Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 19
Kak Antoni masih bekerja sama dengan ayah, ayah mulai merambah pendapatan di bidang online dan jasa, kak Antoni sangat dibutuhkan di awal merintis usaha barunya. Ia diminta membuat boot seolah banyak yang menonton dan membeli produk. Ayah tidak main-main dalam membayar jasa kak Antoni sebagai tanda menghargai karena tidak semua orang bisa menguasai ilmu yang yang bisa dilakukan kak Antoni.
Setiap hari, setia pagi dan sore wajah itu. selalu menyambut kedatanganku, ia bahkan tak lagi asing dalam pandangan. Senyumnya yang merekah selalu memberikan bekas dalam ingatan. Ia mulai spesial di setiap alur ceritaku. Kak Antoni juga seperti tidak canggung lagi dalam berinteraksi atau menyapaku setiap kami berpapasan di dalam rumah. Ia bahkan sesekali ceri perhatian membuat aku tersipu dan memilih meninggalkan tempat. Sejujurnya ada dua sisi yang kurasa tenteng keberadaannya di sekitarku, antara suka dan tidak suka. Mau tapi sedikit ilfeel dengan sikap yang over saat melihatku.
Malam itu angin sangat kencang, listrik di beberapa tempat konslet termasuk juga di rumah. Mba Hana mencarikan lilin dan menyalakannya untuk kami. Tapi dia belum sampai juga ke atas, baru menyalakan di beberapa sudut di lantai bawah. Aku keluar dari kamar, saat meraba-raba ke depan karena berniat mengambil lilin dan membantu mba Hana. Tiba-tiba saja tanganku menyentuh sesosok tubuh yang kupikir itu ayah. Tapi ia tak berkutik sedikit pun.
"Ayah," bisikku.
"Bukan," katanya pelan. Suara itu datang dari kak Antoni.
"Eh, maaf." ujarku merasa tidak enak sambil melepas tangan dari dadanya.
"Iya tidak apa-apa. Kamu ngapain?"
"Mau bantu mba nyebar lilin. Sendirinya?"
"Mau ambil lilin." sahutku sambil menarik diri perlahan.
"Ntar juga mba naik kok." katanya lagi, membiarkan aku menjauh.
"Ah, tidak enak." ia kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkanku. Dadaku berdegup kencang, aku keringat dingin, berbicara dengan jarak yang begitu dekat membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Kutelan ludah getir sambil menggaruk punuk. Ada keheningan sejenak karena kikuk tidak tahu mau berbuat apa. Tidak mundur dan tidak maju, aku justru diam di tempat seperti terhipnotis.
Aku kembali berjalan gontai menuju tangga utama tapi mba sudah ada di pertengahan tangga untuk mendatangi lantai atas.
"Non," katanya lirih.
"Mba, sini aku minta buat di kamar." pintaku. Mba Hana langsung memberikan lilin berukuran jumbo, dua batang.
"Hati-hati naroknya ya." mba Hana mengingatkan. Aku hanya mengangguk.
Kak Antoni memang sering menginap di rumah. Tidak cuma dirinya, beberapa crew atau tim yang bekerja online dalam penjualan dan membuat konten iklan juga. Rumah ini semakin ramai rasanya dengan orang-orang asing.
Aku tidak merasa terganggu selama semuanya masih di jam kerja. Sangat tidak nyaman setelah aku ada di rumah dan mereka sudah jam istirahat, rumah ini memang berukuran besar, tapi akan tetap terasa sempit saat aku tidak lagi senang dengan kondisi yang ada. Aku pernah meminta ayah untuk menyewa basecamp, kontrakan atau ruko untuk kantor kecil mereka dari pada di rumah. Kurasa ayah tidak akan kekurangan dana untuk itu karena pemasukan dari usaha barunya cukup lumayan.
"Aku pikir, menyewa ruko untuk tim ayah akan lebih baik." tuturku pada suatu ketika saat kamu usai makan malam bersama di meja khusus keluarga inti.
"Kenapa? Di sini banyak kamar terbengkalai. Sayang kalau tidak dipakai. Nanti ditempati setan." ayah berkilah, entah lah apa yang ada di pikiran ayah hingga bisa berkata sedemikian.
"Ayolah ayah. Mereka terlalu berisik." sahutku jujur. Aku yakin ini tidak akan menyinggung, aku hanya memberi tahu unek-unek di dalam dada.
"Heh, tidak boleh seperti itu. Harus sopan, mereka sudah bantu kita loh, De." sambung ibu menasehati. Ibu terlihat menyusun bekas makan kami, disambung kedatangan mba Hana yang Hana yang mengambil dan menaruh bekas makan kami di wastafel pencuci piring. Karena terdengar berdebat, mba Hana menjauh, menunda tugas cuci piringnya kali ini. Ia memang pengertian dalam setiap kondisi di dalam keluarga kami.
"Tapi Devani beneran tidak nyaman dengan kebisingan mereka, Bu." aku menekan namun dengan nada manja.
"Kamu hanya belum terbiasa. Lambat laun juga kalau sudah akrab, mereka asik kok." Ibu masih memaksakan kehendak. Sebetulnya ini bukan hanya soal crew atau tim, tapi Kak Antoni. Dia selalu berhasil menghancurkan titik fokusku. Aku tidak mau terjebak dengan sesuatu yang disebut cinta. Aku harus sukses tanpa adanya peran kekasih di dalam proses. Tapi jujur saja, keberadaan kak Antoni cukup mengganggu. Bagaimana mungkin aku bisa menolak, berdekatan dengan dia saja aku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta.
Pagi itulah kak Antoni sudah stand by di ruang tamu bersama crew lain. Malam tadi sepertinya ia menginap lagi. Aku baru saja bersiap dengan baju rapi untuk masuk kuliah, ia menatap setiap langkah kala aku menuruni tangga. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati kehidupan di rumah sendiri jika menjadi pusat perhatian seperti ini. Lagi pula kak Antoni norak, ia tidak semestinya memberikan pandangan tajam dan berdurasi lama hanya karena beralasan mengagumi. Lawakan macam apa ini.
"Mau berangkat?" sapanya basa-basi.
"Iya, nih." jawabku sekenanya.
"Mau dianter?" dia tahu aku punya supir pribadi, lantas apa maksudnya menwarkan diri. Bermain-main kah?
"Ada pak Syarif." ketusku, kuharap dengan wajah judes dan sikap yang arogan bisa membuatnya berhenti memberi tatapan cinta. Aku takut terbawa arus oleh mata yang menyimpan penuh makna itu.
"Ha .... Ha .... Ha .... Aku bercanda, aku tau kamu dianter pak Syarif. Maaf ya," katanya tertawa gurih.
"Garing, ya." responku, harusnya cara sederhana ini mampu membuatnya mengerti bahwa aku tidak satu pemikiran dengannya atau merasa bahwa aku juga menyukai keberadaannya. Ayah hanya memperhatikan dari meja makan di dapur yang jaraknya cukup jauh, ayah tersenyum kecil, aku sangat paham respon yang kuberikan memang diharapkan ayah. Ayah tidak ingin aku jatuh cinta lagi untuk saat ini.
"Aku makan di luar, ya Bu." teriakku dari bawah tangga. Padahal ibu sudah menyiapkan sandwich di meja makan.
"Loh, kok? Bawa bekel aja ya." pinta ibu menghampiri.
"Buru-buru, Bu." aku ikut mendatangi dan mencium tangan serta pipinya tak lupa juga ayh yang tidak berkutik sedikit pun, ayah harus peka bahwa aku melakukan ini sebagai bentuk demo untuk mogok makan di rumah kerena kebisingan setiap waktu yang dibuat karyawan ayah. Aku akan melakukan ini sampai ayah sadar bahwa putrinya sedang melakukan unjuk rasa demi kemenangan yang ia inginkan. Ayah hanya tersenyum menyambut peluk hangatku dan membiarkan pergi. Ayah sangat egois!