Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Enam bulan kemudian, Berlin menjadi tuan rumah Konferensi Global "Bridging Cultures" yang pertama. Gedung Reichstag yang ikonik dipilih sebagai venue utama, memberikan nuansa sejarah dan makna mendalam pada acara tersebut.
Andi, Putri, dan Amira berdiri di panggung utama, memandang ribuan peserta dari berbagai negara yang memenuhi aula. Mereka tidak bisa menahan rasa haru dan bangga melihat impian mereka menjadi kenyataan.
"Selamat datang di Konferensi Global Bridging Cultures," Andi memulai pidato pembukaan. "Hari ini, kita berkumpul bukan hanya sebagai individu dari berbagai negara, tapi sebagai satu keluarga manusia."
Putri melanjutkan, "Melalui konferensi ini, kita akan berbagi pengalaman, tantangan, dan solusi dalam upaya menjembatani perbedaan budaya di seluruh dunia."
Amira mengakhiri dengan berkata, "Mari kita jadikan tiga hari ke depan sebagai awal dari perubahan global yang kita impikan bersama."
Konferensi berlangsung dengan sukses besar. Ada sesi-sesi yang membahas berbagai topik, mulai dari pendidikan lintas budaya, diplomasi kuliner, hingga penggunaan teknologi dalam memfasilitasi dialog antar budaya.
Salah satu highlight konferensi adalah sesi "Fusion Food for Peace" yang dipimpin oleh Putri. Ia mengundang koki-koki terkenal dari berbagai negara untuk mendemonstrasikan bagaimana makanan bisa menjadi jembatan pemersatu.
Andi memimpin diskusi panel tentang "Teknologi dan Inklusi", membahas bagaimana inovasi digital bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kesenjangan budaya.
Sementara itu, Amira mempresentasikan hasil proyeknya di Indonesia, menunjukkan bagaimana film dan seni bisa menjadi medium yang powerful untuk membangun empati dan pemahaman antar budaya.
Di hari terakhir konferensi, sebuah momen tak terduga terjadi. Seorang peserta dari Timur Tengah berdiri dan mengusulkan agar konferensi ini diadakan setiap tahun, bergantian di berbagai kota di dunia. Usulan ini disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta.
Malam penutupan diisi dengan pertunjukan musik multikultural dan pesta makanan internasional. Andi, Putri, dan Amira berdiri di sudut ruangan, mengamati kerumunan orang dari berbagai latar belakang yang bercengkerama dan tertawa bersama.
"Kita berhasil, ya?" kata Amira pelan, matanya berkaca-kaca.
Andi merangkul putri dan istrinya. "Ya, kita berhasil. Tapi ini baru permulaan."
Putri mengangguk setuju. "Perjalanan kita masih panjang. Tapi setidaknya sekarang kita tidak berjalan sendiri."
Saat mereka berpelukan, mereka sadar bahwa impian mereka tentang dunia yang lebih inklusif mulai menjadi kenyataan. Dan mereka, bersama ribuan orang yang terinspirasi oleh konferensi ini, akan terus berjuang untuk mewujudkannya.
Malam itu, saat bintang-bintang Berlin bersinar terang, sebuah perjalanan baru dimulai. Perjalanan menuju dunia di mana perbedaan tidak lagi menjadi penghalang, tapi justru menjadi kekuatan yang memperkaya kehidupan kita semua.
Setahun berlalu sejak Konferensi Global "Bridging Cultures" yang pertama di Berlin. Keluarga Andi, Putri, dan Amira kini menghadapi tantangan baru seiring dengan meluasnya dampak gerakan mereka.
Kota Istanbul dipilih sebagai tuan rumah konferensi kedua. Persiapan sedang berjalan ketika sebuah krisis politik melanda Turki, mengancam pelaksanaan acara tersebut. Andi, yang kini menjabat sebagai koordinator internasional, terbang ke Istanbul untuk bernegosiasi dengan pemerintah setempat dan kelompok oposisi.
Sementara itu, Putri mengembangkan program "Culinary Diplomacy" yang semakin populer. Ia diundang ke berbagai negara untuk memimpin workshop memasak lintas budaya. Namun, di tengah kesibukannya, ia merasa semakin jauh dari keluarganya.
Amira, yang telah kembali ke Berlin, menghadapi dilema karir. Sebuah studio film Hollywood menawarkan kontrak untuk mengadaptasi kisah keluarganya ke layar lebar. Tawaran ini menggiurkan, tapi Amira khawatir film tersebut akan mengorbankan esensi perjuangan mereka demi nilai komersial.
Suatu malam, keluarga ini mengadakan video call untuk membahas situasi mereka.
"Ayah, bagaimana perkembangan di Istanbul?" tanya Amira.
Andi menghela napas. "Sulit, tapi ada harapan. Aku berhasil meyakinkan kedua pihak bahwa konferensi ini bisa menjadi momen pemersatu."
"Itu kabar baik," kata Putri. "Tapi aku khawatir kita terlalu fokus pada pekerjaan dan melupakan satu sama lain."
Hening sejenak. Mereka sadar bahwa kesuksesan gerakan mereka telah membawa tantangan baru dalam dinamika keluarga.
"Mungkin kita perlu meluangkan waktu untuk berkumpul," usul Amira. "Bagaimana kalau kita bertemu di Istanbul sebelum konferensi dimulai? Kita bisa menghabiskan waktu bersama dan sekaligus membantu persiapan."
Andi dan Putri setuju. Mereka memutuskan untuk tiba di Istanbul seminggu lebih awal.
Di Istanbul, keluarga ini menemukan kembali kebersamaan mereka. Mereka menjelajahi pasar-pasar kuno, menikmati keindahan Hagia Sophia, dan berdiskusi panjang di tepi Selat Bosphorus. Putri bahkan mengadakan sesi memasak impromptu dengan pedagang lokal di Grand Bazaar, menciptakan hidangan fusion Turki-Indonesia yang unik.
Saat konferensi dimulai, mereka merasa lebih kuat dan bersatu. Konferensi berlangsung sukses, bahkan menjadi katalis perdamaian bagi konflik politik di Turki. Perwakilan pemerintah dan oposisi berjabat tangan di atas panggung, momen yang diabadikan media internasional.
Dalam pidato penutupan, Andi berbicara tentang kekuatan persatuan dalam keragaman. Putri membagikan kisah tentang bagaimana makanan dapat menyatukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Amira mengumumkan keputusannya untuk menolak tawaran Hollywood dan sebagai gantinya akan membuat dokumenter independen tentang gerakan mereka.
Malam itu, saat mereka berdiri di balkon hotel memandang kerlip lampu Istanbul, Andi berkata, "Aku bangga dengan kita.