempat pergi membelakangi Myokolenko. Tiba-tiba sebuah golok besar terlempar menancap menghadang jalan Theo. Pria itu menoleh ke belakangnya dan melihat tangan Myokolenko dengan luka sayatan memaksa melempar golok sebesar itu.
"Aku minta maaf.." Ucap Myokolenko yang masih berlutut dengan kepala menunduk.
"Tak ada satupun monster yang berani mengambil air dari sungai ini, semua keluarga-ku dibawa pergi oleh sekelompok manusia serba hitam, aku menunggu mereka kembali dan menjaga air ini agar tetap bersih saat mereka kembali suatu saat nanti"
"Sudah berapa lama keluargamu pergi?" Tanya Theo.
"Tujuh belas ribu malam"
Ditarik ke atas bola matanya, Theo menengadah memincingkan matanya sambil mengurut dagu. Tujuh belas ribu malam? Kalau dihitung hari mungkin itu hampir empat tahun, gumam-nya. Kalau begitu.. "Ayo kita tunggu mereka bersama"
Myokolenko tertawa kecil, tidak terpikirkan. Bahkan tak mungkin bisa ia duga, sebelumnya pria silau ini mencela sungai tempatnya tinggal, sekarang dia malah mengajakku seolah aku ini keluarganya.
Mengulur tangannya panjang, cincin berkilau yang indah itu menangkap hati Myokolenko, dengan senyum ramah Theo berkata "Kau tak boleh lagi membuat monster lain takut padamu, lo. Kita akan membuat rumah yang besar, dan aku takkan memperdulikan isinya itu mau monster atau manusia, karena saat di dalam rumah, mereka semua akan hidup tanpa rasa takut"
Myokolenko hanya membalas senyum, kehabisan kata-kata. Selama ini dia selalu tinggal dirumah, tapi selalu takut keluarganya pulang dengan kecewa, Ogre besar itu membenahi cara-nya berlutut, dan menunduk dengan rendah diri "Izinkan aku juga masuk kedalam rumahmu"
Theo melipat rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga, lalu merebut tubuh Moku yang ada di pikulan Mesael dan Mapier, kemudian dia pikul Moku itu sendiri diatas bahunya "Kalian berdua, tutup pendarahan di tangan dan kaki Myokolenko dengan kain.." Ucap Theo, dua Goblin itu membalas siap.
"..Mulai sekarang, kita akan sibuk mengumpulkan para monster berandalan yang tak punya tempat pulang. Dan membangun rumah bernama Platas"