Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dirga merasa tidak enak hati. Wajahnya langsung berubah dan terlihat lemas. Bahkan kakaknya, Safira, sudah mengetahui kegagalan rumah tangganya hingga merasa perlu untuk datang menemaninya.
Juwita mengerti perasaan Dirga,
"Jangan ge - er! Emang Safira nggak boleh kangen sama Ibu? Dia itu sebulan sekali pasti datang ke sini. Memang Kamu dulu, Ga? Rumah dekat tapi jarang ke sini."
"Maaf, Bu." Dirga menunduk. Memang dulu ia jarang mengunjungi Ibunya karena Maya selalu menolak karena enggan. Ia lebih senang dengan kehidupan sosialitanya. Ia lebih suka memaksa Dirga untuk pindah dari 1 pesta ke pesta lainnya. Dirga sebenarnya kurang merasa nyaman tapi ia takut istrinya yang cantik dan bahenol itu jadi santapan mata laki - laki. Ia tak ingin memberi kesempatan pada laki - laki hidung belang itu untuk mendekati istrinya.
'Ah,' keluh hati Dirga. Nyatanya sekarang Maya terbang bebas kemanapun ia suka, tanpanya. Dan akhirnya..
Dirga mengibaskan kepalanya,
"Kalau besok Mbak Safira baru datang ke sini, berarti ke pengadilan agamanya lusa aja, ya?"
"Nggak usah nungguin Safira. Besok Bapak yang anter." Juwita tersenyum.
"Bapak nafsu banget!" celetuknya. menggoda.
"Bapak udah sangat malu, Bu! Punya menantu seorang rentenir. Muka Kita udah diinjak - injak, Bu!" gerutu Dedi bernafsu.
"Iya - iya. Bapak tenang dulu. Ingat tensimu, Pak."
Dirga merasa bersalah tidak dapat mencegah Maya menjadi rentenir yang membuat orangtuanya kehilangan muka di depan warga sebagai tokoh panutan masyarakat di sekitarnya.
"Maafin Aku, Pak."
"Bukan salah Kamu, Nak." Dirga menghela nafas. Bagaimanapun, keterpurukannya yang membuat Maya jadi begitu.
"Nggak papa, Nak. Mudah - mudahan jodohmu yang baru tidak segan - segan untuk mengunjungi Ibu setiap waktu."
"Ih, Ibu kok ngomongnya begitu? Aku nggak mau menikah lagi, Bu!"
"Sssttt! Nggak boleh bilang begitu, Nak. Kamu akan dapat jodohmu lagi. Yang jauh lebih baik."
"Tapi, Bu...?"
"Omongan itu doa. Jadi sebaiknya Kita aminkan." potong Dedi segera.
"Aamiin.."
Dirga tanpa sadar memejamkan matanya. Ia berdoa dengan sepenuh hati.
"Lebih baik lagi yang berhijab." ucap Dedi berharap.
"Aamiin." Dirga kembali memejamkan matanya. Tiba - tiba wajah tirus Nara terbayang di kepalanya.
"Naya." tanpa sadar bibirnya melontarkan nama itu. Tapi Dedi salah mendengar. Ia menjadi berang,
"Jangan sebut nama itu lagi!" teriaknya marah dan bergegas masuk ke kamarnya. Suasana yang semula hangat menjadi berantakan.
Dirga kebingungan. Apa yang salah?
"Aku.., Nggak.." Juwita mengernyitkan alisnya. Ia juga bergegas menyusul suaminya, meninggalkan Dirga yang terpekur memikirkan ucapannya barusan.
"Pak, kayaknya Ibu nggak salah dengar, deh. Tadi Dirga itu bilang Na - ya, bukan.."
Dedi menoleh. Ia sungguh terkejut.
"Masa' Bapak salah dengar sih, Bu?"
"Ibu dengarnya sih, begitu. Na, bukan Ma." angguk Juwita.
Dedi tertegun dan mulai merasa bersalah.
"Ayok Kita keluar lagi, Bu." mereka bergegas keluar kamar. Tapi Dirga sudah tidak ada.
"Mungkin Dia sudah di kamar bersama anak - anak." Juwita menyimpulkan sendiri.
"Siapa Naya ya, Bu?" tanya Dedi penasaran.
"Besok aja Kita tanya. Sudah, Kita tidur aja. Dirga juga mungkin langsung tidur."
Dirga belum tidur. Ia berbaring di sisi Rania. Matanya nyalang menatap langit - langit kamar.
"Naya. Kenapa Aku tiba - tiba terpikirkan Dia?" keluhnya. Banyak gadis berhijab yang dikenalnya. Banyak yang cantik, jauh lebih cantik dari Nara. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Apa itu?
Dirga menjadi pusing sendiri.
"Masalahku dengan Maya belum selesai, Aku sudah mikirin perempuan lain." dumelnya kesal pada dirinya sendiri.
"Mungkin karena namanya hampir sama. Naya, Maya. Tapi mudah - mudahan kelakuannya nggak sama." cetusnya tanpa sadar.
************
Dirga tersenyum sendiri. Di tempat lain Nara juga tersenyum. Mereka seperti saling melempar senyum.
"Bukannya tidur kok malah senyum - senyum terus sih, Non?" si Bibik yang sudah sangat mengantuk mencoba mengingatkan.
Nara menoleh dan melihat mata si bibik yang merah.
"Bibik ngantuk, ya?"
"Jangan ditanya, Non?" si Bibik menguap tanpa menutup mulutnya.
"Maaf, Non." ia nyengir, lalu membelalakkan matanya. Berusaha menghilangkan kantuknya. Tapi sesaat kemudian kepalanya terayun ke depan.
Nara tertawa. Ia menggeser tubuhnya.
"Naik, Bi.Tidur di sini." Nara menepuk sisi yang kosong dari tempat tidurnya.
"Tapi, Non. Jangan, atuh." si Bibik menolak, tapi gerakannya menuruti perintah Nara tanpa ia sadari. Naluri orang yang ingin melampiaskan rasa kantuknya.
Si Bibik berbaring menghadapi Nara. Matanya semakin terlihat sayu.
"Udah, Bibik tidur aja. Peluk Naya, ya?" pinta Nara. Si Bibik lagi - lagi mengatakan hal yang sebaliknya.
"Tapi, Non,.. Masa' Bibik.." Nara melingkarkan sebelah tangan si Bibik ke atas tubuhnya. Tangannya juga melingkari tubuh si bibik.
Nara tersenyum mendengar dengkuran halus si Bibik yang langsung tertidur. Ia menelusupkan wajahnya di dada si Bibik seperti biasanya bila ia menangis dan merindukan mamanya.
Pelukan si Bibik selalu membuatnya hangat dan nyaman meski si Bibik tidak setiap malam dapat menemaninya. Ia juga punya suami yang sama - sama bekerja di rumahnya.
Dirga memutuskan untuk menchat Maya untuk memberitahu perceraian mereka akan ia urus dengan segera,
'Aku tidak ingin bercerai denganmu, Pa.' Dirga tak percaya Maya mengetik itu. Dirga merasa Maya sedang meledeknya.
'Apa nggak salah? Bukannya Kamu yang ingin cepat - cepat bebas? Agar bisa terus bercinta dengan selingkuhanmu itu?'
'Maafin Aku, Pa. Aku salah. Aku khilaf.' apa benar Maya sedang merendahkan harga dirinya?
Sebenarnya apa kemauan Maya ini?
Dirga mengetik kalimat demi kalimat dengan gemas. Suara desahan Maya di ponsel waktu itu selamanya tidak akan pernah hilang dari ingatannya.
'Aku minta Kamu segera pindah dari rumah itu setelah semuanya selesai.'
Maya tercekat. Pindah dari rumah ini?
'Kamu tega, Ga? Aku harus pindah kemana?'
'Terserah. Itu bukan jadi urusanku lagi.'
"Brengsek!" Maya memegang ponselnya kuat - kuat karena ia nyaris melemparkannya.
"Belagu banget, sih!" umpatnya lagi.
Maya berusaha menenangkan dirinya dan mulai menulis lagi,
'Kita perlu bicara lebih lanjut, Ga.'
Dirga membaca pesan Maya lewat notifikasi di atas layar lalu meletakkan ponselnya dalam keadaan terbalik. Ia sudah tidak ingin melanjutkan pembicaraan lagi dengan calon mantan istrinya itu.
Setelah beberapa saat menunggu, Maya akhirnya menyadari kalau Dirga sudah tidak mau membalas chatnya.
"Sialan! Dasar laki - laki nggak berguna!" teriaknya marah. Sekali lagi ia menghina suaminya dengan kata - kata itu.
Maya menatap seisi kamarnya. Semua memang sudah ada sebelum Dirga menikahinya.
Dirga, laki - laki yang sudah mapan saat ia bertemu dengannya. Ia mengagumi dan jatuh hati padanya karena pada usia muda ia sudah memiliki segalanya dengan kemampuannya sendiri tanpa mengandalkan orangtua.
Dirga terpesona pada Maya yang cantik dan sexy. Ia selalu menjadi primadona di setiap pesta yang ia datangi.
***********************