Pemuda tampan yang sakit-sakitan dan pengangguran di usianya yang telah 30 tahun meski bergelar sarjana, ia dicap lingkungan sebagai pengantin ranjang karena tak kunjung sembuh dari sakit parah selama 2 tahun.
Saat di puncak krisis antar hidup dan mati karena penyakitnya, Jampi Linuwih, mendapat kesempatan kedua.
Jemari petir, ilmu pengobatan, hingga teknik yang tak pernah ia pelajari, tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Ia dipilih langit untuk mengemban tugas berat di pundaknya.
Mampukah ia memikul tanggung jawab itu? Saksikan perjalanan Jampi Linuwih, sang Tabib Pilihan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21_ Penyusup Amatir
Jampi menyusup ke istana dengan melubangi dinding yang ada di dekat semak-semak. Ia berharap, semak-semak akan membantu menutupi lubang yang ia buat di dinding. Gerigi di sarung tangannya itu ternyata bisa menjadi tajam saat digunakan. Dinding istana layaknya jeli yang sangat mudah digerus.
Baru saja menerobos, ia sudah ketahuan penjaga. Karena sesaat sebelum tembok berlubang, salah satu penjaga mendengar suara mencurigakan seperti pengikisan tembok.
Penjaga itu menunggu apa yang akan terjadi. Akhirnya, kecurigaannya terbukti. Tembok berlubang dan masuk lah sosok penyusup.
"Penyusup!", pekik penjaga itu.
Kling kling kling
Bunyi lonceng nyaring berdenting
"Wah, dasar amatir!", dengus Jampi yang kesal karena baru saja beraksi sudah ketahuan. Ia berharap bisa menyelesaikan misi tanpa ketahuan seperti aktor mata-mata tampan hollywood, namun nyatanya jauh berbeda.
Segera, para penjaga mengepung Jampi.
" Akhirnya kau datang juga bocah!", pimpinan penjaga mengenali wajah Jampi yang tadi berada di arena.
"Tangkap dia!", perintah pun diberikan. Satu kompi penjaga berbau amis berwarna hitam dengan berbagai bentuk kepala layaknya hewan laut pun menyerang Jampi. Perintah ratu adalah hidup atau mati harus ditangkap.
Brak brak brak
Tak mau basa basi, Jampi segera melawan para penjaga dengan kepalan tangan. Kepala para penjaga pecah berkeping-keping layaknya semangka terkena martil saat kepalan tangan Jampi menghancurkannya.
" Woah!", Jampi kagum dengan kekuatan sarung tangan cacar air ini.
"Mundur!", titah pimpinan penjaga setelah belasan penjaga tak mampu menandingi Jampi. Tanpa pikir panjang, melihat kesempatan karena penjaga ketakutan, Jampi melesat ke arah istana agar bisa segera memasuki ruang penjara.
Siut siut siut
Panah berujung api ditembakkan ke arah Jampi. Untungnya, kecepatan lari Jampi dengan terompah semar tidak lah lambat. Terlebih, ia telah cukup mahir mengendalikan keseimbangan dan navigasinya.
Brol
Tembok istana berhasil ia jebol sekali pukul. Ia mendapat gambaran peta istana, maka tanpa kikuk dia menuju penjara yang dimaksud.
Tap tap tap
Jampi berlari menyusuri lorong bawah istana. Hanya sekejap, ia berhasil menemukan pintu penjara yang terbuat dari besi keras tanpa celah setelah melumpuhkan belasan penjaga. Hanya nampak lubang kunci di sebelah kanan.
Brak brak brak
Beberapa kali Jampi menghantam pintu yang hanya menghasilkan cekungan. Sama sekali tak mampu menghancurkan pintu yang terasa begitu tebal dan keras.
Ngingg
Jampi mencabut pedangnya yang seketika mengeluarkan denging.
Srat srat brol
Pintu itu terpotong menjadi tiga bagian dengan dua tebasan. Nampaknya pedang semar mesem telah bertambah kuat. Sinar keemasannya semakin terang, sedangkan bilah hitamnya lebih padat dan berkilau seperti mutiara hitam.
"Wah, keren juga kau!", puji Jampi kepada pedangnya.
Slup
Saat Jampi bahagia dan menyarungkan pedangnya ke dalam kantong, sebuah tangan batu keluar dari pintu besi dan menghantam telak di dada Jampi.
Bugh
" Ugh!", dengus Jampi merasakan sesak. Tubuhnya terlempar 10 meter.
Dug
Brak brak brol
Saat tubuh Jampi menghantam dinding, pintu penjara yang telah rusak malah ambruk total dihajar bogem batu besar. Dari sana, muncul lah sosok monster setinggi 3 meter yang pernah dihadapi Jampi sampai dirinya sekarat.
Mulut Jampi kembali meneteskan darah. Namun, kali ini cahaya keemasan itu tidak muncul.
"Kau lagi! Eh, mana cahayaku? Apa baterainya habis?", bingung Jampi.
Bum bum bum
Langkah kaki monter itu menggetarkan tanah, sekejap saja telah berhadapan dengan Jampi.
Wush bumm
Monsnter itu melontarkan pukulannya ke arah Jampi tanpa basa basi. Untung saja, Jampi segera menghindar. Dinding batu di belakang Jampi pun rontok.
" Lari!", pekik Jampi melarikan diri ke arah penjara. Ia tidak ingin membuang waktu melawan monster ini. Apalagi dadanya masih terasa sesak.
"Kemana juga cahayaku, saat dibutuhkan malah habis baterainya!", keluh Jampi dalam benaknya. Kecepatan larinya sedikit lebih cepat dari monster itu.
Siut bumm siut bumm
Tak kehabisan akal, monster itu mengejar sembari meleparkan batuan besar ke arah Jampi. Untung saja ia menghindar tepat waktu.
" Wiuh, untung nggak jadi perkedel aku!", dengus Jampi sembari terus berlari, berusaha menjauhi jangkauan si monster.
Beberapa meter ke depan, nampak jalan turunan menuju ke sel-sel penjara.
Wush bumm
Sebuah batu melewati atas Jampi, begitu besar dan turun tepat menutup jalan turunan itu.
"Wah, cari perkara nih si kepala batu!", protes Jampi yang masih memegangi dadanya. Untung saja sudah lumayan membaik.
Nafas Jampi terengah-engah setelah berlari sembari menahan nyeri di dadanya meski telah berangsur sembuh.
Ia melihat monster itu berdiri mengejek penuh kemenangan dengan membelakangi Jampi sembari mengangkat satu tangan kanannya yang telah menyentuh langit-langit lorong setinggi 5 meter.
Jampi tidak gegabah menyerang. Ia menyusun strategi untuk mengalahkan si batu sombong sembari sedikit beristirahat.
" Bismillah!", Jampi merogoh kantongnya, membayangkan senjata peluruh batu.
Saat ia menarik tangannya, ia kecewa.
"Eh, apa ini? Memangnya peluruh batu ginjal?", dengus Jampi yang melihat dua lembar daun, keji beling dan tempuyung, resep tradisional bagi penderita batu ginjal.
Jampi meremas kedua daun itu, marah karena kantong lusuh itu pun tak berguna di saat genting seperti ini.
Cess
Batu di bawah tangan Jampi menguarkan asap putih.
"Eh, apa ini?", Jampi memperhatikan batu di bawah kakinya. Asap putih itu terjadi karena tetesan kedua daun yang ia remas dengan sarung tangan cacar air miliknya.
" Woah, bisa seperti itu ya? Hebat!", gumam Jampi dengan wajah bahagia. Ada kesempatan baginya.
"Tapi, butuh berapa daun untuk melelehkan kepala batu itu?", pikir Jampi.
Wush bumm
Belum sempat Jampi berpikir, monster itu telah melesatkan pukulan dan menghantam batu di bawah kaki Jampi karena pemuda itu berhasil mengelak.
Bam bam bam bam
Berulang kali monster itu melancarkan serangan. Namun gagal mengenai Jampi.
" Oh, di situ!", pikir Jampi. Pemuda itu terus menghindar sembari meremas kedua lembar daun yang ia ambil dari kantongnya.
Cess cess cess
Engsel monster itu menguarkan asap putih yang lama kelamaan semakin tebal layaknya kebakaran. Jampi sengaja mengincar engsel monster batu, berharap itu bisa melumpuhkannya, minimal mengurangi dampak serangan dan kecepatan lawan.
"Yo, lanjutkan!", pekik Jampi yag masih terus mengelilingi monster batu dan memasukkan perasan kedua daun agar mempercepat proses peluruhan.
Wush
Cess cess cess
Semakin banyak asap menguar dari engsel monster batu. Ia nampak begitu murka hingga pukulannya tak lagi terkontrol.
Brak brak brak brak brol bumm
Monster itu memukul ke segala arah, seperti manusia yang berusaha memukul lalat dengan tangan kosong. Sayangnya, sebagian pukulan mengenai tubuhnya sendiri hingga akhirnya berakibat fatal. Satu lengan kiri si monster batu pun patah dan jatuh ke tanah.
Wush wush wush
Enggan menyerah, monster batu itu memutar tubuhnya seperti kipas angin. Ia berharap bisa sekali saja menghantam tubuh ringkih Jampi dan berhasil membuatnya sekarat seperti waktu itu.