Hanya karena logam mulia dan wasiat yang di punya oleh kakek masing-masing membuat Nathan dan Tiffani berakhir di jodohkan. Tiffani tak menyangka bahwa dia harus menikah dengan laki-laki terpandang yang terkenal dari keluarga sendok emas. Sedangkan Nathan hanya bisa pasrah dengan masa depannya setelah dia mendapatkan garis keturunan sebagai calon penerus perusahaan Kakeknya, salah satunya dengan menikahi gadis yang tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan perjodohan ini membuat Nathan harus menyerah untuk menikahi sang pujaan hatinya yaitu Elea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Geram
Seperti rencana Nathan pergi meninggalkan rumah persis pukul sebelas malam. Tanpa berpamitan kepada keluarganya dia langsung mengendarai mobil menuju ke bandara.
Koper kecil berwarna hitam sudah berada di dalam bagasi. Mobil audi yang dikendarai membelah jalanan malam yang masih padat.
Tidak berangkat seorang diri, di bandara Elea sang kekasih sudah menunggu kehadiran Nathan. Kaca mata hitam yang tampak nyentrik dikenakan oleh Nathan padahal hari sudah petang.
Tentu hal tersebut menarik perhatian Elea, melihat gaya dari kekasihnya itu membuatnya terkekeh. Elea bangkit berdiri untuk menyambut Nathan yang mendekat ke arahnya.
“Perlu banget ya kamu pakai kaca mata hitam malam-malam begini, biar apa? biar keren?” tanya Elea saat Nathan sudah duduk di dekatnya.
“Sst, ini penyamaran.”
Seolah diingatkan jika Elea menjadi kekasih dari laki-laki yang dikenal oleh banyak orang. Sambil menunggu pesawat Elea dan Nathan bermain ponsel kepemilikan masing-masing sambil Elea yang menyandarkan kepalanya di bahu Nathan.
Sampai akhirnya mereka harus masuk ke dalam pesawat. Elea sendiri sudah memesan tiket kelas bisnis, liburan kali ini mulai dari tiket dan kemana mereka akan pergi jalan-jalan di Jepang semuanya diatur seratus persen oleh Elea.
Di dalam pesawat mereka duduk bersebelahan. Nathan bisa bernapas lega saat bisa dengan bebas membuka kaca mata hitamnya setelah duduk di kursi.
“Sayang boleh nggak aku tanya sama kamu.” Elea mendekat ke arah Nathan dan kembali bersandar di lengan kekasihnya.
“Tanya aja.”
“Kamu janji kan nggak bakal ninggalin aku?”
Nathan ikut membalas dan mendekap Elea. “Kamu kok ngomong gitu.”
“Iya aku nggak mau kehilangan kamu. Setelah nanti aku sudah mewujudkan keinginan aku jadi pianis terkenal kamu harus nikahin aku.”
“Mana mungkin aku bohong buktinya aku sudah menikah saja, kita tetap bersama.”
Elea tersenyum kemenangan. “Kapan kamu akan ceraikan dia?”
Mendengar pertanyaan dari Elea barusan membuat Nathan kaget. Dia sendiri masih belum tahu pernikahannya dengan Tiffani akan sampai kapan namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, Nathan tentu sangat yakin seratus persen bahwa nantinya dia akan berpisah dengan Tiffani.
Nathan yang diam membuat Elea mengerutkan keningnya heran.
“Kenapa? kamu nggak bisa jawab?” tanya Elea.
“Pasti aku akan ceraikan dia, tapi pernikahan ini satu bulan saja belum.”
Elea memanyunkan bibirnya. “Pokoknya kamu harus cerai sama dia.”
“Iya sayang.” Nathan mengecup punggung tangan Elea.
Pesawat yang mereka tumpangi lepas landas menuju ke Negeri Sakura. Kehangatan di atas awan terjadi di antara Nathan dan Elea yang tertidur dengan saling bersandar satu sama lain.
***
Matahari pagi yang masuk melalui celah jendela gorden membuat Tiffani membuka mata. Netranya langsung tertuju kepada ranjang king size yang akhir-akhir ini dia selalu melihat kehadiran seorang laki-laki yang berstatus sebagai suaminya.
Berbeda dengan hari ini ranjang itu tampak rapi. Sejenak Tiffani lupa kalau tadi malam dia sempat berdebat dengan Nathan perihal laki-laki itu yang pergi ke Jepang.
Tidak ingin terlalu mengingat kejadian semalam Tiffani memilih mendinginkan tubuhnya untuk mandi pagi.
***
Di halaman belakang ada Bu Mila yang tengah jalan-jalan pagi dengan Pak Yusuf. Bu Mila tampak tersenyum sambil mengobrol dengan suaminya yang sekarang sudah sembuh dan tidak menggunakan kursi roda lagi.
Tiffani yang melewati pintu menuju halaman belakang melihat keromantisan kedua mertuanya sekilas dia membayangkan apa masa tuanya nanti akan seperti mereka.
“Ya ampun Tif apaan sih sadar!” dirinya yang mencoba menyadarkan diri.
Tepukan di punggung secara tiba-tiba membuat Tiffani terlonjak kaget. Siapa lagi jika bulan Nenek.
“Maaf Nenek buat kamu kaget ya?” Nenek yang tertawa karena reaksi kaget Tiffani.
“Sedikit Nek.”
“Kamu lagi lihat apa?”
“Lihat Mama sama Papa Nek.”
“Masa depan kamu dengan Nathan nanti seperti mereka.”
“Eh?” jawaban Nenek membuat Tiffani kaget.
“Kenapa betul kan kata Nenek?” Tanpa sadar Nenek juga menerawang bagaimana dia dulu saat bersama suaminya.
Kepala pelayan mendekat memberitahu jika hidangan makan pagi sudah siap. Nenek langsung menggiring Tiffani untuk ke meja makan.
Menit berikutnya Bu Mila dan Pak Yusuf juga ikut datang ke meja makan.
“Tolong panggilkan Rey.” bisik Nenek pada salah satu pelayan.
“Rey sudah mulai tinggal disini bu?” tanya Bu Mila yang memang tidak mengetahui hal tersebut.
“Iya kemarin Santi juga kemari.” jawab Nenek.
Entah kenapa dalam lubuk hati paling dalam Bu Mila di suatu sudut kecil pada hatinya ada rasa tak suka. Namun Bu Mila buru-buru menepis hal tersebut dan tidak ingin berburuk sangka.
“Tif Nathan masih tidur?” tanya Nenek.
“Nathan?” Tiffani melongo.
Tadi malam Nathan bilang jika laki-laki tersebut akan pamit melalui via chat tapi pertanyaan Nenek barusan membuatnya kaget. Pandangan Tiffani berganti melihat ke arah Bu Mila yang rupanya juga tak tahu apa-apa.
“Tadi malam Nathan berangkat ke Jepang, katanya dia akan pamit melalui pesan ke Nenek atau nggak Mama.”
“Jepang?” tanya Pak Yusuf memastikan.
“Iya Pa.”
“Dengan siapa dia pergi Tif?” tanya Bu Mila.
“Tiffani juga kurang tahu sepertinya dengan temannya.”
“Kenapa dia tidak pamit langsung.” Nenek yang khawatir dan menyesal akibat sikap Nathan.
“Anak itu!” gumam Bu Mila yang marah karena Nathan pergi tanpa pamit.
Rey yang datang langsung duduk di kursi sebelah Tiffani yang mana biasanya kursi tersebut diduduki oleh Nathan. Sontak Tiffani menengok dan merasa tak biasa karena setiap hari yang duduk di sebelahnya itu Nathan.
“Selamat pagi.” sapa Rey setelah telah duduk di kursi meja makan.
“Ayo kita mulai makan.” perintah Nenek.
Pelayan langsung mendekat untuk membantu Nenek menyiapkan lauk pauk. Sementara yang lain menyiapkan lauk pauk sendiri di piringnya masing-masing.
“Nathan kemana?” tanya Rey pada Tiffani.
“Dia pergi ke Jepang.”
“Jepang? sama siapa?”
“Mungkin sama temannya.”
“Kamu nggak dikasih tahu?”
“Aku hanya diberitahu kalau dia mau ke Jepang.”
Rey mengangguk paham. Kembali dia merasa iba melihat Tiffani yang menurutnya kehadiran perempuan tersebut tidak dianggap sama sekali oleh Nathan.
Setelah pelayan membantu Nenek, kini gantian Bu Mila membantu meletakkan lauk di piring Pak Yusuf lalu berlanjut piringnya sendiri.
“Kamu aja duluan.” Tiffani menyuruh Rey duluan saat Rey menawarkan dirinya agar mengambil lauk terlebih dahulu.
Rey pun mengambil piringnya yang sudah tersedia di meja.
“Gimana nasinya cukup? mau lauk apa?” tanya Rey.
“Nggak perlu aku bisa ambil sendiri.”
“Nggak kenapa-kenapa aku bantuin ambil lauknya.” kekeh Rey.
Bu Mila menatap kejadian yang terjadi di antara Tiffani dan Rey.
“Aku bisa ambil sendiri, terima kasih.” tolak Tiffani dengan halus.
Dia tentu masih punya sopan santun untuk tidak menyuruh Rey yang notabene masih keluarga dari Yudistira. Lagi pula biasanya dia juga mengambil lauk sendiri.
***
Usai makan pagi, Tiffani langsung mengerahkan aksinya untuk menghubungi Nathan. Dia akan menegurnya akibat tidak pamit membuat dirinya yang berakhir menjawab di hadapan keluarga besar.