Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
First Kiss
Pagi menyapa. Laras terlihat sibuk di dapur. Pak Kaget berkali-kali membuka lembaran korannya dengan keras.
“Ndak lama lagi korannya sobek toh, Pak,” ucap Bu Sabar sambil menggeleng.
“Males aku, Bu. Lihat anakmu, selama ini ndak pernah masak. Pas udah sama si Ali Ali itu aja baru rajin betolll.”
Pria yang dimaksud segera berdeham. Baru saja muncul sambil membawa wajah pucatnya. Bu Sabar menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika mendapati sang Menantu berbalut dengan kain kasa yang ada darahnya.
“Hoh, ada apa ini toh, nduk?”
“Mas Al?” Laras cepat-cepat mematikan kompor. Bantu memapah pria itu untuk duduk.
Pak Kaget yang sibuk dengan korannya seolah tak perduli. Istrinya sontak menimpuk bahunya.
“Awh, Bu!” seru Pak Kaget.
“Menantumu!” Tunjuk Bu Sabar dengan raut wajah cemas, “berdarah itu!”
“Hah?” Pak Kaget menoleh. Seketika ia hempaskan korannya ke meja. “Ada opo, toh?”
“Anu, Pak. Saya kena begal waktu mau jemput penumpang.”
“Astagah!” Pak Kaget menepok jidatnya. Calon kepala desa itu pun nampak kasihan sekarang.
“Kita ke dokter, yuk.” Laras memegang lengan Ali dengan wajah penuh kepedulian.
Hati Aliando terasa hangat. Segala perhatian yang Laras berikan sejak tadi malam membuat polisi intel itu tersipu. Tapi, karena ekpresinya mudah sekali ia sembunyikan. Tidak sama sekali terlihat jika ia senang bukan main.
“Iyo toh, nak. Nanti, biar Ibu yang nyiapin sarapan,” ujar Bu Sabar pada putrinya.
“Mau Bapak antar?” Pak Kaget menawarkan diri.
Laras menggeleng. “Ndak usah, Pak. Deket kok kliniknya di sana.” Tunjuk Laras dengan dagu mungilnya. Ia segera membantu Ali berdiri, berjalan menuju kamar buat berganti baju.
Laras kembali menelan salivanya ketika ia bantu suaminya memasang kemeja yang Ali bawa dari kota. Sebenarnya, sejak tadi malam, Laras hendak bersorak melihat roti sobek di depan matanya.
Ali mengernyit ketika ia mendapati ekspresi Laras saat ini. “Kenapa kamu senyum-senyum?”
“Hah?”
“Tidak usah pura-pura bloon. Tadi kamu senyum. Ada apa?” Tatapan Ali berubah menjadi tajam, seolah berusaha mencari jawaban ke dalam mata bersihnya Laras.
“Emang kenapa sih, kalau senyum? Senyum itu sebagian dari iman. Gak kaya kamu, Mas Ali.” Telunjuk Laras menyentuh permukaan kulit perut Ali yang berkotak-kotak. “Mukanya datar terus.” Mulut Laras sambil mencebik malu.
Pak Kaget kemudian muncul dengan wajah serius dari balik pintu. “Ali ….”
“Ya, Pak?” jawab si Intel was-was.
“Karena kejadian itu buat istri saya ngeri. Sebaiknya, kamu berhenti jadi ojol.”
“Apa?”
“Kamu jadi mandor bapak saja di sawah. Gajinya bakalan lebih gede,” ujar Pak Sabar percaya diri.
“Tapi, Pak …, itu pekerjaan impian saya sejak kecil,” jawab Ali sembarangan.
Laras berkedip-kedip. “Apa gak salah dengar nih, aku?” Mulutnya membola. Dalam benak Laras ia berucap, untung ganteng.
***
Sepanjang jalan, Ali terus berpikir keras. Jika ia menjadi mandor, bagaimana dengan pekerjaannya di polres? Tidak ada alasan lagi balik ke kota jika harus berhenti menggunakan identitas sebagai kang ojek.
“Kamu kenapa, Mas?” Laras berhenti berjalan.
“Kaki saya sakit.”
Mata Laras menyipit kesal. “Tadi udah aku bilang, kita naik becak saja. Tapi kamu bersikeras buat jalan kaki. Lihat sekarang? Merepotkan.” Laras menyilangkan kedua lengannya di dada.
Ali mendengus, “kalau aku buat kamu kerepotan. Sana kamu balik ke rumah.” Ali langsung jalan sendiri menuju klinik. Tapi, langkahnya tiba-tiba berhenti. Keningnya mengkerut ketika ia melihat dokter yang ia jumpai semalam di rumah sakit malah berada di klinik desa ini.
Ali bergegas membalik badan. Tidak perduli dengan wajah bingungnya Laras. Namun, langkah Ali dicegat oleh Laras. “Stop!”
“Heh, minggir bocil!”
“Gak!”
“Buset, ngebantah suami?”
“Lihat! Lukanya makin gede!” seru Laras. Ia menarik paksa tubuh Ali kembali menuju klinik desa. Karena Ali mulai mengeluh kesakitan, beberapa orang yang ada di klinik sontak keluar.
Ali pun gelagapan. Dia segera menarik Laras menuju ruang penyimpanan gabah dekat sana.
“Sssttt.” Ali menempelkan jari telunjuknya ke mulut mungil Laras.
“Heh? Ngajak mesum, ya?”
“Diem dulu.” Kali ini, Ali menutup sempurna mulut Laras. Ia mengintip di balik lubang kayu. Diperhatikan dengan seksama tingkah laku si Dokter berkacamata pantat botol itu. Ada semacam perasaan tidak enak yang menyelimuti perasaannya.
Laras mulai berontak kecil. Pada akhirnya kegaduhan pun terjadi. Semua gabah yang ada di dalam karung tumpah.
Semua orang yang berada di klinik menuju gudang itu. Karena Aliando akan kedapatan. Terpaksa dirinya menempelkan bibirnya ke bibir Laras.
Pipi mungil Laras ditangkup oleh kedua tangan besar Aliando. Para warga yang melihat kejadian itu menjadi heboh.
“Hoeee! Apa-apaan ini?” teriak salah satu warga laki-laki yang baru pulang dari sawah. Masih memegang cangkul.
Wanita berperut buncit, hamil tujuh bulan ikut menimpali. “Ada mesum di kampung kita!”
Seolah mereka mengajak para warga untuk main hakim sendiri. Syukur saja Pak Kaget segera datang. Beliau turun dari mobil kijang tempo doloenya.
Masuk ke tengah-tengah dan pada akhirnya calon kepala desa itu ikutan shook.
“Astagah!” Pak Kaget memegangi dadanya.
“Lihat, Pak! Bukannya itu Laras, ya?”
“Iya, hehe. Tapi kalian jangan salah paham dulu.” Keringat seketika mengucur membasahi pelipis Pak Kaget.
Sementara itu, Ali masih dengan kuat mencium Laras. Tak mau melepaskan meski Laras berkali-kali mendorong dadanya.
“Mereka itu suami istri, Pak …, Bu,” kata Pak Kaget dengan suara keras.
“Ya tapi gak gitu juga kali, Pak. Ciuman sampai lupa tempat.”
“Loh, bukannya gudang gabah ini tempat sepi, ya? Kalian saja itu yang kepo,” kata Pak Kaget membela putrinya. Padahal di dalam benak Pak Kaget, ia sudah siapkan bogeman mentah untuk menantunya itu.
Warga saling pandang. Mereka pun bubar. Tapi, seorang dokter masih setia berdiri di tempatnya.
“Pak …, mereka pengantin baru?” tanyanya sambil ketawa bodoh.
“Iya, memang kenapa, hah?”
“Gak apa-apa, Pak. Nempel banget kelihatan. Nafsunya gak kekontrol, hehe.” Dokter itu sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
Kedua alis Aliando menyatu. Kesal bukan main karena dokter itu belum juga pergi. Padahal, napasnya nyaris habis pun dengan kondisi perut yang nyeri bukan main.
“Kalau begitu, saya permisi, Pak.”
Dokter itu akhirnya pamit. Tepat saat itu juga, Ali melepaskan ciumannya. Ketika Ali berusaha mengstabilkan napas. Satu tamparan pedas mendarat di pipinya.
“Kamu bikin aku malu!” Tangis Laras pecah, ia segera keluar dari gudang gabah. Sambil berjalan mencak-mencak, ia kembali pulang ke rumahnya. Tidak lagi perduli dengan luka Ali yang semakin mengeluarkan cairan merah.
Karena Pak Kaget jadi kasihan melihat menantunya. Ia memanggil Ali, “ayo berobat.”
Ali menoleh tapi ia menggeleng kemudian.
Karena Pak Kaget mulai kehilangan kesabaran. Sebelah sandalnya dibuka hendak dilemparkan ke Ali. “Mau berobat atau ingin saya sleding?”
“Tunggu sampai dokter berkacamata itu pergi, Pak.” Kedua tangan Ali menyatu, nampak memohon.
“Memangnya kenapa dengan dokter itu? Dia terkenal baik menangani pasien. Kamu ini …, pilih-pilih.” Pak Sabar kembali memasang sendalnya.
“Anu …, Pak.” Gelagat tubuh Ali sangat tidak nyaman. Kedua tangannya dikepal sempurna.
“Anu …, anu. Anu, apa?”
“Dokter itu, gay!”
Terpaksa memfitnah. Daripada ketahuan? Pilih mana?
Pak Sabar menganga. Ia malahan percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh sang Menantu. Pak Sabar menghela napas pendek, bahunya jatuh ke bawah. “Sangat disayangkan. Banyak sekali pria tampan yang salah jalan.”
Aliando harus segera bersyukur sebab dokter itu seketika pergi dari klinik. Hanya menyisahkan seorang dokter wanita.
Saat Ali berjalan menuju ayah mertuanya. Pandangannya kabur, seperti klise. Lagi-lagi, Ali pingsan.
“Tolooong!” teriak Pak Sabar.
Dokter dan perawat desa segera menuju sumber suara. Dibawanya Ali segera ke ranjang pasien.
“Kenapa pasien terluka seperti ini, Pak?” tanya dokter wanita itu.
“Menantu saya dibegal tadi malam, dok.”
“Kok bisa, Pak?”
“Dia lagi ngojek, dok.”
“Waduh, menantu Anda ojol?” beo salah satu warga yang sedang berobat.
“Memangnya kenapa?” Pak Sabar bertolak pinggang.
“Ndak, Pak.”
Dokter kembali berkata, “jahitan pasien terlepas. Saya harus menjahit ulang lukanya.”
Pak Sabar meiringis ngeri. “Ya sudah, asal dia segera sembuh, dok.”
***
Laras tiba dirumah. Ia membanting pintu kamarnya. Ketika berada di depan cermin, ia sentuh bibirnya. “Dasar ojol sialan,” cibirnya.
Itu ciuman pertama Laras. Tak pernah ia bayangkan first kissnya begitu menyesakkan. Tak ada romantisnya.
Laras pun menangis. Lalu terdengar bunyi ponsel yang bukan berasal dari ponselnya Laras. Gadis itu berbalik, mencari sumber suara.
Ia menemukan ponsel Ali yang diletakkan di dekat bantal kepala. Laras membaca tulisan yang tertera pada layar.
“Intel Pras?” Laras mengernyit. “Prasmanan?” Ia kemudian menggeleng. “Yakali …, angkat gak, ya?”