Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garis Finis dan Start
Melewati Gerbang Angin yang megah di pusat kekaisaran Elinalis, Eden adalah pengalaman yang memukau. Pilar-pilar raksasa menjulang, dihiasi ukiran rumit yang menceritakan kisah kejayaan dan kebesaran masa lalu. Di kedua sisi jalan utama, bangunan-bangunan megah berdiri kokoh, sebagian besar berlapis marmer putih yang memantulkan cahaya matahari dengan gemilang.
Rumah-rumah megah milik orang-orang berpengaruh tersebar di antara bangunan-bangunan ini, masing-masing dengan taman yang rapi dan patung-patung anggun yang menghiasi halaman depan. Setiap rumah tampak seperti karya seni, dengan detail arsitektur yang mencerminkan kekayaan dan status pemiliknya.
Di udara, aroma bunga dan rempah-rempah dari pasar-pasar yang ramai bercampur, mengundang penduduk dan pengunjung untuk menjelajah lebih jauh. Di sepanjang jalan, berbagai aktivitas sehari-hari berlangsung, mulai dari pedagang yang berteriak menawarkan dagangannya, anak-anak bermain dengan riang, hingga para bangsawan yang lewat dengan kereta kuda mewah mereka.
Dalam langit yang mulai memerah, mereka beristirahat di sebuah restoran kecil yang nyaman. Suasana di dalam restoran penuh dengan cahaya lilin yang hangat dan aroma makanan yang menggugah selera. Karie dan Aileen duduk di dekat jendela, memandang pemandangan luar yang mempesona.
"Kak Aileen, pernah tidak kakak berpikir bahwa aku seperti orang yang berbeda dari yang kak Aileen kenal sebelumnya?" tanya Karie tiba-tiba, suaranya pelan namun jelas terdengar di antara kesibukan restoran.
"Kenapa kamu berpikir begitu, Erhu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian, "Banyak orang berkata begitu, tapi bagaimanapun juga, itu bagian dari dirimu."
Karie menarik napas dalam-dalam, merasa beban di dadanya semakin berat. Ia tahu saatnya telah tiba, ia tidak ingin orang di sekitar nya, hidup dalam kebohongan. "Kak, ada sesuatu yang harus aku ceritakan," katanya dengan suara bergetar.
Aileen merasa ada sesuatu yang serius. "Apa itu, Erhu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Karie menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meski hatinya berdebar. "Sebenarnya, aku bukanlah Erhu yang kamu kenal dulu," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Namaku Karie. Jiwa dan kesadaranku berpindah ke tubuh Erhu setelah kejadian itu. Aku ingin memberitahumu sejak dulu, tapi aku takut ditinggal sendiri."
Aileen terdiam, matanya melebar sejenak sebelum kembali ke sorot mata yang lembut. "Karie...?" bisiknya, suaranya penuh kebingungan dan kasih sayang. "Bagaimana bisa...?"
Karie menelan ludah, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Saat aku berada di persimpangan antara hidup dan mati, seorang wanita menuntunku menawarkan kesempatan kedua. Ia membawaku menemui seorang gadis dengan rambut perak yang termenung. Ketika gadis itu melihatku, matanya penuh harapan. Gadis itu berkata, 'Orang yang dipilih adalah yang terbaik untuk masa depan. Tolong jaga Aileen untukku.' Meskipun aku tidak sepenuhnya mengerti…"
Aileen menelan kebingungannya, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya, ia menggenggam tangan Karie lebih erat, seolah takut kehilangan.
Aileen menarik napas dalam-dalam. "Mungkin... ini semua begitu sulit dipercaya," katanya perlahan, suaranya bergetar sedikit. "Tapi aku percaya padamu. Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal—kamu adalah orang yang dipilihnya."
Karie mengangguk pelan, masih merasa sedikit ragu. "Kak Aileen percaya dengan apa yang aku katakan?"
Aileen tersenyum lembut, meremas tangan Karie.. "Memang sikapmu berbeda dengan Erhu, tapi satu hal yang sama darinya adalah kamu selalu ingin yang terbaik untuk orang lain. Itu yang membuatku yakin.”
Aileen melihat Mishka yang sudah kembali dari toilet, lalu menoleh kembali ke Karie. "Satu hal lagi, Kak Aileen, kedepannya mungkin untuk sementara waktu aku tidak akan ada di samping kalian," kata Karie dengan nada serius.
"Kenapa?" tanya Aileen, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.
“Aku berhasil menembus,” Karie mengawali dengan suara yang lembut namun mantap. “Aileen, aku bertemu seorang bangsawan dari Terra. Ia... tertarik padaku.”
Aileen dengan pendengarannya , setiap nada dan intonasi Karie menjadi peta yang membimbingnya dalam kegelapan.
“Ia meminta aku menang dalam pertarungan, dan aku berhasil.” Karie menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. “Sekarang, dia ingin aku menjadi pionnya.”
Aileen mengerutkan kening, suaranya sedikit bergetar saat akhirnya berbicara. “Karie, apa yang kau maksud dengan 'pion'?”
Karie mendekati Aileen, berharap bisa menyampaikan ketenangan yang ia sendiri hampir tidak rasakan. “Tenang saja, Aileen. Aku akan baik-baik saja. Aku sudah memintanya untuk memberikan kalian pekerjaan, supaya tetap bisa tinggal di Eden. Kalian akan bekerja di toko roti milik kenalannya, kak Aileen suka membuat roti kan.”
Tawa lirih Miskha tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan. “Ini bukan perpisahan. Kita masih bisa bertemu.” Miskha tersenyum, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. “Jangan tunjukkan wajah sedih itu. Ini yang terbaik untuk saat ini.”
Karie mengangguk, meskipun Aileen tak bisa melihatnya, merasakan kehangatan yang jarang ia tunjukkan. “Ya, kita masih bisa bertemu.”
Di gerbang Angin, angin malam berhembus lembut, membelai wajah Karie yang berdiri sendirian. Langit yang berwarna ungu kehitaman dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip seperti mengantarkan salam perpisahan. Karie menarik napas dalam, mencoba menghirup sebanyak mungkin kenangan kota yang akan ia tinggalkan.
Suara roda karavan yang berderit menghampiri, membuat Karie menoleh. Karavan Nihwa, dengan lampu-lampu remangnya, muncul di ujung jalan. Kuda-kuda yang menariknya terlihat gagah.
Karie berjalan mendekat, detak jantungnya berirama dengan langkah kakinya. Di depan karavan, seorang kusir dengan jubah hitam melambai, memberi isyarat agar Karie naik. Dengan berat hati, Karie menoleh sekali lagi ke arah gerbang Angin, tempat sahabat-sahabatnya berdiri mengantar kepergiannya.
Aileen, dengan tongkat putih di tangannya, tersenyum meski matanya tak bisa melihat Karie. Miskha berdiri di sampingnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Karie, ingatlah, ini bukan perpisahan yang sebenarnya,” ucap Miskha.
“Ya,” jawab Karie dengan suara serak. “Ini bukan perpisahan. Kita masih bisa bertemu.” ia naik ke karavan, dan seiring roda yang mulai bergerak.
Di dalam karavan Nihwa, lampu-lampu kecil memberikan cahaya remang yang menenangkan. Karie duduk dengan gelisah, melihat keluar jendela kecil yang menghadap ke jalan berbatu. Suara roda yang berderak mengiringi pertanyaan yang melayang di benaknya. Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya, meski ada sedikit keraguan dalam suaranya.
“Kenapa Anda sampai repot-repot mengangkatku ke dalam keluarga Anda?” tanyanya sambil menoleh ke arah bangsawan yang duduk di depannya.
Bangsawan itu, dengan wajah yang tenang namun penuh perhitungan, menatap balik ke Karie. “Aku bosan dengan status Baron,” jawabnya dengan nada dingin namun tegas. “Melihat keputusan kaisar yang menyatakan perang besar dengan lima negara, ini peluang naik kasta.”
Karie mengerutkan kening, mencoba memahami maksud di balik kata-kata bangsawan itu.
“Kau akan jadi Sikerei kekaisaran,” lanjut sang bangsawan. “Dengan potensimu, kamu harus mengangkat keluarga Undine ini ke puncak. Mengalahkan anak sialan itu.”
Karie tersentak, tubuhnya sedikit mundur. "Eh!?" Ia berusaha merangkai kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir bangsawan itu, seolah mencoba memahami beban besar yang tiba-tiba diletakkan di pundaknya.