Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 21
Pesta hari jadi rumah sakit digelar di sebuah gedung yang mewah nan megah. Sebuah paksaan yang dari Efran berhasil membuat Adeline untuk menghadiri acara tersebut. Adeline menggunakan gaun berwarna coksu dengan rambut model curly yang dibiarkan setengah tergerai membuat Adeline benar-benar terlihat anggun dan mempesona malam itu.
Efran yang menunggunya di lobby dibuat terpana dengan penampilan Adeline saat ini, bukan hanya Efran, melainkan orang lain yang berdiri tak jauh dari sana pun tersenyum melihat penampilan Adeline saat ini.
"Astaga tidak kusangka ternyata aku memiliki teman seorang putri kerajaan," puji Efran dan langsung membuat Adeline mendaratkan sebuah pukulan kecil terhadap temannya. "Atau mungkin memang sebenarnya kau adalah seorang putri dikehidupan sebelumnya?" ucapnya lagi yang kembali mendapatkan cubitan dari Adeline.
Efran terkekeh menanggapi sikap Adeline saat ini, dan senyum pun terukir dari bibir seseorang yang tengah memandangi mereka dari kejauhan, hingga akhirnya acara pun dimulai dan dibuka langsung oleh Henry yang sudah berdiri dengan gagah di atas podium yang tidak terlalu tinggi itu.
"Terima kasih banyak untuk para tamu undangan yang bisa menyempatkan hadir dalam acara tahunan rumah sakit ini, khususnya para dokter dan para perawat yang juga hadir disini. Tidak banyak yang akan saya sampaikan disini, hanya saja semoga Escort Hospital bisa terus memberikan pelayanan yang terbaik untuk para masyarakat dan silakan menikmati hidangan yang telah disediakan."
Banyak yang terkesima dengan sosok Henry, namun bagi para perawat dan dokter di Escort Hospital, Henry merupakan pria yang menyeramkan, menurut mereka, Henry yang benar-benar tidak memberikan toleransi terhadap apapun kesalahan yang dilakukan oleh para pekerjanya, dan hal itu dibuktikan dengan dirinya yang memecat tiga orang perawat serta mencabut sertifikasi mereka sebagai seorang perawat.
Mendengar pemecatan itu bahkan membuat Adeline sangat terkejut, karena ketiga orang itu adalah orang-orang yang sudah membicarakannya. Adeline bahkan sempat menduga jika Efran adalah pemilik rumah sakit yang sebenarnya.
Para tamu sedikit ramai ketika melihat siapa yang baru saja memasuki aula, orang itu adalah Rafael. Adeline terkejut melihat kehadiran Rafael saat ini, pasalnya dia tidak tahu kenapa pria itu bisa berada di acara tahunan rumah sakit tempatnya bekerja.
"Hen, maaf tuan Henry yang mengundangnya, karena dia merupakan donatur tetap dirumah sakit ini, bukankah aku sudah beritahu dirimu jika tuan Henry mengundangnya?"
"Benarkah? Aku sedikit lupa. Tapi dari mana kau tahu jika tuan Henry mengundang Rafa ke acara ini?" Adeline menoleh spontan ke arah Efran yang sedang memberikan segelas jus buah kepadanya. Dia juga menatap gelas pemberian Efran dengan penuh tanya, pasalnya dari sekian banyaknya minuman yang berjejer, dia justru memilihkan jus buah untuknya.
"Aku mendengar dari para petinggi rumah sakit secara tidak sengaja."
"Lalu ini?" Adeline mengangkat gelas yang berisikan jus pada Efran. "Kenapa kau mengambilkan aku jus? Kenapa tidak minuman yang lain?" Cecarnya yang semakin penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh sahabatnya itu.
"Minuman yang lain ada kadar alkoholnya, bukankah kau pernah bilang jika kau tidak bisa minum alkohol?" Ucap Efran santai seraya menenggak wine yang ada ditangannya.
Mendengar jawaban Efran semakin membuat Adeline kembali bingung, karena seingatnya Adeline tidak pernah membahas soal minuman atau alkohol pada siapapun semenjak ia menginjakkan kaki pertama kali di Bern, termasuk pada Efran.
Kedua mata Rafael meluas seperti sedang mencari seseorang, ketika sudah menemukannya, Rafael langsung berjalan untuk menghampirinya. "Dia berjalan kemari, Del." Tutur Efran, namun Adeline masih menikmati muffin kesukaannya.
Melewati Efran, Rafael memberikan tatapan yang begitu tajam pada pria itu dan Efran pun tak kalah tajam ketika menatap Rafael yang melewatinya itu. "Ayo pulang." Tangan Rafael mencengkram pergelangan tangan Adeline dan membuat muffin yaang berada ditangan Adeline terjatuh.
"Ada apa ini?" Henry tiba-tiba saja datang.
"Ini urusan keluargaku." Ucap Rafael tegas.
"Ayo Del. Jangan buat aku mengulangi ucapanku lagi." Tambahnya lagi dengan penuh penekanan.
Adeline paham dengan kalimat terakhir Rafael, Adeline tahu jika Rafael memang tidak suka jika dia harus mengulangi ucapan yang sama untuk kesekian kalinya, terlebih saat ini nada suara Rafael tidak seperti orang yang sedang tenang, dia terlihat tengah menahan sesuatu di kedua matanya.
Saat diluar gedung, Rafael melepaskan genggamannya itu dan meminta Adeline untuk masuk ke dalam mobil yang sudah ada Daren dan juga Alvaro disana. "Kakek tak sadarkan diri dirumah sakit." Rafael berkata singkat dan Daren langsung menginjak pedal gas mobilnya.
"Sejak kapan?" Tanya Adeline dengan penuh kekhawatiran.
"Aku tidak tahu, aku dapat kabar dari supir dirumah kakek." Balasnya datar dan tatapannya masih fokus ke depan.
Selang 30 menit, Rafael dan lainnya tiba dirumah sakit. Baru turun dari mobil, Adeline sudah berlari menuju ruang receptionist untuk menanyakan keberadaan kakek Bill. Setelah mengetahui kakek Bill berada diruang ICU, Adeline kembali berlari menuju ruang tersebut.
Saat ini dokter masih berada didalam untuk mengecek kondisi kakek James dan Adeline benar-benar ingin menerobos dan memastikan sendiri kondisi kakek James disana. "Tenanglah Del. Burn Hospital memiliki dokter-dokter handal," Alvaro mendekat ke arah Adeline yang benar-benar terlihat gelisah.
Daren dan Rafael duduk diruang tunggu, tatapan Rafael kosong, sedangkan Daren tengah menatap Adeline yang sedang berdiri tepat didepan pintu ruang ICU bersama dengan Alvaro.
Entahlah apa yang berada dipikirkan Rafael sampai-sampai dia tidak bisa membuka hati untuk Adeline. Jika dilihat, dia benar-benar peduli , dan menyayangi keluarganya melebihi dirinya sendiri.
Saat pintu ruangan terbuka, Adeline langsung maju untuk menodong dokter yang baru saja keluar dengan segala pertanyaan yang berada diotaknya saat ini. Mulai dari apa yang terjadi hingga bagaimana kondisi kakek Jamea saat ini.
"Tuan Jamea telah menghembuskan napas terakhirnya tepat pukul 21.09." Ucap dokter tersebut to the point, dan mendengar hal itu langsung membuat kaki Adeline tak bertenaga, untunglah Alvaro sigap, sehingga tubuh Adeline dapat diraih olehnya.
"Apa penyebab kakek saya meninggal, dok? Karena setahu saya, kakek tidak pernah mengeluh sakit atau apapun itu." Tanya Rafael dengan sikap yang tetap terlihat tenang meski sebenarnya hatinya sangat berantakan saat ini.
"Beliau terkena serangan jantung."
"Serangan jantung?" Rafael tampak tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini.
"Saat aku datang terakhir kali menemui kakek, orang rumah memberitahuku jika kakek sudah beberapa kali pingsan akibat serangan jantung ringan." Tutur Adeline saat mengingat informasi yang diberikan oleh asisten kakek Bill saat itu.
"Kau mengetahui itu, tapi tidak memberitahuku? Jika saja kau memberitahuku, mungkin saat itu juga aku akan membawa kakek menjalani pengobatan diluar negeri."
"Ini bukan waktunya untuk menyalahkan siapapun Raf." Alvaro menangkap sinyal amarah dari tatapan Rafael saat ini.
"Benar yang dikatakan Alva, sebaiknya sekarang kita urus pemakaman kakek terlebih dulu." Daren pun akhirnya ikut membuka suara