Hari itu Jeri tak sengaja melihat Ryuna yang sedang menari sendirian di lapangan basket. Ia yang memang dasarnya iseng malah memvideokan gadis itu. Padahal kenal dengan Ryuna saja tidak.
"Lo harus jadi babu gue sampai kita lulus SMA."
"Hah?!" Ryuna kaget.
"Pasti seru." Jeri tersenyum misterius membuat Ryuna menduga lelaki itu akan menyiapkan seribu rencana untuk membuatnya sengsara.
"Seru apanya?! Fix sih, lo yang nggak waras di sini!" gadis itu menatap Jeri dengan pandangan menghujat.
Sejak hari itu, Ryuna harus selalu berurusan dengan Jeri yang senang sekali bukan hanya mengganggu namun juga menjadikannya babu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Jeri membawa gadis itu keluar kafe, keduanya ada di parkiran. Di sana pun sebenarnya cukup banyak orang.
Ryuna malu karena ia tiba-tiba merasa emosional. Mungkin dirinya tidak akan pernah mau kembai ke kafe itu. Meski tampaknya pengunjung juga tak menyadari itu terbukti dari reaksi teman-teman Jeri. Ia telah menenangkan diri, walau menjadi canggung terhadap Jeri.
"Lo nggak papa?"
Ryuna mengangguk tanpa bersuara.
"Ayo ke tempat lain," ucap lelaki itu.
"Gue mau pulang."
"Iya entar gue anterin."
Ryuna kali ini hanya menuruti. Setelah menggunakan helm, Ryuna menaiki motornya sendiri dan mengikuti Jeri yang telah melajukan motor lebih dulu.
Ketika di jalan, Jeri sengaja memelankan laju motornya karena ia juga mengecek Ryuna beberapa kali.
Mereka menempuh perjalanan agak jauh dari kafe. Kemudian, Jeri memarkirkan motornya di parkiran sebuah toko dan Ryuna mengikutinya.
"Lo tunggu di sini sebentar," kata lelaki itu lalu pergi menuju toko dengan masih memakai helm.
Ryuna tak banyak berkomentar. Entah apa yang Jeri beli, lelaki itu butuh beberapa saat di dalam toko sebelum akhirnya Ryuna bisa melihat lelaki itu keluar sambil menenteng helm dan keresek.
"Gue lupa nggak lepas helm," kata Jeri, lalu menaruh helmnya di bagian kaca spion.
"Lo juga turun, kita jalan kaki," ucap lelaki itu.
Ryuna membuka helm, ia turun dari motornya. Sementara itu, Jeri cukup heran melihat Ryuna senurut ini.
Jeri melangkah lebih dulu, seperti biasa Ryuna hanya mengekor. Kali ini lelaki itu memelankan langkah.
"Nih, bawa," katanya sambil memberikan kresek yang langsung Ryuna ambil.
Mereka berjalan ke arah sisi toko. Dari sana terus menelusuri trotoar. Angin malam berhembus, hiruk pikuk masih terlihat seolah tak ada jeda dalam kehidupan. Lampu-lampu bangunan menambah hingar bingar kota.
Jeri membawa Ryuna ke taman kota. Di sana mereka tak sendiri, ada beberapa orang tak dikenal yang juga sedang mencari udara segar. Mereka sampai dan ketika lelaki itu menemukan bangku kosong, ia berhenti dan menyuruh Ryuna duduk. Jeri pikir udara segar akan lebih baik. Ditatapnya Ryuna yang menyandar dan menatap kosong pada jemari tangannya. Tanpa berkata, Jeri mengambil kresek yang ia titipkan ke Ryuna.
Lelaki itu mengambil salah satu yang ia beli dari dalam sana. Sebotol minuman teh. Jeri membukanya, meminum itu tanpa mengenakan bagian kepala botol ke bibirnya.
"Mau?" tanya Jeri setelah selesai minum, ia menyodorkan botol itu ke arah Ryuna tapi yang ditawari hanya menggeleng.
"Minum." Jeri seolah tak mau dibantah.
Ryuna melirik, ia mengambil botol itu dan meminumnya seperti yang Jeri lakukan. Setelah selesai, ia kembalikan.
"Lo kenapa telat?" lelaki itu memulai pembicaraan.
"Gue harus izin dulu."
"Harusnya lo izin dari kemarin-kemarin."
"Nggak semudah itu," jawab Ryuna.
"Ortu lo ngelarang?"
"Mama gue ngizinin, tapi bokap ...." Ryuna tak melanjutkan ucapannya.
"Orangtua emang selalu kayak gitu kan?" ucap Jeri.
Ryuna menoleh. "Hm?"
"Tadi penampilan lo bagus." Jeri mengalihkan pembicaraan.
Ryuna kembali ingat, ia menggeleng. "Itu bukan apa-apa," ucapnya.
"Lo beneran nggak papa?"
"Ya lo pikir aja lo nyuruh gue seenaknya ke panggung pas gue baru datang."
Ryuna menatap kesal ke arah Jeri. Lelaki itu terkekeh kecil, khasnya.
"Lo kalau mau nangis, nangis aja. Ketawa, sedih, itu manusiawi. Lo bayangin kalau suatu hari lo nggak bisa nangis, lupa cara ketawa atau nggak tahu rasanya sedih."
"Mudah kalau ngomong aja, Jer. Sekarang aja yang kelihatan bersimpati belum tentu beneran peduli, yang nangis bisa aja cuma pura-pura, yang ketawa belum tentu bahagia."
"Lagi ngomongin diri sendiri?"
Ryuna menoleh kaget ke arah lelaki itu. Lalu mengalihkan pandangan lagi. "Sok tahu," katanya kemudian mendecih.