Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
...***...
Apartemennya gelap. Melody yang berjalan menyusuri ruang tengah sengaja tidak menyalakan penerangan satupun disana.
Ia hanya ingin minum seteguk air putih, kemudian tidur lebih cepat dari biasanya. Membuka kabinet di dapur, Melody meraih satu gelas di dalamnya. Tetapi alih-alih benda yang dicari, jarinya meraba sesuatu yang lain.
Sebungkus rokok milik Kaal yang sepertinya tertinggal disana, lengkap dengan korek api yang tertumpuk di atasnya.
Melody menatap barang temuannya intens. Kaal sepertinya terlalu terburu-buru pergi pada hari itu sehingga melupakan benda remeh semacam ini.
Keinginan untuk minum mendadak terbuang. Ia justru melangkah menuju balkon apartemen sambil masih menggenggam rokok dan korek tersebut. Sesampainya di sana, sikunya lantas bertumpu pada pagar pembatas, selagi jari menarik satu batang keluar.
Dalam gerakan singkat tanpa berpikir panjang, Melody menyulutnya. Ia membawa pangkal rokok itu ke bibir sebelum menghisap pelan.
Asap berhembus, sebagian mengalir masuk ke paru-paru, sebagian lepas bersama tengah malam.
Rasa tembakau tercecap menjijikkan di lidahnya. Ia tidak habis pikir mengapa orang-orang rela membeli benda ini hanya untuk mencemari sistem pernapasan mereka serta mengecap rasa yang enggan hilang di langit-langit mulutnya.
Namun, ini bukan tentang rasa penasaran.
Melainkan karena selayaknya rokok, sesuatu ternyata bisa meninggalkan jejak yang menuntun kepada damba. Kepada keinginan untuk mencicipi sekali lagi meskipun benak sudah memaksa berhenti. Mungkin, ini merupakan permasalahan sama yang menyebabkan orang-orang selalu gagal untuk lepas dari hal yang jelas-jelas merugikan mereka.
Karena jejak, juga akan mengelabui pikiran dengan rangkaian kenangan yang baik.
Pada detik ini, Melody membayangkan punggung lelaki yang sering tertangkap menengadah menatap gelapnya langit malam dengan pandangan kosong.
Di balik pintu tertutup balkon, di antara liuk asap-asap kelabu, di tengah pertimbangan bahwa rekan apartemennya membenci asap rokok.
Bibir Melody melengkung sinis.
Sesuatu yang sudah dipaksakan hilang, jika ia masih berkeliaran di angan, apakah itu masih pantas disebut hilang?
...****...
...Kau bisa menghancurkan hatiku menjadi dua dan menyembuhkannya lagi...
...Namun ketika hati ini sudah sembuh...
...Bisakah hati ini kembali untuk kau miliki?...
Pagi itu, Melody bangun dengan suatu visi baru yang mendadak melintas di benaknya; Ia ingin menjual apartemen ini. Melody berpikir keputusan tersebut akan menjadi sebuah simbol bahwa ia sudah berpindah sepenuhnya.
Setelah berhasil memenangkan pertarungan batin dengan tetap mempertahankan prinsip untuk tidak kembali pada Kaal, Melody kira ia juga perlu mengenyahkan segala sesuatu yang sekiranya akan memicu ingatannya kepada lelaki tersebut.
Menurutnya, ia seharusnya berhak memutuskan perkara ini secara sepihak. Akan tetapi, ia merasa masih cukup memiliki hati untuk sekedar memberitahu Kaal mengenai niatnya.
Maka pada hari yang sama, Melody memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat ke nomor tidak dikenal di daftar panggilan terakhirnya.
Ia mengetikkan singkat kalimat aku mau menjual apartemen, sebelum menekan tombol kirim dan bersiap untuk beraktivitas.
Pesan balasan dari Kaal datang di siang hari.
Ponsel Melody berdenting menampilkan notifikasi tepat ketika ia tengah menggulung lengan kemeja seraya kaki melangkah menuju kafetaria.
Keningnya sempat mengerut melihat deretan nomor yang tidak tersimpan di daftar kontak sebelum ia menyadari dari siapa pesan itu berasal.
Berhenti di tempat, ibu jari Melody dengan cepat membuka pesan tersebut.
Apa yang tertera di layar adalah rangkaian kalimat yang panjangnya nyaris sama dengan pesan yang ia kirim sebelumnya. Namun, kalimat berupa pertanyaan itu nyatanya memegang bobot kerumitan yang berbeda.
Bisa kita bertemu dulu?
Melody menggigit bibir. Kelopak mata berkedip beberapa kali selagi penglihatan memindai apa yang baru saja ia baca. Ia terus berdiri membeku dalam detik yang berlalu. Kemudian, setelah pertimbangan panjang dan dua gerakan pendek di papan huruf 'O' dan 'K', ia akhirnya mengirim pesan tersebut.
...***...
Ketika Melody menyetujui untuk bertemu, ia pikir pertemuan yang dimaksud akan berlangsung singkat dan tanpa basa-basi.
Kaal ternyata tidak sepemikiran. Lelaki itu justru mengajaknya makan malam di salah satu restoran favorit mereka dulu. Semua yang menyangkut Kaa Vairav, pahitnya, cepat atau lambat, akan diimbuhi dengan kata dulu.
Duduk bersitatap, Kaal menunda percakapan inti hingga mereka selesai memesan makanan. Lelaki yang lebih tua satu tahun diatasnya itu baru mencoba menginisiasi dialog setelah sang pelayan pergi dari hadapan mereka.
"Kenapa kau ingin menjualnya?"
Melody tidak menyuarakan alasan sebenarnya. Ia hanya mengedikkan bahu tidak acuh sembari melontarkan
"Aku bosan."
"Hanya itu?" Kaal memiringkan kepala—curiga.
Tetapi berbeda dengan pemikiran Melody, lelaki itu mengarahkan kecurigaannya pada alasan lain yang sangat jauh berbeda dari alasan asli.
"Atau karena kau ingin tinggal bersama kekasih barumu?"
Ada sedikit nada cemburu tertangkap di ucapan itu, jika Melody mau percaya dan tidak serta merta menuduh bahwa otaknya sedang mengada-ada. Ia lantas berniat untuk mengoreksi asumsi Kaal, namun urung dengan segera. Sesederhana karena Melody berharap hal itu justru akan mempersingkat waktu diskusi mereka.
"Mungkin itu juga."
Kaal menelan ludah pelan. "Jadi, kalian sudah berada dalam tahap serius?"
"Ya." Melody untuk kedua kalinya tidak mengoreksi.
"Kami sudah berada dalam tahap serius."
"Apa kau sudah tidur dengannya...?
"Hm... Itu hal yang wajar dilakukan sebagai pasangan..."
Aku bahkan belum berciuman dengannya... Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu...?
Kaal mengangguk pelan, pandangan menghindar. Melody melihat Kaal mendadak tampak tidak nyaman di duduknya.
Tubuh Kaal bergerak-gerak seolah sedang berupaya meredam letupan emosi yang tidak sengaja hadir dari jawaban yang ia utarakan.
"Melody…" gumam lelaki itu lirih.
"Aku minta maaf. Tidak adakah cara agar kau bisa memaafkanku dan kita kembali seperti semula?"
"Aku memaafkanmu." Melody berkilah dengan seruan menggigit. Ia tahu persis mengapa pertanyaan Kaal menyinggungnya.
Melody sedang membuka sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Sesuatu yang membuat ombak amarahnya pasang surut semenjak mengetahui bahwa Kaal mencoba memperbaiki situasi di antara mereka.
"Tetapi itu tidak berarti bahwa keadaan bisa kembali seperti yang dulu."
Karena Melody masih peduli.
Melody masih sangat peduli terhadap Kaal dan itu membuatnya merasa bodoh.
"Aku lebih baik darinya, Melody." Kaal tiba-tiba meraih tangannya. Lelaki itu menyandarkan kening ke kepalan tangan Melody sambil melanjutkan
"Aku berjanji aku bisa lebih baik dari kemarin. Aku berjanji tidak akan mempermainkan hatimu, aku berjanji untuk mendengarkanmu, untuk membacamu dan mengerti dirimu."
"Aku tidak—"
"Beri aku kesempatan Melody, aku mohon."
Melody termangu saat ungkapan itu sampai di telinganya. Ia ingin terlena, ingin percaya. Namun kemudian pelayan menginterupsi.
Dua hidangan tersaji di hadapan mereka dan Melody tertarik cepat ke kenyataan. Ia mendengus, hampir ingin menampar diri sendiri sebab bagaimana mungkin ia berkeinginan untuk mengembalikan hatinya kepada Kaal hanya karena permohonan kosong seperti itu.
"Itu akan menjadi percuma." sahut Melody sinis, walaupun sebagian dari dirinya ikut tercabik ketika mengatakannya.
"Kesempatan itu akan jadi percuma karena sudah tidak ada yang bisa dilanjutkan."
Genggaman tangan Kaal di tangannya berangsur melemah. Lelaki itu tetap tidak mengangkat wajah—tanpa respon, tanpa bicara, kening masih menempel lekat di kepalan Melody.
Kendati demikian, hawa pekat di sekitar mereka mengindikasikan bahwa terdapat satu pertanyaan yang menggantung di udara.
"Dulu kau memintaku berhenti," Melody menjelaskan sebelum pertanyaan tersebut sempat terlempar. Ia merasakan deru napas Kaal mendadak memburu di punggung tangannya.
"Aku melakukannya Kaal. Aku berhenti mencintaimu."
Melody sedikitnya bersyukur mereka tidak sedang bertatap wajah.
Berbeda dengan Kaal, ia adalah pembohong yang payah. Menemukan bahwa suaranya tidak bergetar pada momen inipun sudah merupakan sesuatu yang bisa dibanggakan.
"Jadi," suara parau berbisik di antara percakapan ribut sekitar.
"Jadi tidak akan pernah ada 'kita' lagi?"
Darah Melody mendadak berdesir. Harapan yang menyala di dadanya tidak sepantasnya ada. Harapan itu seharusnya enyah karena Kaal pernah memadamkannya begitu saja.
Ia tidak boleh peduli, ia tidak boleh jatuh ke Kaal lagi, ia tidak boleh berpikir bahwa masih terdapat celah untuk memulai semuanya kembali.
"Katakan....."
"Siapa nama lelaki itu?"
Deg!
...TBC...