Danisha Putri atau yang akrab di sapa Anis, tidak menyangka niatnya ingin menolong persalinan seorang wanita yang menderita keracunan kehamilan justru berujung menjadi sasaran balas dendam dari seorang pria yang merupakan suami dari wanita tersebut, di kala mengetahui istrinya meregang nyawa beberapa saat setelah mendapat tindakan operasi Caesar, yang di kerjakan Anis.
Tidak memiliki bukti yang cukup untuk membawa kasus yang menimpa mendiang istrinya ke jalur hukum, Arsenio Wiratama memilih jalannya sendiri untuk membalas dendam akan kematian istrinya terhadap Anis. menikahi gadis berprofesi sebagai dokter SP. OG tersebut adalah jalan yang diambil Arsenio untuk melampiaskan dendamnya. menurutnya, jika hukum negara tak Mampu menjerat Anis, maka dengan membuat kehidupan Anis layaknya di neraka adalah tujuan utama Arsenio menikahi Anis.
Mampukah Anis menjalani kehidupan rumah tangga bersama dengan Arsenio, yang notabenenya sangat membenci dirinya???.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawanya ke hotel.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan hujan pun mulai reda. Ansenio telah bersiap menuju club malam untuk bertemu dengan ketiga sahabatnya.
Dengan di antarkan Jasen, kini Ansenio telah tiba di club XXX. dari jarak yang tak begitu jauh Ansenio meyaksikan ketiga sahabatnya telah menempati meja paling sudut di club itu.
Ansenio kembali melanjutkan langkahnya.
"Selamat datang bro." Hansel mengarahkan tos tinjunya ke arah datangnya Ansenio.
"Sori telat." kata Ansenio setelahnya.
"It's ok." sahut Mike.
Setelahnya, Ansenio menjatuhkan bokongnya di sofa yang masih kosong.
Malam semakin larut, Mike dan Hansel sudah mulai bergoyang mengikuti dentuman musik DJ, sementara Ansenio dan Fajri memilih tetap di tempat duduk mereka sembari menyaksikan kedua sahabatnya yang kini bergoyang bersama beberapa orang gadis dengan pakaian serba minim.
"Apa kau tidak berniat bergabung bersama mereka??." Fajri menunjuk ke arah Mike dan Hansel dengan ekor matanya.
"CK....". Ansenio hanya mendecakkan lidahnya mendengar pertanyaan Fajri.
"Aku tidak ingin sampai tangan kotor para gadis itu menyentuh tubuhku." lanjut ucap Ansenio.
Fajri tersenyum mendengarnya.
"Bagaimana dengan wanita itu, apa kau sudi jika dia yang menyentuhmu??." ujar Fajri dengan tatapan menggoda, dan sontak saja pertanyaan Fajri mendapat tatapan tajam dari Ansenio. Ansenio paham betul wanita mana yang dimaksud Sahabatnya itu.
Bukannya takut dengan tatapan tajam Ansenio, Fajri justru menarik sudut bibirnya ke samping hingga tercipta sebuah senyuman tipis.
"Tapi setelah aku perhatikan, tak seorang pun dari para gadis di sana yang mampu menyaingi kecantikan Nona Danisha putri." entah kenapa Ansenio tak senang kala mendengar Fajri memuji kecantikan Anis.
"Berhenti membahas tentang wanita itu!!." ujar Ansenio dengan tatapan berubah dingin.
Percakapan Ansenio dan Fajri terhenti dengan kedatangan seorang pelayan yang mengantarkan segelas minuman bersoda ke meja mereka.
Ansenio dan Fajri saling melempar pandangan satu sama lain.
"Apa kau yang memesannya??." tanya Ansenio dan Fajri tampak menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Lalu siapa yang memesannya??.".tutur Ansenio.
"Maaf tuan, tuan yang ada di sana yang memesan minuman ini untuk anda." pelayan tersebut menunjuk ke arah Mike dan Hansel yang kini tengah bergoyang di tengah tengah kerumunan menikmati dentuman musik DJ.
"Sepertinya Mike dan Hansel yang telah memesan minuman ini untukmu." sela Fajri.
"Sepertinya begitu." jawab Ansenio. berhubung saat ini tenggorokannya terasa kering, Ansenio lantas meneguk minuman bersoda tersebut.
Sekali tegukan, dua kali tegukan dan pada tegukan yang ketiga, Ansenio mulai merasakan pusing di kepalanya.
"Ada apa denganmu??." tanya Fajri ketika menyaksikan Ansenio mulai memijat kepalanya.
"Kepalaku sedikit pusing, mungkin hanya lelah." Ansenio masih mencoba berpikir positif, namun setelah merasakan rasa panas di sekujur tubuhnya, Ansenio mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Kau mau kemana??." tanya Fajri ketika melihat Ansenio beranjak dari duduknya.
"Aku mau pulang, sepertinya kepalaku terasa semakin pusing." Ansenio masih berusaha menguasai dirinya.
"Apa perlu aku mengantarmu??." tawar Fajri mencemaskan kondisi Ansenio.
"Tidak perlu, Jasen menungguku di depan.". jawab Ansenio apa adanya.
Setelahnya, Ansenio pun berlalu meninggalkan Fajri yang kini masih menatap kepergiannya.
Tak ingin terjadi sesuatu pada sahabatnya itu, Fajri lantas menyusul langkah Ansenio. namun ketika melihat keberadaan Jasen di depan club, Fajri pun merasa tenang. Fajri kembali ke dalam untuk melihat kondisi kedua sahabatnya yang masih menikmati aktivitas mereka di dalam club.
"Ada apa tuan?? Apa yang terjadi??." cecar Jasen ketika melihat Langkah Ansenio yang tampak sempoyongan seraya memijat kepalanya.
"Apa anda sedang mabuk, tuan??." Jasen mencoba mengendus aroma alkohol dari pakaian Ansenio, namun Jasen tidak menemukan aroma menyengat dari tubuh tuannya itu.
"Sepertinya ada seseorang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam minumanku." pengakuan Ansenio menyadarkan Jasen jika saat ini tuannya tersebut bukannya sedang mabuk, melainkan sedang berada di bawah pengaruh obat.
Jasen jadi bingung sendiri mencari solusi untuk membantu Ansenio keluar dari masalahnya.
"Apa saya perlu mencarikan seorang wanita dari club ini untuk membantu anda, tuan??." tanya Jasen.
"Tidak perlu, bawa saya ke hotel terdekat!!." titah Ansenio.
Secara kebetulan, di depan club malam ada sebuah hotel, tanpa berpikir panjang Jasen membawa Ansenio menuju hotel.
Sebagai seorang pengusaha ternama yang di kenal banyak orang, tentunya kedatangan Ansenio mampu menarik perhatian orang sekitar. Dengan cepat Jasen melakukan cek in lalu mengantarkan tuannya itu ke salah satu kamar hotel.
Setibanya di kamar hotel, Jasen membantu Ansenio untuk melepas sepatunya. Ansenio masih dalam kondisi sadar, namun rasa panas pada tubuhnya serta pusing di kepalanya membuat pria itu berjalan sempoyongan.
"Jika anda tidak menemukan penawarnya tuan, saya takut reaksi obat di tubuh anda akan mengancam keselamatan anda." mendengar penjelasan Jasen membuat Ansenio tak punya pilihan lain.
"Bawa wanita itu ke sini???." perintah dari Ansenio membuat kedua alis Jasen nampak saling bertaut.
"Apa maksud anda, nona Danisha putri, Tuan??." tanya Jasen untuk memastikan.
"Siapa lagi." Kini suara Ansenio terdengar seperti sedang kesal akibat pertanyaan bodoh dari Jansen.
"Baik tuan." Jansen pun segera beranjak untuk melaksanakan perintah dari Ansenio. Namun sebelum benar benar beranjak, Ansenio memintanya untuk membeli sesuatu sebelum menjemput Anis di rumah.
***
"Memangnya anda ingin mengajak saya ke mana, tuan ??." tanya Anis ketika ia dan Jasen telah berada di mobil mewah milik Ansenio.
"Sebaiknya anda diam saja nona, anda akan tahu setelah kita tiba di tujuan nanti." jawaban dari Jasen membuat Anis nampak tak tenang.
Kemana Jasen akan membawanya, apakah pria itu sedang menjalankan perintah dari Ansenio untuk mengeksekusi dirinya secara diam diam, membayangkan hal itu membuat tubuh Anis bergidik ngeri.
"Oh tuhan ...apa malam ini malam terakhir aku berada di dunia ini??." lirih Anis dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai Jasen telah memasuki area sebuah hotel dan itu membuat Anis semakin bingung.
"Tuan, kenapa anda mengajak saya ke sini?? Bukankah tadi anda katakan jika kita akan menemui tuan Ansenio??." tanya Anis dengan perasaan tak menentu.
"Tentu saja nona, dan saat ini tuan Ansenio berada di hotel ini." dengan wajah datarnya Jasen menjawab.
Anis masih setia berjalan di belakang Jasen, kini mereka berdua telah berada di dalam lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai lima, di mana Ansenio tengah berada di salah satu kamar hotel yang berada di lantai tersebut.
Anis tampak memilin ujung bajunya ketika ia dan Jasen tiba di depan pintu kamar hotel nomor 215.
Dua kali mengetuk pintu, kini pintu kamar hotel telah dibuka dari dalam dan menampilkan Ansenio yang telah bertelanjang dada, hingga tubuh tegap serta dadanya yang bidang terlihat jelas oleh Anis. Bukannya kagum, Anis justru terlihat cemas.