Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Menyangkal
Hujan turun dengan derasnya, menari di atas atap mansion yang luas. Ruby yang terbangun, kini berdiri di jendela, menatap keluar ke kegelapan.
Bunyi tetesan hujan di daun-daun membentuk melodi yang hampir magis, menciptakan perasaan tenang namun ada kegetaran yang terasa dalam dada. Ruby menghela nafas, merasakan ketenangan tersebut memasuki pikirannya, berbaur dengan ketidakpastian yang merasuk sejak senja tadi.
"Dominic tidak ada di kamar, jangan-jangan dia kembali ke ruangan penuh buku itu," gumam Ruby. Dia sedikit merasa lega karena Dominic tidak tidur di kamar, dia takut hal yang serupa terjadi lagi, di mana dia berpelukan dengan Dominic.
Ruby berjalan kembali ke ranjang dan duduk di tepi ranjang. Dia memeriksa ponselnya dan mencoba menelpon nomor Ayahnya. Namun, lagi-lagi tak ada jawaban.
Tidak menyerah, Ruby mencoba menelpon nomor Ibunya dan Juga Clarissa, kakaknya. Namun, hal yang sama juga terjadi, mereka tidak menjawab panggilan telepon dari Ruby.
"Kalian ke mana sebenarnya? Kenapa tidak mau menjawab panggilan telepon dariku?" gumam Ruby. Dia membuang nafas kasar dan melempar ponselnya ke atas ranjang.
"Jika seperti ini terus, aku yakin sekali mereka sudah membuangku! Mereka pasti tidak menginginkan aku dalam hidup mereka! Dasar jahat!"
Tiba-tiba Dominic mendorong pintu kamar dengan kasar, tubuhnya sedikit basah, sebab dia baru saja datang dari rumah kecil di belakang mansion.
Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi juga rasa sakit yang menjalar dari luka di lengannya. Tanpa sepatah kata, dia tidak menyadari Ruby sudah terbangun dan terus melangkah melewati Ruby yang kini sedang menatapnya dengan heran. Langkah Dominic meninggalkan jejak air dari sepatunya di atas lantai marmer.
"Kenapa dia buru-buru begitu?" gumam Ruby.
Dominic langsung masuk ke dalam kamar mandi dan melepaskan seluruh pakaiannya. Dia meletakkan pakaiannya ke dalam ranjang khusus pakaian kotor. Di ranjang itu, Dominic sedikit terkejut karena menemukan dalaman bulat milik Ruby.
"kenapa dia menyimpan ini sembarangan?" gumam Dominic.
Setelah keluar dari kamar mandi, sebuah pemandangan yang tak diduga menantinya. Ruby duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur putih sederhana yang terlihat transparan, sambil memainkan ponselnya.
Kedatangan Dominic juga membuat Ruby tersentak. Mata perempuan itu melebar saat melihat Dominic hanya mengenakan boxer yang mencetak asetnya, namun keterkejutannya berubah menjadi kepanikan begitu pandangannya tertuju pada lengan Dominic yang terluka, dengan darah yang masih mengalir sedikit dari luka itu.
"Dominic! Kau terluka!" serunya, suaranya mengandung campuran kekhawatiran dan ketegasan.
Dominic hanya memandangnya dingin, seperti biasanya dia memandang sang istri. Dia tidak berniat menjelaskan apa yang terjadi, atau dari mana asal lukanya. Dia berjalan melewati Ruby tanpa sepatah kata, menuju meja di sudut kamar.
Namun Ruby tidak tinggal diam. Dia berdiri dan mendekat, mengamati luka itu lebih dekat. "Kau harus merawatnya! Luka itu—"
"Aku baik-baik saja, jangan berisik, Ruby!" potong Dominic tajam, nada suaranya penuh ketegasan yang biasa membuat siapa pun menjauh.
Tapi Ruby tidak menyerah. Dia melangkah ke sudut kamar, mengambil kotak kecil berisi obat-obatan dan kapas. Ketika dia kembali, Dominic meliriknya sekilas, tatapannya semakin tajam.
"Ruby, jangan ikut campur," ucapnya dingin, mencoba menahan amarah.
Ruby mengabaikannya. "Luka itu perlu dibersihkan. Kalau tidak, bisa infeksi," balasnya, tegas namun lembut. Dia mendekatkan kapas yang telah dibasahi cairan antiseptik ke lengannya.
Dominic bergerak mundur, memelototinya. "Aku bilang menjauh! Apa kau tuli!? Aku tidak suka kau bersikap sok baik seperti ini!"
"Aku tidak akan membiarkanmu terluka tanpa melakukan apa pun. Aku tidak bisa melihat seseorang terluka begitu saja, Tuan Dominic!" Ruby bersikeras. Matanya menatap Dominic dengan keteguhan yang tak bisa dilawan. "Lagipula, diobati oleh istrimu sendiri juga tidak akan menurunkan harga dirimu bukan!?"
Dominic menghela nafas panjang. Sungguh dia sangat jengkel dengan Ruby yang begitu keras kepala.
"Duduklah, Dominic," kata Ruby dengan lembut. Kali ini Dominic langsung duduk, sudah lelah ingin berdebat dengan wanita itu.
Dengan gerakan cepat, Ruby meraih lengannya dan mulai membersihkan luka itu meskipun Dominic terus menatapnya dengan tajam. Sentuhan Ruby lembut namun terampil. Meski Dominic ingin menyingkirkan tangannya, ada sesuatu dalam cara Ruby mengobati yang bisa membuatnya terdiam.
Sambil membersihkan luka itu, Ruby sesekali melirik Dominic. "Kenapa kau selalu mencoba menanggung semuanya sendirian?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. "Kau bisa berbagi kesedihanmu. Aku memang tidak bisa membantu apa pun, Dominic. Tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik. Mungkin kau bisa merasa sedikit lega jika bercerita."
Dominic tidak menjawab. Sebaliknya, dia memandang Ruby yang begitu serius mengobati lukanya. Mata wanita itu memancarkan ketulusan yang tidak bisa dia abaikan. Dominic, yang biasanya dingin dan tak terpengaruh, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.
Jantungnya berdetak lebih kencang. Dia berusaha menyangkal perasaan itu, menyalahkan kelelahan atau rasa sakit. Tapi sorot mata Ruby terus menghantuinya, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang perlahan berubah dalam dirinya.
Ketika Ruby selesai membalut luka itu, dia menatap Dominic dengan lembut. "Sudah selesai. Lain kali, tolong jaga dirimu," katanya sambil tersenyum tipis.
Dominic hanya diam, tidak mengucapkan terima kasih, namun matanya tetap tertuju pada Ruby lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat suasana di antara mereka terasa berbeda, seperti api kecil yang baru saja menyala dalam kegelapan.
Tanpa sepatah kata lagi, Ruby membereskan alat-alat obatnya dan meninggalkannya untuk beristirahat. Dominic memandang punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas pelan. Di malam yang seharusnya dingin dan sepi itu, Dominic menyadari bahwa kehangatan bisa datang dari tempat yang tak terduga.
"Ini..... seperti yang dulu aku rasakan, saat aku bersama dengan orang yang aku cintai. Tidak mungkin perasaan seperti ini bisa tumbuh pada orang yang berbeda bukan? Aku pasti hanya kelelahan saja, bukan jatuh cinta pada Ruby. Ini tidak mungkin terjadi," gumam Dominic, berusaha meyakinkan jika semua yang terjadi padanya saat ini hanya karena rasa lelahnya saja. Dia berusaha menyangkal isi hatinya.
...****************...